tirto.id - Sholat Tarawih merupakan salah satu ibadah sunah yang hanya terdapat di bulan suci Ramadhan. Lantas, apakah ada hadis yang menjelaskan tentang fadhilah Sholat Tarawih 1-30? Apa keutamaan qiyamul lail di bulan puasa?
Salat Tarawih hukumnya adalah sunah muakadah, sangat dianjurkan oleh Rasulullah agar ditunaikan oleh umat Islam.
Salat Tarawih dapat dikerjakan 8 rakaat, 20 rakaat, hingga 36 rakaat, baik secara munfarid (sendiri) maupun berjamaah di masjid atau musala. Setiap jumlah rakaat pelaksanaannya memiliki dalil masih-masing.
Ibadah sunah pada malam bulan Ramadan disebut juga sebagai Qiyam Ramadan. Penjelasan terkait penyebutan itu termuat dalam hadis dari riwayat Abu Hurairah ra. sebagai berikut:
“Rasulullah SAW menganjurkan untuk melakukan qiyamu Ramadan [salat tarawih], tetapi tidak mewajibkannya, sebagaimana sabda beliau: 'Barang siapa yang terjaga [melakukan qiyam] pada Ramadan karena iman dan mengharap pahala akan diampuni dosanya yang telah lalu,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada masa sahabat, ibadah ini dinamakan dengan Sholat Tarawih. Secara terminologi tarawih berarti 'istirahat'.
Disebut tarawih karena muslim yang melaksanakannya akan beristirahat sejenak di antara dua kali salam atau setiap empat rakaat. Dalam kitab Fath al-Bâriy Syarh al-Bukhâriy, al-Hafiz Ibn Hajar al-A’sqallâniy menjelaskan: "Shalat jamaah yang dilaksanakan pada setiap malam bulan Ramadhan dinamai Tarawih karena para sahabat pertama kali melaksanakannya, beristirahat pada setiap dua kali salam."
Lantas, adakah kitab yang menjelaskan tentang fadhilah atau keutamaan salat Tarawih 1-30?
Fadhilah Sholat Tarawih 1-30: Apakah Ada Dalilnya?
Saat memasuki Ramadan banyak ditemui pertanyaan maupun penjelasan terkait keutamaan pelaksanaan Salat Tarawih hari pertama hingga terakhir (hari ke-1 hingga 30).
Penjelasan tentang fadhilah Tarawih 1-30 tersebut bersumber salah satunya dari kitab Durratun Nashihin fil Wa'zhi wal Irsyad (1804 M/ 1224 H) karangan Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir Al-Khubawi.
Hadis terkait pelaksanaan Salat Tarawih hari ke-1 hingga 30 dapat dilihat dalam artikel NU Online bertajuk "Keutamaan Shalat Tarawih dalam Kitab Durratun Nasihin", yang ditulis Firdausi.
Akan tetapi, hadis-hadis terkait pelaksanaan Salat Tarawih 1-30 dalam kitab Durratun Nasihin memiliki beberapa keganjilan. Abdurrahman Al-Mukaffi dalam buku89 Kesalahan Seputar Puasa Ramadhan (2015) mengutip pendapat Dr Lutfi Fathullah terkait hal itu.
“Ada sekitar 30 persen hadits palsu dalam kitab Durratun Nashihin. Di antaranya adalah hadis tentang fadhilah atau keutamaan Shalat Tarawih, (yaitu) dari Ali Ra. bahwasanya Rasulullah Saw. ditanya tentang keutamaan Shalat Tarawih (lalu beliau bersabda) malam pertama pahalanya sekian, malam kedua sekian, dan sampai malam ketiga puluh. Hadis tersebut tidak masuk akal. Selain itu, jika seseorang mencari hadis tersebut di kitab-kitab referensi hadis niscaya tidak akan menemukannya.”
Dikutip dari artikel NU Online "Adakah Fadhilah Tarawih Per Hari?", terdapat beberapa keganjilan hadis keutamaan pelaksanaan Salat Tarawih hari 1-30. Pertama, Rasulullah saw. hanya menjalankan Salat Tarawih berjemaah beberapa kali saja, tidak pernah sebulan penuh, sebagaimana tercatat salah satunya dalam hadis riwayat Aisyah Ra. berikut:
“Sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam shalat di masjid, lalu banyak orang shalat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul [menunggu Nabi] tapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam justru tidak keluar menemui mereka.
Pagi harinya beliau bersabda, 'Sungguh aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila shalat ini diwajibkan pada kalian.” Sayyidah ‘Aisyah berkata, 'Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan’,” (HR Bukhari dan Muslim).
Sementara itu, hadis yang ada dalam kitab Durratun Nasihin, menyebutkan faedah Salat Tarawih per malam selama sebulan penuh. Hal inilah yang memunculkan keganjilan,sebab Nabi Muhammad saw. sendiri tidak menjalankan ibadah tersebut selama sebulan penuh berjemaah.
Kedua, pada masa Rasulullah saw. Salat Tarawih masih disebut dengan Salat Qiyamu Ramadan. Penyebutan Qiyamu Ramadan salah satunya disebutkan dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim berikut:
“Siapa yang berdiri shalat di [malam] bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis yang ada di kitab Durratun Nasihin menyebut Salat Qiyamu Ramadan langsung dengan nama Salat Tarawih. Padahal, penyebutan Salat Tarawih baru terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab sebagaimana salah satu riwayat Abdurrahman bin ‘Abdul Qari’ sebagai berikut:
“Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qari’, beliau berkata, 'Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab RA ke masjid pada bulan Ramadan. [Didapati dalam masjid tersebut] orang yang salat tarawih berbeda-beda. Ada yang salat sendiri-sendiri dan ada juga yang salat berjemaah," "Lalu Sayyidina Umar berkata, 'Saya punya pendapat, andai mereka aku kumpulkan dalam jemaah satu imam, niscaya itu lebih bagus.' Lalu, beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan salat tarawih dengan berjemaah di belakang satu imam. Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini [salat tarawih dengan berjemaah],” (HR. Bukhari).
Apa Keutamaan Qiyamul Lail?
Di luar pembahasan dalam kitab Durratun Nasihin, Salat Tarawih pada dasarnya telah memiliki beberapa dalil dari hadis sahih yang dapat dipercaya dan dirasa cukup. Namun, hadis-hadis ini tidak menyebutkan keistimewaannya untuk setiap harinya. Salah satunya hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim berikut:
“Barangsiapa ibadah [tarawih] pada Ramadan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Riwayat lain dari Abu Dzar, Nabi Muhammad saw. pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Ketika itu beliau bersabda, “Siapa yang salat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh,” (HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327).
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin