Menuju konten utama

Dilarang Berpikir, Bahkan Dibunuh atas Nama Iman

Hypatia, Giordano Bruno, Bashar ibn Burd, dan Mansur al-Hallaj dibunuh karena pemikiran dan ucapannya yang dianggap sesat.

Dilarang Berpikir, Bahkan Dibunuh atas Nama Iman
Patung Giordano Bruno di Campo dei Fiori, Roma. Istock

tirto.id - Peristiwa konflik antara Galileo Galilei dengan Gereja Katolik pada abad ke-15 kerap disebut sebagai simbol betapa buruknya hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Kala itu Galileo, seorang astronom dan matematikawan asal Italia sedang giat-giatnya mengkaji sistem tata surya dan mengikuti pemahaman Copernicus bahwa bumi berputar mengelilingi matahari (heliosentrisme).

Simpulan Copernicus tersebut tak sesuai dengan keyakinan Kristen yang melihat bumi sebagai pusat semesta. Dan hal itu, seperti dilansir Encyclopaedia Britannica, dibicarakan dalam surat-surat Galileo untuk muridnya yang bernama Benedetto Castelli di Pisa, Italia.

Salinan surat-surat tafsir Galileo yang sejatinya adalah konsumsi pribadi ini menjadi bahan bagi para musuh Galileo untuk diserahkan kepada lembaga Inkuisisi Gereja Katolik di Roma. Lembaga ini pertama kali berdiri di Prancis pada abad ke-12 untuk menangani perkara kesesatan di antara umat Katolik pada waktu itu. Inkuisisi kemudian menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Galileo pada 1633.

Nasib Galileo sedikit lebih baik dari pendahulunya sesama orang Italia, Giordano Bruno, filsuf, kosmolog, dan mantan biarawan Dominikan. Ia dihukum mati pada 17 Februari 1600 dengan cara dibakar hidup-hidup. Sebelum dibakar, Bruno dipenjara oleh Inkuisisi Roma selama enam tahun tanpa proses peradilan.

Dalam dunia astronomi, Bruno sama dengan Galileo karena pro-heliosentrisme. Dia juga percaya ada banyak planet lain dan kemungkinan ada jejak kehidupan layaknya bumi.

Bruno kadang dijuluki 'filsuf yang gelisah' dan sering diasosiasikan dengan pandangannya yang skeptis dan menolak beberapa doktrin keagamaan. Mengutip Anthony Gottlieb di New York Times, Giovanni Mocenigo seorang bangsawan Venesia yang mulanya berkawan dengan Bruno namun akhirnya berseteru, melaporkan sang rahib kepada inkuisisi pada Mei 1592.

Mocenigo memberi kesaksian telah mendengar Bruno mengatakan bahwa Kristus adalah pesulap, dunia kekal dan keilahian fana, hosti tidak berubah menjadi Tubuh Kristus, para biarawan adalah orang-orang dungu. Bruno juga disebut-sebut mempertanyakan keperawanan Maria yang bisa melahirkan anak. Hingga api menjilat sekujur tubuhnya yang bersandar di tiang pancang, Bruno tetap tidak memberikan pembelaan apapun.

Jauh sebelum era Galileo dan Bruno, seorang matematikawan, astronom dan filsuf Yunani perempuan bernama Hypatia pernah merasakan amuk massa Kristen di Iskandariyah, Mesir sekitar tahun 415 atau 416 M. Massa mencegat Hypatia di jalan, wanita itu diseret dan dibawa masuk ke gereja Caesarum.

Di dalam gereja, mereka menelanjangi Hypatia dan memukulinya sampai mati. Dilansir Smithsonian Magazine, kekejian berikutnya adalah mutilasi dan pembakaran mayat Hypatia. Apa yang sebenarnya mendorong segerombolan umat Kristen tersebut mengamuk dan membunuh dengan sadis seorang perempuan di dalam rumah Tuhan itu?

