tirto.id -
Jika pada pilpres 2016 silam ujaran yang melecehkan perempuan datang dari capres Partai Republik, Donald J. Trump, komentar buruk kali ini datang dari cawapresnya, JD Vance.
Beberapa waktu silam, beredar kembali video lama berisi wawancara Vance yang menyebut perempuan politisi seperti Kamala Harris dan anggota Partai Demokrat lainnya sebagai “cat lady”—istilah merendahkan untuk perempuan tanpa anak dan hidupnya dianggap sengsara.
Dalam klarifikasinya, Vance menjelaskan bahwa ucapannya bersifat sarkastis, sekadar lelucon. Konteks yang ia maksud adalah tren di kalangan warga AS yang menolak memiliki anak.
Meski begitu, Vance mengaku tidak menyesal sudah menyebut “cat lady”. Yang ia sesalkan adalah mengapa banyak orang yang salah mengartikan maksudnya.
Bahkan, Vance menutup pernyataannya dengan mengklaim bahwa ia memiliki banyak penyesalan, akan tetapi menyebut “cat lady” tidak termasuk dalam daftar 10 besar penyesalan hidupnya.
Komentar Vance menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk sindiran dari bintang pop Taylor Swift.
Lewat salah satu unggahannya, perempuan musisi terkaya di dunia ini menyatakan dukungan untuk pasangan capres Kamala Harris dan cawapres Tim Walz dengan mengunggah foto bersama kucing peliharaannya, yang ditutup dengan caption: “With love and hope, Taylor Swift, Childless Cat Lady”.
Sejarah Stigmatisasi Kucing dan Perempuan
Stereotip “cat lady”—sering diberi awalan “crazy” atau “childless”—sebagai ejekan yang merendahkan perempuan, memiliki akar sejarah cukup panjang.
Mula-mula, kucing dianggap sebagai simbol feminitas.
Sejarah Mesir kuno mengenal Bastet, dewi suci yang berwujud setengah manusia dan kucing. Figur Bastet sampai sekarang masih eksis sebagai tokoh di berbagai budaya populer, menjadi simbol sakral yang kerap mengambil peran sebagai dewi pelindung bagi perempuan.
Dalam mitologi Cina, sosok dewi berwujud kucing juga hadir melalui Li Shou yang dipercaya membawa kesuburan.
Akan tetapi, seiring menguatnya kekuasaan Gereja Katolik Roma pada abad pertengahan, mulai marak upaya memberantas praktik keagamaan di luar ajaran Katolik yang dianggap sesat—termasuk penyembahan pada dewa-dewi kuno.
Situasi semakin keruh dengan pernyataan Paus Gregory ke-IX kepada Raja Henry ke-VII pada 1232.
Kala itu, Paus Gregory mengatakan bahwa ia melihat kelompok sekte yang menyembah patung kucing hitam.
Citra kucing, yang awalnya sakral, perlahan berubah menjadi hewan yang dianggap berasosiasi dengan setan.
Setahun kemudian, Paus Gregory menerbitkan dekrit Vox in Rama yang mendorong umat Katolik untuk membasmi kucing hitam beserta pemiliknya, terutama perempuan.
Menurut Katharine M Rogers dalam buku The Cat and the Human Imagination (1998), kalangan Gereja saat itu mengecap perempuan lajang yang berkeliaran layaknya kucing betina yang sedang berburu.
Pada 1566, terjadi sidang eksekusi hukum gantung terhadap Agnes Waterhouse. Ia dipercaya sebagai penyihir perempuan yang memiliki seekor kucing bernama Sathan. Kucing tersebut, diakui Agnes, membantunya melakukan sihir.
Menurut Silvia Federici dalam bukunya Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation (2004), atas nama penyingkiran penyihir, pembantaian yang acap kali dilakukan tanpa proses pengadilan tersebut akhirnya digunakan sebagai alat kontrol terhadap tubuh dan kebebasan perempuan.
“Cat Lady” dalam Budaya Populer
Penggambaran negatif perempuan pemilik kucing juga hadir dalam budaya populer.
Dalam kartun fenomenal The Simpsons, karakter bernama Eleanor Abernathy atau biasa disebut Crazy Cat Lady, digambarkan sebagai perempuan pemilik kucing dengan gangguan kesehatan mental.
Film oleh sutradara kenamaan Stanley Kubrick, A Clockwork Orange (1972), juga menampilkan karakter perempuan nyentrik pencinta kucing yang dijadikan samsak tinju hingga tewas oleh tokoh utama.
Sementara dalam lanskap sastra Indonesia, penulis Intan Paramaditha berusaha menolak stereotip tersebut dalam novelnya, Malam Seribu Jahanam (2023).
Dalam novel itu, tokoh bernama Mutiara memilih untuk memelihara kucing hitam daripada menikah dan melahirkan anak. Ia digambarkan sebagai tokoh sang penjaga, jauh dari gambaran “crazy cat lady” yang biasa dijumpai.
Beda Persepsi Laki-Laki Penyayang Kucing
Menariknya, stigma merendahkan yang dilekatkan kepada perempuan penyayang kucing cenderung tidak dijumpai pada laki-laki yang juga menyukai kucing.
Di Indonesia, kucing malah bisa digunakan untuk “melembutkan” citra tokoh politik. Prabowo Subianto, presiden terpilih 2024, kerap membagikan fotonya bersama kucing-kucing peliharaannya di media sosial.
Laki-laki yang memelihara kucing, terlebih mengunggahnya ke media sosial, dipandang sebagai penyayang binatang yang menggemaskan alih-alih mengenaskan.
Coba perhatikan, apa pernah berseliweran istilah seperti “crazy cat gentleman”?
Meski ada pandangan bahwa laki-laki pemelihara kucing “kurang maskulin”, pada saat bersamaan, ada juga anggapan lain yang melihatnya sebagai semacam bentuk perlawanan terhadap toxic masculinity atau maskulinitas beracun.
Selain itu, laki-laki pecinta kucing juga mendapat sebutan atau panggilan yang maknanya cenderung positif dan atraktif.
Di Instagram misalnya, akun seperti Hot Dudes with Cats mengunggah foto laki-laki yang berpose keren bersama kucingnya.
Pencarian di TikTok dengan kata kunci “handsome guy with cats” juga akan mengantar kita pada video-video dengan jutaan views dan komentar-komentar menyenangkan dari warganet.
Menurut psikolog Dr. Audrey Tang, adanya perbedaan pandangan terhadap perempuan dan laki-laki pecinta kucing ini sangat mungkin berkaitan dengan sejarah panjang stigmatisasi, termasuk kaitannya dengan ‘penyihir’, yang selama ini cenderung dilayangkan terhadap pihak perempuan.
Nyatanya, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung bahwa pemilik kucing lebih mudah depresi, cemas, atau kesepian.
Begitulah kesimpulan dari studi oleh tim peneliti dari University of California, Los Angeles yang terbit di jurnal Royal Society Open Science (2019).
Penelitian ini melibatkan 264 orang muda dengan kucing dan/atau anjing serta 297 orang yang tidak memiliki peliharaan. Hasilnya, pemilik kucing tidak memiliki perbedaan signifikan dalam hal gejala depresi, kecemasan, atau pengalaman mereka dalam hubungan asmara.
Terlebih dari itu semua, memiliki hewan peliharaan dapat membantu kita untuk menjalani hidup yang lebih sehat dan bahagia.
Riset menunjukkan bahwa kepemilikan kucing diasosiasikan dengan risiko lebih rendah untuk meninggal dunia karena serangan jantung, stroke, atau berbagai tipe penyakit kardiovaskular.
Berbagai penelitian lain menunjukkan bahwa pemilik kucing cenderung lebih peka secara sosial, lebih memercayai orang, dan lebih mudah menyukai orang lain daripada mereka yang tidak memiliki binatang peliharaan.
Secara umum, pemilik hewan peliharaan merasakan manfaat positif pada kesehatan mentalnya.
Menurut survei Healthy Minds Monthly Poll yang dirilis American Psychiatric Association pada 2023, sebanyak 69 persen responden menganggap kehadiran anjing, kucing, atau binatang peliharaan lainnya sudah membantu meredam stres dan gelisah.
Persentase yang sama juga mengakui bagaimana anabul mereka sudah memberikan cinta dan dukungan tidak bersyarat, serta ikatan pertemanan yang erat.
Penulis: Ahmad Haetami
Editor: Sekar Kinasih