tirto.id - Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama Kementerian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) sepakat menghapus tenaga honorer dari organisasi kepegawaian pemerintah. Hal itu merupakan kesepakatan saat ketiga lembaga negara itu melakukan rapat kerja (raker) mengenai persiapan pelaksanaan seleksi CPNS periode 2019-2020 di Komisi II DPR RI, Jakarta Selatan, Senin (20/1/2020) kemarin.
Langkah ini diambil untuk memastikan tidak ada lagi status pegawai honorer yang bekerja di instansi pemerintah. Sebab berdasarkan pasal 6 Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang bekerja di instansi pemerintah hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Larangan menghapus tenaga honorer juga menyasar lembaga pendidikan. Pasalnya, banyak sekolah negeri yang masih menggunakan guru honorer.
Saat masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy juga telah memperingati para kepala sekolah negeri untuk tidak lagi merekrut guru honorer. Perekrutan guru honorer, menurutnya, melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 juncto Nomor 43 Tahun 2007.
Jika guru honorer dihapus dari sekolah negeri, bagaimana nasib mereka, dan apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?
Kacang Lupa Kulit
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai rencana DPR dan pemerintah itu dapat digambarkan seperti "kacang lupa kulit". Sebab, kata dia, orang-orang ini bisa terpandang seperti sekarang tak lain karena peran guru, termasuk mereka yang masih berstatus honorer.
"Begitu mereka punya kuasa, mereka mau usir dia [guru honorer] dari sekolah. Suul adab (tidak beradab) itu namanya," kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (23/1/2020).
Memecat tenaga honorer, termasuk mereka yang sudah mengabdi selama puluhan tahun, kata Ubaid, tidak manusiawi.
Alih-alih cuci tangan seperti itu, ia menilai DPR dan pemerintah semestinya menyelesaikan benang kusut tersebut, seberapa pun sulitnya itu dilakukan. "Ini masalah warisan yang harus diselesaikan, bukan malah dibumihanguskan," tegas dia.
Ubaid juga menyarankan pemerintah untuk memperhatikan pendistribusian tenaga pengajar PNS yang tidak merata di sejumlah daerah. "Karena kalau guru honorer dipecat, banyak pos-pos guru kosong di sekolah," terangnya.
Ketua Umum Pengurus Besar (BP) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi melayangkan kritik serupa. Ia meminta DPR dan pemerintah tidak mencampakkan guru honorer.
"Kita tidak bisa melupakan mereka, bagaimana nasib mereka. Kalau tidak ada honorer, tidak bisa jalan. Faktanya hanya ada satu sampai dua guru PNS," ujarnya kepada reporter Tirto.
Unifah lantas menyarankan pemerintah mengangkat guru honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sepanjang memenuhi syarat. Agar lolos, Unifah menyarankan agar pemerintah memberikan pendidikan dan pelatihan terlebih dulu.
Jika tidak lolos, misalnya di atas usia yang ditentukan (35 tahun), diarahkan untuk mengikuti tes PPPK. Sementara yang tak juga lulus disarankan diangkat menjadi pegawai sekolah.
"Yang penting status mereka harus dipikirkan, jangan kemudian memecat honorer, lalu merekrut guru PNS yang baru. Sama saja dengan kita tidak berterima kasih," katanya.
Diminta Ikut Tes CPNS
Plt Kepala Biro Humas BKN Paryono mengaku hingga saat ini belum ada regulasi menghapus tenaga pengajar honorer.
Ia lantas menyarankan guru honorer yang memenuhi syarat agar mengikuti tes CPNS dan PPPK. Dua status itulah yang diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
"Pegawai honorer tidak diatur di dalam UU tersebut. Sehingga rekrutmen, penggajian, pembinaan, kompetensi, dan penilaian kinerja tidak diatur," kata Paryono kepada reporter Tirto.
Bagaimana yang tak memenuhi syarat, misalnya mereka yang usianya sudah di atas 35 tahun? Paryono tak punya jawaban pasti.
"Ini perlu koordinasi lebih lanjut antara Menteri PAN-RB, Komisi II DPR, dan BKN," katanya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri