Menuju konten utama

Euforia Akuisisi Freeport Berakhir, Saatnya Inalum Cicil Utang

Inalum harus mengeluarkan jutaan dolar lagi untuk kegiatan pertambangan setelah divestasi Freeport. Bagaimana dengan smelter?

Euforia Akuisisi Freeport Berakhir, Saatnya Inalum Cicil Utang
Area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. Antara foto/Muhammad Adimaja

tirto.id - Pada akhir tahun lalu, jagat media sosial ramai dengan euforia menyambut upaya pemerintah Jokowi mengakuisisi saham Freeport hingga 51,24 persen melalui pembelian hak partisipasi Rio Tinto dan Indocopper Investama, anak usaha Freeport-McMoRan. Presiden Jokowi juga sempat berucap bahwa akuisisi ini demi rakyat.

“Syukur Alhamdulillah, hari ini saham PT Freeport Indonesia sebanyak 51,2 persen sudah beralih ke Indonesia melalui PT Inalum. Pendapatan dari Freeport akan kita gunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” katanya pada 21 Desember 2018.

Pemerintah mengklaim penerimaan negara dari PT Freeport Indonesia (PTFI) akan jauh lebih besar ketimbang sebelumnya, setelah pengalihan saham mayoritas (divestasi) kepada holding BUMN Pertambangan, yakni PT Inalum tuntas.

Kepastian penerimaan negara bakal lebih besar juga disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurutnya, penerimaan negara dari PTFI akan lebih besar, meskipun harga emas dan tembaga turun. “Penerimaan dari sisi perpajakan dan bukan pajak [PTFI] akan lebih besar untuk negara, dengan berapapun nilai dari harga tembaga dan emas,” kata Sri Mulyani pada 21 Desember 2019 dikutip dari Antara.

Namun, bukannya mendapatkan pundi-pundi pendapatan dari PTFI dalam jangka pendek, Inalum justru berpotensi merogoh kocek lagi untuk PTFI. Berdasarkan rilis dari Freeport-McMoRan (PDF), PTFI berencana membangun smelter baru di Indonesia dalam waktu lima tahun. Nilai investasinya yang dibenamkan di smelter ditaksir mencapai US$3 miliar. Nanti, biaya investasi akan ditanggung oleh para pemegang saham sesuai dengan porsi kepemilikan saham di PTFI.

Inalum adalah pemilik 40 persen saham PTFI, besar kemungkinan perusahaan yang berdiri sejak 1976 itu akan membayar kewajiban investasinya. Jika dihitung, dana yang harus dikeluarkan Inalum sekitar US$1,2 miliar atau setara Rp16,72 triliun.

Selain biaya investasi, rilis Freeport-McMoRan itu mengungkapkan Inalum sebagai pemilik saham mayoritas harus ikut urunan untuk belanja modal guna membiayai proyek tambang Grasberg bawah tanah di Papua.

Nilainya tidak kecil, ditaksir sekitar US$170 juta per tahun atau setara dengan Rp2,36 triliun dari total kebutuhan belanja modal proyek sebesar US$900 juta per tahun. Adapun, urunan itu berlaku sampai dengan 2022.

Seperti diketahui, PTFI saat ini sedang dalam tahap finalisasi untuk beralih dari sebelumnya menambang dengan metode tambang terbuka menjadi tambang bawah tanah. Proses transisi direncanakan mulai pada awal 2019.

Peralihan metode penambangan menjadi tambang bawah tanah bertujuan agar penambangan dapat dilakukan dalam skala besar, berumur panjang dan bermutu tinggi. Intinya, mengeruk lebih banyak lagi tembaga dan emas ketimbang sebelumnya.

Selain kewajiban investasi, potensi Inalum mengeluarkan uang lagi juga makin terbuka. Seperti diketahui, PTFI kerap berhadapan dengan isu lingkungan. PTFI juga pernah kena denda oleh pemerintah sebesar Rp460 miliar pada tahun lalu.

PTFI terkena denda karena perusahaan memakai hutan lindung seluas 4.536 hektare tanpa ada izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Inalum yang memegang porsi kepemilikan saham 9,36 persen juga terpaksa ikut bayar.

Nilai yang dibayarkan Inalum dari denda tersebut sekitar Rp43 miliar—sesuai dengan persentase kepemilikan saham. Nah, konsekuensi kepemilikan Inalum sudah mencapai 40 persen, maka jika ada denda di kemudian hari, angka yang dibayar jauh lebih besar.

Infografik Pengeluaran Inalum di freeport

Infografik Pengeluaran Inalum di freeport

Inalum Rentan Kesulitan Keuangan?

Selain harus keluar uang lagi usai akuisisi saham Freeport, Inalum tidak lantas mendapatkan pemasukan dividen dari PTFI untuk periode 2019-2020. Hal itu disebabkan PTFI sedang melakukan proses transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah, di mana proses itu membuat produksi tembaga dan emas menurun, setidaknya dalam dua tahun.

Kondisi ini tentu berpotensi membuat kondisi keuangan Inalum mengkhawatirkan mengingat perusahaan juga memiliki kewajiban membayar surat utang global senilai US$4 miliar, utang itu digunakan untuk membiayai akuisisi saham PTFI.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai pasca-akuisisi kepemilikan saham PTFI sebesar 51,23 persen, Inalum memang lebih banyak mengeluarkan uang ketimbang pemasukan.

“Saya pikir DPR harus turun tangan untuk mempertanyakan dan mengawasi Inalum, apakah kondisi Inalum sekarang ini berpotensi menimbulkan persoalan keuangan ke depannya atau tidak,” tuturnya kepada Tirto.

Menurut Abra, bila Inalum kelabakan atau tidak sanggup, dikhawatirkan induk usaha BUMN Tambang ini justru membuat kebijakan yang tidak ideal nantinya, antara lain meminta dividen lebih besar ke anak usaha. Inalum bisa berpotensi meminta penyertaan modal negara (PMN) dari APBN. Dengan kata lain, masyarakat juga yang akhirnya menanggung beban Inalum melalui kewajiban pajak.

Inalum mengakui akuisisi saham PTFI sebesar 40 persen melalui pembelian participating interest (PI) milik Rio Tinto—perusahaan tambang asal Britania—senilai US$3,85 miliar membuat hak dan kewajiban Rio Tinto sebelumnya kini melekat ke Inalum.

“Total kewajiban kami untuk kegiatan pertambangan PTFI sampai dengan 2022 itu mencapai sekitar US$681 juta. Mau enggak mau,” kata Head of Corporate Communications PT Inalum Rendy Witoelar kepada Tirto.

Terkait rencana pembangunan smelter baru dari PTFI, Rendy menegaskan Inalum tidak akan mengeluarkan uang sepeserpun. Menurutnya, PTFI bisa memenuhi kebutuhan dana smelter baru itu, tanpa bantuan dari Inalum.

Namun, ia tidak menepis bahwa Inalum pada saat yang sama juga mulai membayar surat utang global. Untuk tahun depan saja, nilai yang dibayar Inalum dari surat utang global itu sekitar US$350 juta.

Namun, Inalum mengklaim masih mampu membayar surat utang global itu sampai dengan jatuh tempo. Pasalnya, kas dan setara kas Inalum saat ini masih besar yakni sekitar Rp20 triliun atau setara dengan US$1,7 miliar.

Meski banyak kewajiban yang harus dipenuhi Inalum pasca akuisisi saham PTFI, Rendy menegaskan bahwa kondisi ini hanya untuk sementara waktu. Apa yang dikeluarkan Inalum selama ini, ke depannya akan tergantikan.

“Setelah 2022, Inalum akan mendapatkan pemasukan dari dividen dan metal strip sebesar US$1,75 miliar. Jika dikurangi belanja modal sebesar Rp681 juta, maka kita untung US$1,06 miliar,” tutur Rendy.

Baca juga artikel terkait AKUISISI FREEPORT atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra