Menuju konten utama

Embung Grigak Sentra Ekonomi Baru Gunung Kidul

Setelah embung dibangun, warga juga dibekali berbagai benih buah-buahan, antara lain durian, jambu, dan jeruk.

Embung Grigak Sentra Ekonomi Baru Gunung Kidul
Embung Grigak di kawasan Gunung Kidul. foto/Istimewa

tirto.id - Peta Risiko dan Wilayah Terdampak Kekeringan Pulau Jawa yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut Gunung Kidul sebagai satu-satunya wilayah di Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta yang mengalami kekeringan. Dengan kontur alam didominasi bukit-bukit karst, yang permukaan tanahnya tidak mampu menyimpan air lantaran tersusun atas batuan kapur berpori, hal ini menjadikan wilayah Gunung Kidul rentan mengalami kekeringan, terutama saat musim kemarau.

“Warga di kawasan ini masih kerap menghadapi keterbatasan akses air bersih, bahkan untuk kebutuhan sehari-hari yang paling mendasar,” ungkap Pratomo, Direktur Eksekutif Yayasan Obor Tani, saat dihubungi reporter Tirto.id akhir April lalu. Pada Maret 2020, Yayasan Obor Tani bekerjasama dengan Coca-Cola Foundation Indonesia (CCFI) membangun Embung Grigak di kawasan Gunung Kidul. Pembangunan embung itu selesai pada Mei 2021.

Bukan tanpa alasan kawasan Pantai Grigak dipilih sebagai lokasi pembangunan embung tadah hujan. Sejak 1980-an, wilayah yang termasuk dalam Dukuh Karang, Kelurahan Girikarto, Kapanewon Panggang, Kabupaten Gunung Kidul itu memang sudah cukup akrab dengan upaya-upaya pengairan.

Adalah sosok Romo Mangunwijaya, seorang arsitek, pemuka agama, aktivis kemanusiaan, dan sastrawan yang mula-mula berusaha membuka sumber-sumber air dan menaikkannya ke permukaan melalui sumur tenaga angin di Dukuh Karang. Berkat usaha itu, masyarakat cukup terbantu untuk kebutuhan air dasar sehari-hari seperti.

Namun, tentu saja warga Dukuh Karang butuh air lebih dari sekadar untuk kebutuhan dasar. Ada singkong, pisang, dan padi gogo yang juga membutuhkan pengairan, juga ternak yang harus dihidupi.

Demi memenuhi kebutuhan itu semua, kebanyakan warga Dukuh Karang memanfaatkan ember dan gentong untuk menadah air hujan. Jika tiba musim kemarau, warga tak punya banyak pilihan.

“Dahulu, warga harus membeli air untuk bahkan keperluan ternak-ternaknya,” ungkap Ratno, Ketua Dukuh Karang, beberapa tahun silam.

Dalam situasi kekeringan, tak ada pilihan selain membeli air dan makanan. Bagi mereka yang agak berkecukupan, hal itu tidak jadi soal. Namun, bagi warga dengan ekonomi kurang berkecukupan, ternak yang ada haruslah dikorbankan. Ironisnya, hasil penjualan itu digunakan untuk keperluan ternak yang masih tersisa.

Menjawab Persoalan

Ketika bencana alam gempa meluluhlantakkan Yogyakarta, Mei 2006, Gunung Kidul terdampak. Satu-satunya jembatan yang biasa dipakai warga untuk mencapai sumur buatan Romo Mangun ikut hancur. Kenyataan itu memberi pukulan telak bagi kehidupan warga yang sebelumnya sudah sangat rentan.

15 tahun setelah gempa Yogya, warga Dukuh Karang bernapas lega. Pembangunan embung tadah hujan Grigak yang diinisiasi CCFI dengan menggandeng Yayasan Obor Tani menjawab persoalan besar selama ini.

“Embung menjadi sumber air baku, irigasi, sehingga warga bisa menanam berbagai tanaman dengan komoditas tinggi seperti buah-buahan,” terang Pratomo.

Lepas dari fakta adanya jejak Romo Mangun, tanah di kawasan Dukuh Karang juga punya keunggulan dari segi mineral. pH tanahnya di rentang 6-7, sedangkan pH tanah pada umumnya 5-6. Kondisi ini membuat tanah di Dukuh Karang bisa dimanfaatkan secara optimal untuk perkebunan maupun pertanian, asalkan kebutuhan airnya mencukupi.

“Berkat adanya embung, tanah yang gersang bisa menjadi subur. Sekarang bukan hanya singkong, pisang, dan padi gogo yang tumbuh, tetapi juga alpukat, durian, dan lengkeng. Pohon-pohon yang tadinya tumbuh kecil di sini sekarang tumbuh dengan diameter lebih lebar,” sambung Pratomo.

Embung Grigak sendiri dibangun di atas batuan karst seluas satu hektare. Karena lokasinya di atas lahan yang keras, pembangunannya perlu penanganan khusus, dilapisi biomembran. Lantaran itulah Pratomo menyebut Embung Grigak terbilang mewah. Kemewahan lainnya makin terasa mengingat pemandangannya yang langsung berhadapan dengan kemegahan Samudera Hindia.

Sekarang, bayangkan sebuah gugusan karang menghadap laut lepas dan di tengah-tengahnya ada goa, sebagaimana lanskap Pulau Monuriki di Fiji yang menjadi latar Cast Away (2000). Bedanya, Pantai Grigak tidak hanya memiliki karang dan goa, tetapi dilengkapi embung di atasnya. Suguhan yang memanjakan mata bagi penikmat pariwisata.

“Dengan dikembangkannya sektor agrowisata, Embung Grigak adalah sentra ekonomi baru bagi warga sekitar,” kata Pratomo. Agrowisata di Dukuh Karang kini dikelola oleh Yayasan Mangunkarsa, sebuah lembaga nirlaba yang berupaya merawat dan meneruskan kerja-kerja Romo Mangunwijaya.

Motor De-urbanisasi, Radiator Desa

Dari segi sosial, kehadiran embung Grigak juga berhasil menahan laju urbanisasi orang-orang Dukuh Karang. Dulu, tak sedikit warga merantau ke kota demi mencari uang. Apalagi di musim kemarau, ketika situasi tak memberi banyak pilihan. Jika dulu masa produktif lahan di Dukuh Karang hanya 5-7 bulan alias selama musim penghujan, sekarang berlangsung sepanjang tahun.

Kini, di musim kemarau sekalipun, warga bisa menanami lahannya dengan bawang dan sayuran. “Embung ini benar-benar berdampak, warga tidak perlu lagi merantau ke kota untuk mencari penghasilan,” kata Pratomo.

Manfaat lainnya, menyitir penelitian yang dilakukan pihak Universitas Gadjah Mada, Pratomo menyebut suhu sekitar bisa turun antara 1-2 derajat berkat adanya embung. “Jadi, embung juga berperan sebagai semacam radiator desa, penurun suhu alami bagi lingkungan sekitar.”

Disinggung apa pertimbangan Yayasan Obor Tani bermitra dengan Coca-Cola, Pratomo memberi ilustrasi.

Dulu, Romo Mangun yang rohaniawan Katolik itu mengusahakan air di Dukuh Karang tanpa memandang apa agama dan latar belakang warga Dukuh Karang. Bertahun-tahun Romo Mangun berinteraksi dengan orang-orang Dukuh Karang, urusan perbedaan keyakinan tidak sedikit pun menjadi persoalan.

Embung Grigak, dengan kemampuan menampung 12 juta liter air, bukan sekadar penampung air di punggung bukit karst yang keras. Ia adalah penanda bagaimana sebuah upaya kolaboratif mampu mengubah wajah sebuah desa yang dulu akrab dengan kekeringan menjadi area yang produktif.

Dan hal demikian tidak hanya berlangsung di Dukuh Karang.

Kabar dari Pacitan

Di puncak Bukit Pageran, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan, Embung Tremas terbaring. Di sekelilingnya menjulang deretan bebukitan: Manukan, Nogo, Gajah, dan lain-lain. Dari ketinggian 508 mdpl itu, Embung Tremas diharapkan memainkan peran lebih dari sekadar fasilitas konservasi air yang memperkuat sektor pertanian lokal.

“Embung Tremas merupakan investasi jangka panjang untuk ketahanan pangan, pertanian, dan adaptasi terhadap perubahan iklim,” ungkap Senior Director of Public Affairs, Communications, and Sustainability PT Coca-Cola Indonesia, Triyono Prijosoesilo, di kawasan Embung Tremas, Rabu (3//9).

Sebagaimana Embung Gragak di Dukuh Karang, Embung Tremas di Desa Tremas juga memberi dampak bagi sektor pertanian lokal. Jika sebelumnya para petani menanami pucuk-pucuk bebukitan itu dengan aneka pohon keras–jati, mahoni, trembesi, sonokeling–kini ragam tanaman buah mulai ditanami seiring beroperasinya Embung Tremas.

Menurut Pratomo, setelah embung dibangun, warga juga dibekali berbagai benih buah-buahan, antara lain durian, jambu, dan jeruk. Kelak, buah-buahan itu diharapkan dapat menjadi nilai tambah bagi para petani, selain untuk konsumsi pribadi.

“Jual buah-buahan pada dasarnya adalah jualan air. Air dalam bentuk durian, jambu, jeruk, dan lain-lain. Ternak juga perlu air. Kambing, unggas, manusia, semuanya perlu air. Jadi, jika nanti kawasan Embung Tremas ini menjadi kawasan agrowisata, embung yang menjadi penggeraknya,” kata Pratomo.

Pratomo bangga Yayasan Obor Tani yang ia nakhodai dipercaya menjadi mitra The Coca-Cola Foundation dalam membangun infrastruktur air seperti embung. Menurut Pratomo, air adalah fondasi kehidupan dan kesejahteraan. “Dengan adanya sumber air yang terjamin, kita tidak hanya mendukung pertanian, tetapi juga membangun komunitas Tremas yang lebih tangguh,” ungkap Pramono.

Bupati Pacitan, Indrata Nur Bayuaji mengapresiasi kolaborasi multipihak yang berlangsung di Embung Tremas. Selain duet The Coca-Cola Foundation dan Yayasan Obor Tani, ada juga CCFI dan BenihBaik.com yang mengaktivasi solusi inovatif pengelolaan sampah organik. Kolaborasi empat pihak itu makin paten setelah pihak pemerintah desa dan pondok pesantren Tremas turut berpartisipasi menghidupkan Embung Tremas.

“Diharapkan semua program ini dapat memberdayakan masyarakat secara keseluruhan, dan Embung Tremas dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pertanian yang punya nilai ekonomi tinggi. Area ini juga berpotensi menjadi destinasi ekowisata mengingat keindahan alamnya,” ungkap Indrata.

Ikhtiar Romo Mangun pada masa lalu hingga kolaborasi Yayasan Obor Tani dan The Coca-Cola Foundation belakangan ini menunjukkan bahwa kerja-kerja mengupayakan air adalah kerja-kerja mengupayakan kehidupan. Sepanjang air tercukupi dan kesungguhan memperbaiki keadaan mengemuka, menjalani kehidupan yang lebih layak bukan lagi angan-angan belaka.

Baca juga artikel terkait AIR atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Aktual dan Tren
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Dwi Ayuningtyas