Menuju konten utama

Hikayat Apotek dari Bagdad

Mulanya adalah orang sakit. Dari sakit itu lahirlah pengetahuan akan obat dan pengobatan. Mulai dari tingkat yang primitif berupa sihir, mantra, dan ramuan daun-daunan, hingga berkembang dengan pendekatan ilmiah.

Hikayat Apotek dari Bagdad
Ilustrasi apotek pertama di Bagdad. FOTO/pharmacist.com

tirto.id - Pengetahuan tentang obat dan pengobatan sudah berusia sangat tua, sejarahnya merentang hingga ribuan tahun sebelum kelahiran Isa atau Sebelum Masehi. Orang-orang Sumeria (3000-2400 SM) di Mesopotamia -- daerah antara sungai Tigris dan Eufrat di wilayah Irak saat ini — dipercaya sebagai masyarakat pertama yang mengembangkan pengetahuan pengobatan secara lebih modern.

Stuart Anderson (ed) dalam Making Medicines: A Brief History of Pharmacy and Pharmaceuticals menjelaskan masyarakat Sumeria ketika itu diketahui telah menggunakan tanaman obat, mengenal pencucian luka, plester dan pembalut dalam pengobatan.

“Bahkan di awal peradaban Sumeria, obat telah berkembang pesat. Sebagian besar pengetahuan kita tentang praktik medis (dikembangkan) berasal dari manuskrip kuno Sumeria, yang banyak di antaranya berisi tentang resep untuk pengobatan,” tulis John K. Borchardtd dalam ringkasan jurnal The Beginnings of Drug Therapy: Ancient Mesopotamian Medicine (2002).

Selain di Mesopotamia, ilmu obat dan pengobatan berkembang di Mesir. Papyrus Ebers — diperkirakan dibuat pada 1500 SM — yang ditemukan di Mesir menunjukkan sebuah risalah farmasi-medis dengan panjang sekitar 4,5 meter berisi sekitar 875 resep dan sekitar 700 obat dari sumber sayuran, hewan, dan mineral.

Sementara di Yunani, menurut Stuart Anderson, para filsuf seperti Aristoteles dan Theophrastus, seorang murid dari Plato, merintis pendekatan empiris dan bukti eksperimental dalam pengobatan.

Dasar-dasar ilmiah pengobatan asal Yunani ini kemudian menyebar di zaman Aleksander Agung (356-323 SM) melakukan ekspansi ke Asia Kecil, termasuk ke India hingga Mesir. Murid Aristoteles ini mendirikan perpustakaan Alexandria di Mesir. Dari perpustakaan, pengetahuan-pengetahuan itu diserap orang-orang Mesir.

Ketika Romawi melakukan ke ekspansi ke dunia Arab dan mendirikan Kekaisaran Romawi Timur di Konstantinopel—Istanbul Turki—pengetahuan obat dan pengobatan turut menyebar. Naskah-naskah ilmu pengetahuan dari Yunani yang dibawa kekaisaran Romawi diterjemahkan ke dalam bahasa Suriah dan Arab. Hal ini memungkinkan bagi orang-orang Arab untuk menyerap pengetahuan Barat.

Obat-Obatan di Peradaban Islam

Sampai zaman Nabi Muhammad SAW (570-632) mendakwahkan Islam, apotek belum berkembang namun pengetahuan akan obat-obatan telah ada di masyarakat Arab ketika itu. Kebudayaan tersebut merupakan hasil dari percampuran warisan pengetahuan dari Yunani, Mesir, Persia dan Romawi.

Dosen Sejarah dan Peradaban Islam dari Universitas IAIN Palangkaraya, Muhammad Iqbal, menyebut untuk mengembangkan paradigma baru dalam dunia kesehatan, orang-orang Arab tidak membuat dari nol tetapi belajar dari model-model medis yang ada di kebudayaan lain.

Iqbal mencontohkan Nabi Muhammad SAW., yang menganjurkan penggunaan obat herbal dalam pengobatan medis.

“Obat favorit Nabi Muhammad adalah madu. Namun, madu itu pun dianjurkan Nabi untuk menggunakannya dalam pelbagai kondisi,” kata Iqbal kepada Tirto, awal Juni lalu.

Namun, setidaknya butuh 100 tahun bagi peradaban Islam untuk mencapai puncak kemajuan dalam bidang pengobatan seiring dengan penyebaran Islam di bawah dinasti Umayyah di Damaskus. Ketika dinasti Abbasiyah mengambil alih pada tahun 750-1258, pusat kebudayaan berpindah dari Suriah ke Irak sekaligus menandai dimulainya era baru kemajuan peradaban Islam, salah satunya apotek.

“Apotek Islam (Saydanah), seni menyiapkan dan mengeluarkan obat, diakui secara terpisah dari profesi kedokteran pada abad ke-8,” tulis Zakaria Virk dalam Muslim Contribution to Pharmacy.

