tirto.id - Saham Freeport-McMoRan Cooper & Gold Inc (FCX) di bursa New York Stock Exchange (NYSE) sempat dibuka menguat di posisi $17,64 per saham pada perdagangan Kamis (12/7) waktu setempat. Hari itu jadi momentum baru bagi bisnis FCX di Indonesia, setelah meneken Heads of Agreement (HoA) dengan pemerintah Indonesia. Namun, penguatan itu hanya sebentar, saham FCX dalam tren menurun hingga akhirnya ditutup $17,29 per saham. Padahal saham FCX selama sepekan masih menguat 2,59 persen.
HoA merupakan tindak lanjut atas perjanjian yang dilakukan Pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoRan pada 27 Agustus 2017. Presiden Jokowi sempat mengatakan negosiasi untuk mencapai HoA saja harus memakan waktu selama 3,5 tahun.
Penandatangan HoA implementasi dari pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam UU Minerba ditegaskan tentang berbagai ketentuan yang wajib dilaksanakan pengusaha tambang mulai dari pembangunan smelter, perubahan kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP)/ Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan penegasan mengenai kewajiban divestasi 51 persen saham Freeport kepada pemerintah.
Pada Kontrak Karya (KK), antara PT Freeport Indonesia (PTFI) dan pemerintah pada tahun 1991, PTFI wajib melakukan divestasi saham hingga 51 persen kepada pihak Indonesia secara bertahap selama 20 tahun. Sampai 2011, baru 9,36 persen saham PTFI yang sudah didivestasikan ke pemerintah.
Secara payung hukum, pemerintah mencoba mempertegas aturan main soal divestasi bagi perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia. Pasal 112 Ayat 1 UU Minerbadan PP nomor 23 tahun 2010 pasal 97 yang diperbaiki oleh PP nomor 24 tahun 2012, pada intinya menyatakan bahwa setelah 5 tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional.
Pada kasus PTFI, langkah divestasi saham dan negosiasi kontrak menemui jalan berliku bahkan nyaris buntu. Terjadi tarik menarik kepentingan Freeport yang ingin bercokol di Papua hingga 2041 dengan pemerintah yang ingin memaksimalkan penerimaan negara dari tambang emas dan tembaga di Papua ini. Freeport-McMoran sempat mengancam akan mengadukan pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional pada awal 2017, tapi akhirnya rencana ini tak jadi pilihan Freeport.
Jalan Divestasi yang Berliku
Freeport masuk ke Indonesia bermodalkan perjanjian kontrak karya pada 7 April 1967. Sesuai dengan aturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing yang baru terbit pada 10 Januari 1967, sebagai pemodal asing di bidang pertambangan, eksistensi Freeport didasarkan pada suatu kerja sama dengan Pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 1967.
Kontrak karya I tahun 1967 ini memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company (sekarang Freeport-McMoRan) melalui anak perusahaannya yaitu Freeport Indonesia Incorporated, bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam mengeksploitasi, eksplorasi serta memasarkan tembaga lainnya selama 30 tahun di luas lahan konsesi 10 ribu hektare di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Kontrak karya "generasi pertama" ini, memperbolehkan Freeport menikmati masa bebas pajak selama tiga tahun, konsesi pajak sebesar 35 persen selama tujuh tahun berikutnya, serta pembebasan segala macam pajak ataupun royalti selain lima persen pajak penjualan.
Kontrak karya jilid pertama baru akan habis masa berlakunya pada 1997. Namun, karena ada temuan cadangan emas terbesar di Grasberg, maka pada 1991 Freeport memperbarui kontrak karya. Kontrak karya jilid II ditandatangani pada 1991. Pada KK kedua disepakati masa berlaku kontrak karya 30 tahun dengan periode produksi berakhir pada 2021, serta kemungkinan perpanjangan dua kali 10 tahun atau baru akan berakhir pada 2041.
Pasca-kontrak karya 1991, pemerintah hanya memiliki 9,36 persen saham di PTFI dengan royalti sebesar 1-3,5 persen dari penjualan bersih. Kontrak karya jilid kedua ini juga mengharuskan Freeport-McMoRan untuk mendivestasikan atau menjual 51 persen sahamnya kepada pemerintah secara bertahap dalam kurun waktu 20 tahun sejak kontrak karya ditandatangani atau paling lambat pada 2011, sesuai Pasal 24 Kontrak Karya 1991 antara Freeport-McMoRan dengan Pemerintah.