Selain gemar belajar ilmu pengetahuan multidisipliner, ia bukanlah penganut Kristen. Ia merupakan penganut paganisme yang kerap berbicara di depan khalayak tentang falsafah non-Kristen, yakni Neoplatonisme.

Semasa Hypatia hidup, kota Iskandariyah dipimpin oleh Gubernur Orestes sebagai kepala pemerintahan sipil dan Uskup Agung Sirilus sebagai pemuka agama Kristen. Dua orang pemimpin ini punya karakter yang bertentangan dan saling berebut pengaruh. Sirilus terkenal gemar memberangus kelompok pemikir atau Kristen yang dianggap menyimpang, sementara Orestes lebih kalem dan mengedepankan dialog sekaligus mendapat dukungan dari Hypatia.

Dikutip The Daily Beast, Hypatia yang tengah naik daun masuk daftar berangus Sirilus. Terlebih, kekuatan Orestes dianggap bisa digembosi jika Hypatia tidak ada. Di tengah iklim konflik sektarian antara Kristen, Yahudi, dan Pagan yang juga tengah membara pada waktu itu di Iskandariyah, tak sulit menemukan para massa Kristen yang mudah bergerak untuk menghabisi siapapun yang dianggap musuh. Hypatia pun langsung jadi sasaran.

Di era Kekhalifahan Abbasiyah, pembunuhan dengan dalih mencegah bidah terjadi pada menimpa dua orang penyair kondang, Bashār ibn Burd dan Mansur al-Hallaj.

Bashar ibn Burd yang punya nama pena al-Mura’ath adalah seorang penyair Iran kelahiran Irak yang hidup pada abad ke-8 ketika masa Kekhalifahan Abbasiyah baru dimulai. Dalam buku The Literary Heritage of the Arabs: An Anthology (2012) yang disunting oleh Suheil Bushrui & James M. Malarkey, karier Bashar harus berakhir ketika Kekhalifahan Abbasiyah mencium aroma pemberontakan terhadap konservatisme masyarakat dalam syair-syair Bashar.

Infografik Dibunuh atas nama Iman

Puncaknya, Bashar dihukum mati pada 783 M. Ia didakwa menulis puisi-puisi tak senonoh dan menyebarkan ajaran sesat.

Nasib Mansur al-Hallaj tidak jauh berbeda. Di bawah rezim yang sama, penyair dan ulama Sufi asal Provinsi Fars, Iran, ini dituduh sesat. Harian Pakistan Dawn menyebut, perkataan “An-al-Haq” ("Akulah kebenaran") yang diucapkan al-Hallaj mengantarkannya ke tiang gantungan di Baghdad pada 922 M.

Jauh setelah al-Hallaj, tepatnya pada 2014 di Iran, pemerintah mengeksekusi mati seorang pria bernama Mohsen Amir-Aslani. Sebagaimana diberitakan Guardian, pria tersebut dianggap sesat karena mengadakan acara pembacaan Alquran dan menafsirkannya seorang diri, serta menganggap kisah Nabi Yunus di Alquran sebagai kisah simbolis semata. Namun, akhirnya ia didakwa menghina Nabi Muhammad.

Ada banyak lagi tokoh sains dan penafsir agama besar dunia yang dituduh sesat, dipersekusi, bahkan dibunuh otoritas agama atau politik. Kendati sudah dibubarkan pada 1834, praktik Inkuisisi tak pernah benar-benar berakhir dan justru terus terlahir kembali dalam banyak wujud di banyak agama. Pasal penodaan agama ada di berbagai negara, termasuk Indonesia. Belum lagi fenomena pembiaran negara atas tindakan persekusi yang dilakukan massa terhadap orang yang dianggap sesat.

Buah pikiran yang bertentangan dengan agama menjadi hal terlarang, bahkan nyawa bisa melayang atas nama iman.

Baca juga artikel terkait KASUS PENISTAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf