Menuju konten utama

DPR: Presiden Tak Intervensi Aparat Hukum Beri Abolisi & Amnesti

Habiburokhman menyinggung presiden sebelumnya dari era Habibie hingga Jokowi pernah menggunakan hak prerogatif grasi, amnesti maupun abolisi.

DPR: Presiden Tak Intervensi Aparat Hukum Beri Abolisi & Amnesti
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman (kiri) menyampaikan konferensi pers catatan akhir tahun di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/12/2024). Sepanjang 2024 Komisi III DPR menerima 469 laporan pengaduan masyarakat dan telah melakukan RDP maupun RPDU dengan 11 pihak yang telah menghasilkan berbagai rekomendasi. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/tom.

tirto.id - Ketua Umum Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan Presiden Prabowo Subianto tidak mengintervensi aparat penegak hukum dalam memberikan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Indonesia, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.

Menurutnya, Prabowo hanya mengambil alih penyelesaian persoalan hukum melalui cara yang dianggapnya konstitusional.

“Terkait kasus Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, kami memaknai bahwa Presiden Prabowo sama sekali tidak mengintervensi kerja aparat penegak hukum,” kata Habiburokhman dalam keterangannya, Jumat (1/7/2025).

Lebih lanjut, dia menuturkan, baik Hasto dan Tom Lembong tidak memperkaya diri sendiri dengan mengambil uang negara. Di luar pertimbangan itu, dia meyakini bahwa Prabowo memiliki pertimbangan lain yang lebih besar untuk kepentingan bangsa dan negara.

Dengan begitu, dia menekankan keputusan Prabowo dalam memberikan amnesti dan abolisi sudah tepat karena sesuai konstitusional dan hukum. Habiburokhman pun menyinggung Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden berhak memberikan amnesti dan abolisi.

“Jika mengacu pada penjelasan Pasal 14 dari UUD 1945 sebelum amandemen, disebutkan bahwa pengaturan tersebut merupakan konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Dengan demikian pertimbangan pengambilan keputusan tersebut dipastikan untuk kepentingan bangsa dan negara,” jelas Habiburokhman.

Secara teknis, katanya, pemberian amnesti dan abolisi ini didasarkan pada UU Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi. Ihwal rencana pemberian amnesti dan abolisi ini sebenarnya sudah lama menjadi tema pembicaraan DPR, terutama sejak tahun 2019.

Faktanya, kata Habiburokhman, terjadi over capacity yang sudah sangat serius. Rata-rata, setiap lapas mengalami over capacity hingga 400 persen. Lebih dari setengah penghuni lapas kebanyakan adalah pengguna narkotika.

“Pemberian amnesti tentu akan sangat efektif mengatasi over capacity tersebut. Terlebih sejak 2023 kita sudah mengesahkan KUHP baru yang mengandung nilai-nilai baru yaitu keadilan rehabilitatif, korektif dan restoratif. Artinya pendekatan kita terhadap peristiwa hukum pidana bukan lagi sekedar penghukuman tetapi sudah bergeser menjadi proses reintegrasi sosial dan pemulihan korban,” jelasnya.

Habiburokman pun menekankan penyelesaian persoalan hukum dengan menggunakan hak prerogatif Presiden bukan lah pertama kali dilakukan.

“Soekarno memberikan amnesti umum dengan memberlakukan UU Nomor 11 Tahun 1954, Soeharto memberikan grasi di antaranya kepada pelawak Gepeng Srimulat tahun 1990-an, BJ Habibie dan Gusdur memberikan amnesti kepada sejumlah Tapos. Megawati, SBY, dan Jokowi pun pernah menggunakan hak prerogatif tersebut,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KASUS KORUPSI atau tulisan lainnya dari Nabila Ramadhanty

tirto.id - Flash News
Reporter: Nabila Ramadhanty
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Andrian Pratama Taher