Periode divestasi tahap pertama berlangsung pada 1991-2001, di mana Freeport-McMoRan wajib menjual 10 persen saham di PTFI. Periode selanjutnya 2001-2011, Freeport-McMoRan harus melepas 41 persen lagi kepemilikan sahamnya di PTFI kepada pihak Indonesia dengan ketentuan lego saham sebesar 2 persen setiap tahunnya sampai kepemilikan nasional menjadi 51 persen.
Namun, Freeport-McMoRan merasa tidak memiliki kewajiban untuk melakukan divestasi sebagaimana tercantum dalam kontrak karya 1991. Sebab, pada 1994, Pemerintah RI menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 (PDF) yang mengizinkan kepemilikan saham 100 persen oleh asing dan kewajiban divestasi dilakukan setelah 15 tahun berproduksi.
Selain itu, PP ini juga menyatakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) tidak wajib mendivestasikan sahamnya kepada pihak Indonesia. PP ini pun menjadi payung teduh bagi Freeport, selain klausul dalam kontrak karya jilid II 1991 yang juga menyebutkan jika ada dua pasal yang isinya bertabrakan, maka PMA bisa memilih peraturan yang lebih menguntungkan. PP ini dijadikan tameng berkelit FCX untuk segera mendivestasikan 51 persen saham PT FI kepada pemerintah Indonesia.
Lahirnya UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang juga mengatur masalah divestasi saham juga tak reken oleh FCX. Pasal 112 Ayat 1 menyatakan, setelah lima tahun berproduksi, badan usaha pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta nasional. Jika dihitung sejak aturan ini terbit, maka pada 2014, sebanyak 51 persen saham Freeport Indonesia sudah bisa didivestasikan kepada perusahaan atau perorangan nasional.
Namun, Pasal 169 UU yang sama juga menyebutkan, kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/ perjanjian. Ini artinya, Pemerintah mengakui kontrak karya yang dibuat bersama FCX pada 1991, sehingga menimbulkan kontradiksi ketentuan mana yang harus dipatuhi. Untuk dapat menjalankan amanah pasal 112 UU Nomor 4 ini, maka terlebih dahulu harus dilakukan perubahan terhadap kontrak karya.
Guna tetap dapat menjalankan divestasi saham, tahun 2010 pemerintahan di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan PP Nomor 23 Tahun 2010 (PDF) Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 97 PP ini menyebutkan pemodal asing pemegang (Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) setelah lima tahun sejak produksi wajib melakukan divestasi saham, sehingga sahamnya paling sedikit 20 persen dimiliki oleh peserta Indonesia.
PP ini kemudian diubah dan dikuatkan lagi menjadi PP Nomor 24 Tahun 2012 dan PP Nomor 77 Tahun 2014, yang mengatur rincian divestasi antara lain: pada tahun keenam divestasi saham sebesar 20 persen, tahun ketujuh divestasi saham sebesar 30 persen, tahun kedelapan 37 persen, tahun kesembilan 44 persen, dan tahun kesepuluh 51 persen dari jumlah seluruh saham.
Setelah melalui proses panjang, FCX akhirnya menyetujui penyesuaian skema operasi dari kontrak karya menjadi IUPK dan mengajukan penawaran resmi divestasi saham kepada Pemerintah RI pada 14 Januari 2016, yang merupakan batas akhir bagi Freeport Indonesia untuk mengajukan penawaran divestasi saham. Itu sesuai dengan PP Nomor 77 Tahun 2014 yang mengatur tentang penawaran saham kepada pihak Indonesia, satu tahun setelah PP 77 Tahun 2014 terbit ditambah penambahan waktu selama 90 hari.
Freepot akhirnya menyerahkan harga penawaran divestasi 10,64 persen saham senilai $1,7 miliar kepada pemerintah RI. Beberapa pihak menganggap harga penawaran Freeport terlalu tinggi, termasuk di antaranya Menteri BUMN Rini Soemarno. "Kami tertarik untuk membeli saham Freeport, namun kami menilai yang ditawarkan terlalu tinggi,” ucap Rini seperti dikutip Antara (19/1/2016).
Pemerintah memberikan penawaran senilai $630 juta, sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2013 dari harga $1,7 miliar yang ditawarkan Freeport. Pada September 2017, Freeport menyurati Pemerintah dan mengatakan menolak kesepakatan divestasi 51 persen saham yang telah disepakati sebelumnya pada Agustus 2017. Hingga akhirnya, pemerintah pun membentuk holding BUMN Tambang yaitu PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) untuk menyiapkan aksi korporasi pembelian divestasi saham.
Inalum yang akan mendapatkan dukungan perbankan, dan internal perseroan harus merogoh dana sebesar US$3,85 miliar untuk membeli 40 persen hak partisipasi atau participating interest perusahaan tambang Rio Tinto di tambang Grasberg dan membeli 100 persen saham FCX di PT Indocopper Investama yang memiliki saham sebesar 9,36 persen di PTFI.
Skema ini memang jauh lebih murah dibandingkan dengan membeli langsung saham PTFI, yang sempat menawarkan 10,64 persen saja harganya US$1,7 miliar, setidaknya bila menuruti permintaan FCX, maka saham 51 persen harus ditebus kurang lebih US$ 8 miliar.
“Nantinya untuk ke Rio Tinto sebesar US$3,5 miliar dolar AS dan ke FCX sebesar US$350 juta,” kata Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin.
Pertanyaannya apakah dengan mengambil 40 persen hak partisipasi Rio Tinto di tambang Grasberg Papua setara dengan 40 persen saham PTFI?
Budi Gunadi Sadikin kepada Tirto mengatakan, hak kelola Rio Tinto secara de facto setara dengan penguasaan 40 persen saham PTFI. “Memang akan ditukar 1:1,” ucap Budi kepada Tirto.
Menteri BUMN Rini Soemarno sempat mengatakan dengan adanya aksi korporasi Freeport, maka saham pemerintah di PTFI yang sebelumnya 9,36 persen akan terdilusi menjadi 5,6 persen. Bila ditambah dengan jumlah saham hasil akuisisi terhadap saham saham FCX di PT Indocopper Investama, maka totalnya memang kurang lebih 51 persen saham pemerintah.
Direktur Keuangan Inalum, Orias Petrus Moedak menambahkan “dengan pembelian ini, Inalum akan memiliki 51 persen saham Freeport Indonesia yang beroperasi di Grasberg. Inalum juga tetap akan memiliki seluruh operasional yang akan dijalankan PTFI kalaupun nantinya PT FI melebarkan lahan tambang di luar Grasberg,” jelas Petrus.
Isi dari Heads of Agreement (HoA) yang diteken pekan lalu memang hanya Freeport dan pemerintah yang tahu persis. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara penandatanganan HoA, mengatakan secara garis besar kesepakatan itu mencakup harga dan struktur saham, yang akan dibuat rinci dalam joint venture agreement berikutnya.
Artinya masih ada proses lebih lanjut sebelum penguasaan 40 persen hak partisipasi Rio Tinto oleh pemerintah terkonversi menjadi 51 persen saham pemerintah di PTFI. Pihak PTFI dalam keterangan resminya menyebut HoA memang hanya bagian dari proses yang memungkinkan pemerintah untuk memiliki 51 persen saham PTFI. Di sisi lain, pemerintah menegaskan HoA sudah mengikat sebagai kesepakatan "setelah ada negosiasi dengan Freeport McMoRan, 40 persen hak partisipasi Rio Tinto akan menjadi saham."
"Tanda tangan HoA hari ini sudah mengikat," kata Menteri BUMN Rini Soemarno.
Sementara itu, Rio Tinto mengklaim HoA divestasi saham PT Freeport Indonesia tidak bersifat mengikat. Adapun Rio Tinto mengindikasikan bahwa perjanjian tersebut tak lebih dari sekadar jalan masuk untuk dapat membeli hak partisipasi Rio Tinto di tambang PTFI
“PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Rio Tinto, dan Freeport McMoran, Inc telah menandatangani perjanjian yang tidak mengikat dalam kaitannya dengan kepemilikan tambang Grasberg di Indonesia pada masa mendatang,” jelas Rio Tinto dalam situs resminya.
Kesepakatan HoA belum bisa menjadi klaim pemerintah menguasai mayoritas saham di PTFI, karena proses pembelian hak partisipasi di tambang Grasberg oleh Rio Tinto saja belum final, dan bisa saja bakal ada drama baru.
Editor: Suhendra