Menurut Zakaria Virk, masyarakat Arab ketika itu menggunakan cendana atau dalam bahasa Arab disebut sebagai as-Saydanah sebagai bahan utama farmasi. Nama ini kemudian dikaitkan dengan profesi apoteker, yang dalam bahasa Arab disebut sebagai as-saydanani atau as-saydalani. Sedangkan orang yang ahli dalam bidang apotek diberi gelar Saydalani

Zakaria menambahkan, orang pertama yang mendapat gelar al al-Saydalani adalah penduduk Bagdad bernama Abu Quraysh al-Saydalani.

Apotik Islam saat itu, kata Zakaria, melibatkan para tabib, kolektor dan penjual ramuan obat-obatan dan rempah-rempah, pabrikan, penjual sirup, kosmetik, parfum, dan penulis apoteker.

Apotek pertama kali didirikan di Bagdad pada 754. Apotek-apotek tersebut diperiksa dan diawasi oleh Mohtasibs (inspektur) yang bertanggung jawab untuk memeriksa kebersihan wadah, persiapan obat-obatan terlarang dan pengeluarannya. Selain itu, para apoteker dan dokter harus lulus pemeriksaan untuk mendapatkan lisensi dari semacam departemen perizinan sebelum mengeluarkan obat kepada masyarakat.

Masih menurut Zakaria, apotek Islam memperkenalkan lebih dari 2000 zat baru termasuk adas manis, kayu manis, cengkeh, senna, kamper, kayu cendana, musk, mur, cassia, asam jawa, pala, ambergris, dan merkuri. Selain itu, poteker Muslim saat itu telah mengenal komposisi, dosis, kegunaan, dan efek terapeutik dari obat.

“Mereka juga mengenalkan ganja sebagai obat bius,” tulis Zakaria.

Infografik Apotek Pertama Bagdad Al Ilmu

Bagaimana Apotek Berkembang di Bagdad?

Sami Hamarneh dari The Institute of Ismaili Studies, dalam The Rise of Professional Pharmacy in Islam menyebutkan, di bawah khalifah kedua Dinasti Abbasiyah, Al-Mansur (754-775), obat-obatan dan ilmu pengetahuan lain di Bagdad didorong untuk berkembang.

Tanpa diskriminasi karena alasan ras atau iman, Khalifah Al-Mansur mendorong para dokter, astronom, matematikawan, arsitek dan orang terpelajar lain untuk menumbuhkan talenta mereka dan membantu memajukan pendidikan dan pengetahuan, sebut Sami Hamarneh.

Kota kosmopolitan Bagdad tersebut makin berkembang di zaman Khalifah ketiga, Al Mahdi (775-785). Sumbangan terbesar Al Mahdi bagi pengetahuan adalah mempopulerkan penggunaan kertas sehingga memacu industri buku dan sekaligus berpengaruh terhadap bidang medis dan obat-obatan, termasuk apotek.

Stuart Anderson menjelaskan sekitar 850 apotek khas muslim di Bagdad berkembang. Ketika itu apotek khas muslim memiliki tiga karakteristik utama. Pertama, ada pembedaan antara ilmu obat dan farmasi. Kedua, toko obat dikelola para terpelajar yang patuh pada kode etik tertentu. Ketiga, ada pendidikan khusus bagi apoteker yang mempersiapkan mereka untuk pengetahuan tentang obat-obatan kuno, baik dari Persia dan India.

Sementara di bagian utara Bagdad telah memiliki pengetahuan lokal materia medica (tata cara penyembuhan penyakit), yang dipengaruhi oleh pengetahuan Romawi. Pengetahuan itu menyediakan daftar mengenai obat-obatan dan sekaligus teknis penggunaannya.

Untuk selanjutnya Bagdad mencapai puncak kejayaan pada khalifah, Harun Al Rasyid (786-803). Di zaman Harun Al Rasyid, muncul tokoh Abu bakr ibn Sakariya al Razi yang mendirikan rumah sakit terbesar di Bagdad. Al Razi mempublikasikan secara komprehensif ilmu pengetahuan kedokteran dalam bentuk ensiklopedia yang berasal dari Yunani, Suriah, Arab, Persia dan India yang dimodifikasi dengan pengalamannya. Dia mendorong penggunaan pil dan penyebutan merk. Selain itu, dia juga mempelopori petunjuk teknis pengujian kimia secara sistematis.

Di masa satu abad selanjutnya muncul tokoh penting lain dari dunia Arab yakni Ibn Sina (980-1037). Dia lahir di Afaana, kota kecil di Bukhara, sekarang di Uzbekistan. Dia menulis Al Qanum, buku babon obat-obatan yang sangar populer di Barat. Buku ini menjelaskan keterkaitan antara gagasan Hipokrates dan Galen dengan biologi Aristoteles.

Al Qanum diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 oleh Gerard dari Cremona dan menjadi sumber utama penelitian kedokteran dalam beberapa abad setelahnya. Di dalamnya termasuk 760 jenis obat dan penawar, dan berbagai macam pil.

Tapi pada akhirnya peradaban di Bagdad itu hancur pada 1258. Pasukan dari Mongol menghancurkan masjid, istana, perpustakaan, dan rumah sakit. Bangunan-bangunan besar yang merupakan hasil karya beberapa generasi dibakar sampai habis.

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Humaniora
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Zen RS