tirto.id - Sejumlah pegawai dan guru honorer dari beberapa daerah melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendaftarkan permohonan Judicial Review UU Nomor 5 Tahun 2014 (UU ASN).
Beberapa pasal yang digugat antara lain pasal 6 huruf b, tentang kriteria ASN, pasal 58 ayat 1 dan 2 tentang pengadaan PNS dan pasal 99 tentang pengangkatan PPPK.
Guru honorer yang protes ini berasal dari 13 provinsi antara lain Riau, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Jambi, Aceh, Jambi, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kepulauan Riau, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sejumlah profesi yang melakukan permohonan itu: Tenaga Pendidik dan Kependidikan (Guru Honorer, Penjaga Sekolah Honorer Sekolah Negeri, Operator Sekolah Negeri) Pegawai Honorer Teknis dan Administrasi, Tenaga Kesehatan (Perawat Honorer pada Instansi Pemerintah).
"Bahwa apa yang kami lakukan bukan lah perbuatan melawan pemerintah, kami hanya menggunakan hak konstitusional kami sebagai warga negara yang sudah barang tentu dijamin oleh UUD 1945," kata Koordinator Honorer Menggugat Yolis Suhadi melalui keterangan tertulisnya, Senin(13/1/2020).
Yolis mengatakan sikapnya itu bukan berarti tak ingin menunggu Revisi UU ASN yang telah dijanjikan oleh DPR dan pemerintah periode 2014-2019 yang tak kunjung terealisasi. Apalagi RUU ASN itu telah masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) sehingga pegawai honorer dapat segera diangkat menjadi PNS.
"Maaf kami tak mau jadi korban janji revisi. Sebab berkaca dari UU KPK, MD3 dan beberapa UU lain, tanpa perlu ke Prolegnas pun RUU disahkan menjadi UU," ucapnya.
Selain itu, ia juga menilai janji pemerintah untuk mengangkat pegawai honorer melalui tes PPPK hingga saat ini nasibnya tak jelas. Menurutnya, pemerintah selalu berdalih masih mengkaji aturan dan anggaran untuk menentukan status para pegawai honorer.
"Pada prinsipnya yang kami lakukan ini adalah upaya meminimalisir jatuh korban selanjutnya di pihak honorer. Kalau ini kami diamkan, artinya kita membiarkan pemerintah menikmati pekerja dengan upah murah," pungkasnya.
Saat melayangkan gugatan, mereka didampingi oleh LBH dan SBSI. Nantinya, para guru honorer tersebut juga akan menyiapkan saksi ahli dan saksi fakta untuk mendukung permohonan tersebut. Di antaranya Mochtar Pakpahan, Yusril Ihza Mahendra, Ahmad Redy, beserta tim ahli.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan telah menerima gugatan para pegawai honorer dengan nomor perkara 1942/PAN.MK/I/2020.
"Ya betul," kata Jubir MK Fajar Laksono kepada Tirto, Selasa (14/1/2020).
Fajar menjelaskan, setelah judicial review masuk, maka dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan akan keluar jadwal sidang I. Selanjutnya para pihak yang menggugat diinformasikan dan jadwal sidang perkara tersebut diumumkan kepada masyarakat.
Kemudian ia juga mengatakan bahwa salinan permohonan juga disampaikan kepada Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.
Korban Janji Palsu Pemerintah
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai selama ini guru honorer merupakan korban dari sistem pendidikan yang belum berkeadilan.
Seperti menerima gaji kecil di bawah Upah Minimum Regional (UMR), mendapatkan perlakuan yang dibeda-bedakan ketika di lingkungan sekolah, dan mendapat beban yang lebih berat dari guru yang telah menjadi PNS.
"Keadilan dan kemanusiaan adalah pelajaran penting yang diajarkan di sekolah. Tapi ternyata di lingkungan pendidikan kita masih melembagakan sistem yang tidak berkeadilan dan tidak berperikemanusiaan," kata dia Tirto, Selasa (14/1/2020).
Selain itu, menurutnya, guru honorer hanya diberikan janji manis oleh pemerintah dan DPR melalui revisi UU ASN. Pada Pilpres kemarin, Jokowi juga menjanjikan guru honorer akan menjadi PNS. Namun, hingga saat ini belum terealisasi.
"Tapi lagi-lagi mereka tertipu, program PPPK pun hanya PHP yang tak berujung. Harusnya pemerintah mendengarkan aspirasi para guru honorer ini, jangan terus-menerus menutup telinga," ucapnya.
Oleh karena itu, Ubaid mendesak pemerintah dan DPR RI segera merevisi UU ASN agar guru honorer, terutama yang telah mengabdi sejak lama segera diangkat menjadi PNS. Sehingga status guru honorer menjadi jelas dan tidak digantung seperti saat ini.
"Harus ada afirmasi kebijakan untuk guru honorer ini. Karena mereka sudah mengabdi puluhan tahun, tapi dianaktirikan oleh negara," pungkasnya.
Sudah Masuk Prolegnas Tahun 2020
Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidow mengatakan tak masalah dengan sejumlah pegawai honorer yang mengajukan judicial review ke MK.
"Itu hak konstitusional yang diperbolehkan UU. Selama ada yang merasa dirugikan dengan pengaturan di UU, maka jalurnya JR ke MK," ujar dia kepada Tirto, Selasa (14/1/2020).
Politikus Partai PPP itu menuturkan saat ini revisi UU ASN telah masuk ke dalam Prolegnas prioritas tahun 2020.
Setelah itu, DPR bersurat ke pemerintah dan dijawabnya melalui penerbitan surat presiden (surpres).
Selanjutnya surat dari pemerintah dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk ditentukan akan dibahas di komisi, Badan Legislasi, atau Panitia Khusus (Pansus). Nantinya DPR, DPD, dan Pemerintah.
"Nah, paling tidak akhir bulan ini. Kami berharap sudah ada surat dari pemerintah," ucapnya.
Namun, kata dia, dalam pembahasan revisi UU ASN itu tentu saja harus mengacu pada putusan MK.
"Kami harapkan putusan tentang ini bisa segera keluar. Sehingga putusannya bisa dimasukkan dalam revisi UU ASN," ucapnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri