tirto.id - Sejumlah ekonom memprediksi defisit transaksi berjalan (current account deficit atau CAD) kuartal IV 2018 bakal kembali melebar. Prediksi tersebut didasarkan pada tingginya nilai impor Indonesia yang menyebabkan neraca perdagangan selama tahun 2018 mengalami defisit 8,57 miliar dolar AS.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara memprediksi CAD untuk periode kuartal IV 2018 mencapai 3-3,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Prediksi ini itu lebih tinggi dari yang diproyeksikan Bank Indonesia, meski sama-sama menyebut terjadi pelebaran CAD, yakni 3 persen dari PDB.
"Sepertinya target BI masih overshoot karena di kuartal IV impor migas masih naik year on year dan kinerja ekspor loyo," ujar Bima kepada reporter Tirto, Senin (21/1/2019).
Jika prediksi itu benar, maka CAD kuartal IV tahun 2018 ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 1,73 persen terhadap PDB.
Bima juga menyoroti pembengkakan impor lantaran kinerja sektor jasa Indonesia rendah. Dia memberi contoh, target kunjungan 20 juta wisatawan mancanegara kemungkinan besar tak terpenuhi. Sebab, sampai November 2018, baru tercatat ada kunjungan 14,3 juta turis asing.
"Dari sisi jasa, jumlah wisman tidak sesuai target jadi defisit jasa masih melebar. 3-3,1 persen realisasi CAD estimasinya," kata dia.
Menurut Bima, pelebaran CAD di kuartal IV menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia saat ini masih rapuh. Sebab, pemerintah masih bergantung pada modal asing serta impor.
Selain itu, penopang utama transaksi berjalan masih ekspor barang mentah. Angkanya 79 persen dari total ekspor. Sementara ekspor industri manufaktur hanya di bawah 27 persen.
Kondisi ini, menurut Bima, erlu diwaspadai pemerintah sebab negara-negara yang mengalami krisis biasanya bermula dari pelebaran CAD yang terus-menerus.
"Saat krisis tahun 1999 Indonesia memang pernah surplus. Tapi itu lebih disebabkan harga komoditas yang sedang naik. Struktur ekonomi saat ini justru menunjukkan naiknya kerawanan," terang Bima.
Ekonom Bank Permata Josua Parade mengutarakan pendapat serupa. "Kita harus berani bilang kalau ada struktur yang harus dibenahi Pemerintah. Dan ini harus jadi concern untuk mendorong sektor manufaktur dan pengolahan," kata dia.
Salah satu penyebab ketergantungan Indonesia terhadap impor, menurut Josua, juga karena kinerja sektor manufaktur yang rendah. Akibatnya, saat ekonomi mengalami pertumbuhan, suplai konsumsi domestik tidak bisa terpenuhi dari dalam negeri.
"Ini mengindikasikan struktur ekonomi kita enggak bagus. Jadi itu yang harus direformasi lagi oleh pemerintah. Karena kontribusi sektor manufaktur juga terus mengalami penyusutan," ujar dia.
Padahal, Josua mencatat daya serap sektor manufaktur terhadap tenaga kerja di masa lalu pernah sangat tinggi. "Sekarang [di setiap] 1 persen pertumbuhan ekonomi, manufaktur hanya menyerap 250 ribu tenaga kerja," kata dia.
Menurut Josua, pemerintah harus mulai berfokus mengembangkan lagi industri manufaktur karena sektor ini bisa memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dia juga mengingatkan pengembangan sektor manufaktur membutuhkan kebijakan pro-industri dan kendali ketat agar inflasi tetap rendah. Josua menambahkan biaya logistik yang murah juga perlu segera diwujudkan oleh pemerintah.
"Kalau kita lihat kegiatan ekspor impor kita juga kan masih mengandalkan luar negeri karena industri perkapalan kita belum optimal. Padahal, ketergantungan terhadap kapal asing juga membuat neraca jasa kita mengalami defisit," kata dia.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Addi M Idhom