Menuju konten utama

Mahalnya Harga Divestasi Freeport

Saat Freeport McMoran (FCX) menandatangani kontrak karya pertama 49 tahun lalu, posisi tawar Indonesia begitu lemah. Kini, Freeport menawarkan USD 1,7 miliar untuk 10,64 persen sahamnya kepada Pemerintah Indonesia.

Mahalnya Harga Divestasi Freeport
Petugas dari satuan Brimob berjaga di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Pada 23 Oktober 1936, geolog asal Belanda Jean-Jacques Dozy bertolak dari Pelabuhan Babo di Teluk Bintuni untuk mencapai Carstensz, gunung tertinggi di Papua. Dengan menumpang kapal uap Albatros, Dozy yang ikut dalam rombongan Dr. A.H. Colijn sampai di Aika, pantai selatan Papua pada hari keempat. Ditambah dengan perjalanan bermoda perahu dan jalan darat, akhirnya mereka tiba di tempat yang kemudian dinamai Ertsberg (gunung bijih) itu pada 7 November.

“Terdapat bijih tembaga mengandung emas yang dapat kita temukan dalam kalkopirit, malasit, lazuli, dan bornit,” tulis Dozy dalam Geological Results of the Carstensz Expedition 1936 yang diterbitkan pada 1939, atau 28 tahun sebelum kesepakatan kontrak karya pertama.

Walau Dozy sudah mencatat bahwa bijih tembaga Ertsberg mengandung emas, kontrak tambang yang berlaku selama 30 tahun itu menuliskannya sebagai tambang tembaga. Kotanya pun dinamai Tembagapura. Freeport hanya membayar royalti atas penjualan tembaga, tapi tak membayar royalti atas emas dan perak.

“Bisa dikatakan Freeport menuliskan sendiri tiketnya,” tulis Charles Kernot, analis tambang dari BNP Paribas.

Kernot dalam bukunya Valuing Mining Companies (1999) menulis bahwa keuntungan dari emas dan perak inilah yang membuat Freeport bertahan jadi salah satu perusahaan tambang tembaga terbesar di dunia. Termasuk saat terjadi depresi harga tembaga dunia pada 1980an.

Pada 1991, pemerintah Indonesia dan Freeport memperbarui kontrak karya. Apalagi saat itu sudah dikaji adanya tambang lain untuk dieksplorasi, Grasberg, tak jauh dari lokasi Ertsberg. Selain ada penambahan royalti tembaga untuk pembangunan lokal, kontrak itu juga mewajibkan royalti atas emas dan perak.

Harga Saham Terus Turun

Hingga kini, emaslah yang menjadi tambang utama PTFI. Meski cadangan tembaga Freeport di Indonesia kurang dari 30 persen jumlah cadangan tembaga FCX di seluruh dunia, cadangan emasnya mendekati angka 100 persen. Keuntungan yang didapat pun relatif stabil. Dalam rentang 2005 sampai 2014, PTFI menyumbang laba untuk FCX pada kisaran 3-4 miliar dolar.

Meski laba FCX baik di Indonesia maupun secara total relatif stabil dalam delapan tahun terakhir (sampai 2014), tidak demikian yang terjadi dengan harga sahamnya. Dalam setahun terakhir ini, saham FCX terus merosot sampai harga per lembarnya hanya 4,2 dolar AS pada penutupan 14 Januari 2016. Padahal, tiga tahun sebelumnya, harga saham FCX bisa mencapai lebih dari 10 kali lipat angka itu.

Pada Juni 2015, Investopedia sudah menganalisis soal kemungkinan jatuhnya saham FCX ini berdasarkan tiga alasan. Pertama, tren harga tembaga yang terus menurun. Pada Mei 2015 harga tembaga masih 2,95 dolar AS per ons, sedangkan sekarang (28 Januari 2016) harganya 2,07 dolar AS.

Faktor kedua yang memperlemah kepercayaan investor adalah masalah PTFI di Indonesia. Tahun lalu, Investopedia menulis soal izin ekspor konsentrat Freeport sempat dihentikan beberapa hari karena dianggap belum memenuhi syarat dari pemerintah terkait pembangunan smelter di Gresik. Sekarang, izin yang berlaku 28 Juli 2015 sampai 28 Januari 2016 itu pun belum diperpanjang lagi karena pemerintah masih menanti Freeport menyetor dana komitmen pembangunan smelter sebesar 530 juta dolar AS.

Faktor ketiga adalah menurunnya harga minyak dan gas secara umum yang menyebabkan terganggunya arus kas Freeport McMoran. Karena adanya kesenjangan antara arus kas dan belanja modal, FCX menawarkan saham-saham kepemilikannya dalam bisnis minyak dan gas. Persoalannya, minyak dan gas harganya sedang sangat rendah di pasar. Kecil kemungkinan penawaran itu diterima oleh pasar, sehingga akan memperburuk jatuhnya saham FCX.

PTFI Tetap Jual Mahal

Walau harga sahamnya sedang anjlok, FCX tetap membandrol mahal harga saham anak usahanya, PTFI kepada pemerintah Indonesia. Komposisi saham PTFI saat ini dimiliki FCX sebanyak 90,64 persen, dan sisanya 9,36 persen dimiliki pemerintah Indonesia. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Indonesia mewajibkan perusahaan tambang dimiliki pemerintah setidaknya 30 persen.

Divestasi supaya pemerintah atau badan usaha milik pemerintah (nasional maupun daerah) memiliki 30 persen saham Freeport dilaksanakan secara bertahap, sekarang dan nanti pada 2019. Karena sudah memiliki saham sebanyak 9,36 persen, maka Indonesia perlu membeli 10,64 persen lagi pada tahun ini supaya mencapai 20 persen. Untuk divestasi kali ini, Freeport Indonesia menawarkan harga sebesar 1,7 miliar dolar AS atau Rp23,5 triliun.

Beberapa pihak menganggap harga penawaran Freeport terlalu tinggi, termasuk di antaranya Menteri BUMN Rini Soemarmo. "Kami tertarik untuk membeli saham Freeport, namun kami menilai yang ditawarkan terlalu tinggi,” ucap Rini seperti dikutip Antara (19/1/2016).

Pernyataan Menteri Rini masuk akal. Pasalnya, dengan harga penawaran 1,7 miliar dolar untuk 10,64 persen saham, berarti Freeport Indonesia mengasumsikan harga keseluruhan sahamnya bernilai 16 miliar dolar. Padahal, nilai seluruh saham FCX yang menjadi induk PTFI jauh lebih kecil dari itu. Pada 22 Januari ini, misalnya, nilai kapitalisasi pasar FCX ada pada angka 4,5 miliar dolar AS.

Nilai itu bahkan tak mencapai sepertiga nilai perusahaan PTFI yang terasumsi dalam harga penawaran saham. Dengan uang 1,7 miliar dolar, Pemerintah Indonesia bisa membeli lebih dari 30 persen saham FCX yang notabene adalah pemilik 90,64 persen saham pada PTFI.

Terkait harga penawaran PTFI, Menteri ESDM Sudirman Said masih menunggu pertimbangan dari tim evaluasi yang ditunjuk kementerian BUMN. Kementerian ini telah menunjuk Danareksa dan Mandiri Ekuitas untuk menilai harga penawaran saham Freeport. "Kami akan menunggu saja hasil penilaian dari lembaga yang telah ditunjuk Menteri BUMN Rini Soemarno dan kami harapkan bulan Maret sudah ada hasil penilaiannya," kata Sudirman pada Antara (21/1/2016).

Secara ekonomis, kehati-hatian Sudirman Said juga bisa dipahami. Meski terdengar heroik, tuntutan untuk menghentikan kontrak karya Freeport tetap harus berhadapan dengan fakta bahwa angka yang masuk ke kas negara dari usaha tambang itu cukup besar. Pada 2014, pundi dari Freeport yang diterima negara sebesar 539 juta dolar atau setara Rp747,6 miliar. Ia bahkan pernah mencapai lebih dari Rp3 triliun pada 2011. Sebagai perbandingan, APBN 2016 sebesar Rp2.095 triliun, sedangkan APBD Provinsi papua sebesar 11,7 triliun.

Namun, bersikap realistis tak berarti pemerintah harus menelan mentah-mentah harga yang ditawarkan Freeport. Selain kondisi perusahaan induk, FCX, yang sedang jeblok-jebloknya di pasar saham, perusahaan ini juga memproduksi emas hampir seluruhnya dari tambang di negara ini. Tak seperti pada kontrak karya 49 tahun lalu, Freeport kali ini tak seharusnya dibiarkan menulis tiketnya sendiri.

Baca juga artikel terkait FREEPORT atau tulisan lainnya

tirto.id - Bisnis
Reporter: Maulida Sri Handayani