Menuju konten utama

Dolce far Niente: Seni Bersantai untuk Hidup Lebih Berkualitas

Waktu luang tak harus selalu diisi kegiatan. Tidak ada salahnya juga kita benar-benar tak melakukan apa pun dan bersantai.

Dolce far Niente: Seni Bersantai untuk Hidup Lebih Berkualitas
Ilustrasi Bersantai di pantai. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Patrick Star "barangkali merupakan sosok paling bodoh di seantero kota". Begitulah kata Stephen Hillenburg, kreator kartun SpongeBob Squarepants, suatu kali. Dan sejak awal, Hillenburg memang ingin menjadikan karakter bintang laut itu sebagai sosok yang "terlihat lamban dan bodoh", tapi sebenarnya "sangat aktif dan agresif".

Sosok Patrick Star memang penuh kontradiksi. Di satu sisi, dia pemalas, tapi dia juga selalu senang diajak bermain oleh sahabatnya, SpongeBob. Di satu sisi, ida tampak begitu kalem dan santai, tapi karakter yang satu ini di beberapa situasi bisa marah meledak-ledak. Di satu sisi, Patrick memang bodoh, tapi dia sebenarnya menyimpan kebijaksanaan yang adiluhung.

"Pengetahuan tak bisa menggantikan persahabatan. Aku lebih memilih jadi seorang idiot!" begitu kata Patrick suatu kali.

Ya, dia memang punya banyak kekurangan, tapi dia juga sekaligus punya kualitas-kualitas seperti kesetiaan dan kejujuran. Selain itu, bintang laut berwarna merah muda ini juga menyimpan kualitas yang tak diduga-duga; salah satunya keahlian untuk tidak berbuat apa-apa.

Keahlian untuk tidak berbuat apa-apa itu barangkali satu-satunya keahlian yang dimiliki oleh Patrick. Sungguh, sosok satu ini begitu mahir menghabiskan waktu tanpa melakukan satu hal pun. Merasa bosan pun tidak. Patrick sungguh-sungguh bisa berdiam diri dan membiarkan waktu lewat begitu saja.

Sepintas, "aktivitas" yang dilakukan Patrick ini memang tampak tak berguna. Di dunia yang mendewakan produktivitas ini, tidak melakukan apa-apa akan terlihat seperti dosa. Padahal, tidak melakukan apa-apa sebenarnya merupakan sebuah seni yang bisa membantu manusia mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Hmm.... Bagaimana bisa?

Beranjak Sejenak ke Italia

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketiga di Uni Eropa, negara dengan industri manufaktur terbesar ketujuh di dunia, dan negara dengan produk domestik bruto terbesar ke-12 di dunia, Italia tentu layak disebut sebagai negara maju. Meski begitu, ia juga memiliki "karakter negara berkembang" yang cukup kuat. Salah satunya budaya bersantai.

Seni tidak melakukan apa-apa, seperti yang dilakukan Patrick Star, rupanya tertanam kuat di dalam kultur masyarakat Italia. Sampai-sampai, mereka punya istilah sendiri untuk itu, yakni dolce far niente yang berrti "kenikmatan saat tidak melakukan apa-apa".

Saat sedang punya waktu luang, kita sering kali tidak pernah benar-benar bersantai. Yang kita lakukan biasanya justru berupaya mengisi waktu luang itu dengan kegiatan. Seremeh apa pun itu, setidak berguna apa pun itu, yang jelas, kita mesti mengerjakan sesuatu.

Hal itu, menurut Dr. Colleen Long dalam artikelnya di Psychology Today, merupakan residu dari etos kerja yang ditanamkan dalam diri kita sejak masih kecil. Seakan-akan, kita harus selalu produktif bahkan dalam masa reses sekalipun.

Sebenarnya, tidak ada masalah berarti dengan mengisi waktu luang. Toh, tujuan akhirnya adalah kebahagiaan. Namun, kebahagiaan tidak melulu didapatkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang merangsang otak untuk terus bekerja keras.

Sering kali, kebahagiaan justru didapatkan dari hal-hal kecil yang tampak remeh seperti menyesap kopi, duduk santai di teras atau ruang tamu sambil mendengarkan musik, atau sekadar memandangi alam sekitar.

Inilah konsep dolce far niente khas Italia itu. Ya, memang, konsep itu tidak sama persis dengan apa yang dilakukan Patrick Star. Namun, spiritnya mirip. Ada kenikmatan, kebahagiaan, dan kepuasan yang bisa didapatkan dari kegiatan-kegiatan remeh dan tampak tidak ada gunanya.

Cara mendapatkan kenikmatan tersebut adalah dengan mindfulness. Pada prinsipnya, mindfulness adalah situasi di mana kita sepenuhnya sadar akan apa yang sedang kita lakukan, di mana kita berada, seperti apa suasana hati kita, dan bagaimana keadaan di lingkungan sekitar kita. Dengan kata lain, ketika kita melakukan sesuatu, tidak ada distraksi apa pun. Kita seratus persen berada di dalam situasi tersebut.

Orang Italia terlatih untuk melakukan itu. Mereka bisa menemukan kenikmatan dalam hal seremeh-remehnya karena mereka terbiasa untuk tidak grusa-grusu dalam melakukan sesuatu. Terkadang, seperti yang dituliskan dalam travel blogMaia Conscious Living, apa yang mereka lakukan sesederhana berjalan tanpa sedikit pun gangguan dari ponsel.

Menikmati hal-hal kecil seperti itu terdengar remeh. Namun, ia sebenarnya sangat sulit dilakukan. Pasalnya, keinginan untuk melakukan sesuatu yang produktif sering kali terlalu berat untuk dilawan. Apalagi, keberadaan teknologi seperti ponsel pintar dan internet membuat banyak orang merasa "gatal" kalau tidak melakukan sesuatu, bahkan untuk sekadar menggulir laman media sosial.

Menggulir media sosial sebenarnya juga bisa masuk kategori kegiatan remeh. Namun, kegiatan tersebut tidak membuat otak berhenti bekerja karena informasi yang masuk juga tidak berhenti. Hal itu tentu saja berbeda dengan berjalan keliling kompleks atau sekadar duduk menikmati matahari terbenam.

Manfaatnya untuk Kesehatan

Mereguk kenikmatan dalam hal-hal sepele ala dolce far niente ini rupanya memiliki manfaat yang luar biasa besar. Tekanan darah turun, pencernaan jadi lebih baik, otot-otot jadi lebih relaks, dan fokus bakal meningkat.

"Ketika Anda sangat sibuk, hormon stres cortisol bakal mengalami peningkatan. Hasilnya, tekanan darah Anda bakal naik, otot-otot jadi tegang, dan Anda jadi lebih gampang sakit. Kalau sudah begitu, Anda perlu melakukan sesuatu untuk membalikkan respons stres itu, yaitu dengan tidak melakukan apa-apa," ujar psikolog senior California State University, Francine Toder, kepada Today.

Manfaat kesehatan itu pun sudah terlihat pada kualitas hidup orang-orang Italia. Italia termasuk dalam zona biru, yaitu wilayah di mana orang-orangnya memiliki angka harapan hidup sampai di atas 80 tahun. Tentu saja, dolce far niente bukan satu-satunya faktor di balik ini. Ada pula faktor kualitas makanan, kualitas udara, dan lain sebagainya. Namun, hidup dengan tingkat stres rendah jelas akan membantu manusia hidup lebih panjang.

Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, mungkin tidak akan mudah mempraktikkan dolce far niente secara natural. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada cara untuk mewujudkannya. Kita bisa memulainya dari hal-hal sederhana seperti meluangkan waktu 5 menit untuk benar-benar bersantai tanpa stimuli apa pun kepada otak.

Ketika otak kita sudah terlatih untuk merasakan kenikmatan dalam hal-hal sepele, kenikmatan-kenikmatan lain pun bakal diraih dan, lambat laun, kualitas hidup kita pun bakal meningkat. Jika ini sudah bisa kita dapatkan, harapan untuk hidup pun akan semakin tinggi.

Baca juga artikel terkait ITALIA atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - GWS
Reporter: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi