Menuju konten utama

Dianiaya Polisi hingga Dipolitisasi, Luthfi Divonis 4 Bulan Penjara

Lutfhi divonis melanggar Pasal 218 KUHP; dengan sengaja tidak pergi setelah diperintah tiga kali, saat ada kerumunan.

Dianiaya Polisi hingga Dipolitisasi, Luthfi Divonis 4 Bulan Penjara
Terdakwa pengunjukrasa pada aksi pelajar, Dede Lutfi Alfiandi (kanan) memeluk ibunya Nurhayati Sulistya (kiri) sebelum mengikuti sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/pd.

tirto.id - Dede Luthfi Alfiandi, 20 tahun, pemuda pembawa bendera yang viral saat demo di DPR akhirnya divonis empat bulan penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Jaksa Penuntut Umum (JPU), Andri Saputra mengatakan vonis terhadap Dede Luthfi Alfiandi tidak berbeda dengan tuntutan. Pasal yang disangkakan juga sama yakni Pasal 218 KUHP.

Ia bahkan menyebutkan dari vonis empat bulan penjara dan dipotong masa tahanan yang dijalani. Perkiraan Lutfi akan segera dibebaskan.

"Berarti Luthfi hari ini [Kamis] keluar dipotong masa tahanan. Kami eksekusi dulu [...] setelah eksekusi mungkin habis Magrib bisa keluar di Rutan Salemba," ujarnya usai persidangan di PN Jakarta Pusat, Kamis (30/1/2020).

Vonis terhadap Luthfi tersebut sesuai dengan tuntutan jaksa. Dalam persidangan vonis, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bintang AL memvonis Dede Luthfi Alfiandi terbukti bersalah terlibat dalam aksi pelajar tolak RKUHP di Gedung DPR RI pada September 2019 lalu dan menyangkakan melanggar Pasal 218 KUHP.

Pasal 218 KUHP mengatur mengenai barang siapa yang dengan sengaja tidak pergi setelah diperintah tiga kali, saat ada kerumunan. Keikutsertaan itu diancam dengan pidana penjara paling lama 4 bulan dua minggu.

Pengacara Luthfi, Andris Basril menerima hasil vonis Luthfi. Ia dan tim tidak berniat untuk mengajukan banding.

"Kita harus bicara juga, tidak hanya soal sanksi. Tapi ada suatu suasana kebatinan keluarga. Atas pertimbangan keluarga juga. Itu saja," ujarnya usai persidangan di lokasi yang sama.

Luthfi sebelumnya dituntut dengan pasal berlapis yakni Pasal 212 KUHP juncto Pasal 214 KUHP atau Pasal 170 ayat (1) KUHP atau Pasal 218 KUHP.

Sempat Dianiaya Polisi

Dalam perjalanan kasusnya, Luthfi mengaku dianiaya oleh penyidik kepolisian saat dimintai keterangan di Polres Jakarta Barat.

Pernyataan itu, ia lontarkan saat memberikan kesaksian di hadapan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020). Pada saat diperiksa di Polres Jakbar, ia dalam posisi duduk.

Dia menceritakan terus-menerus diminta untuk mengaku telah melempar batu kepada aparat kepolisian yang saat itu tengah mengamankan aksi di depan Gedung DPR/MPR.

Jika tidak mau mengaku, maka penyidik tak segan-segan menyetrum tubuh Luthfi. Kupingnya dijepit, dan sekali-kali disuruh jongkok. Bahkan penganiayaan itu dilakukan secara terus-menerus agar ia mengakui.

Padahal berdasarkan pernyataannya, Luthfi tidak melakukan perbuatan itu, sehingga tindakan kekerasan oleh aparat itu membuat dia terpaksa mengakui perbuatan yang tak dilakukannya.

"Di persidangan pengakuan Luthfi seperti itu," kata kuasa hukum Lutfi dari Lembaga Bantuan Hukum Komite Barisan Advokasi Rakyat (LBH KOBAR), Sutra Dewi kepada Tirto, Selasa (21/1/2020).

Dewi mengatakan, penyiksaan Luthfi berhenti setelah fotonya mengenakan seragam STM sambil memegang bendera merah putih viral di media sosial. Setelah diperiksa, Luthfi pun langsung dipindahkan ke Polres Jakarta Pusat, pada 3 Oktober 2019.

Dia pun kembali dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP). Pada saat diperiksa, Luthfi menegaskan bahwa aksinya di Gedung DPR/MPR untuk menolak sejumlah Rancangan Undang-undang (RUU) itu berdasarkan keinginan hati nuraninya. Sama sekali tidak dibayar.

Bukan hanya Luthfi, berdasarkan keterangan Dewi, 15 orang yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga mengalami hal yang sama oleh penyidik kepolisian. Sayangnya, mereka tidak berani mengaku adanya kekerasan oleh polisi.

Akan tetapi, Dewi tak merinci dan belum bisa menyebarkan identitas kelima belas orang tersebut. Sementara itu, kata dia, Luthfi berani mengakui penganiayaan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian karena dia dipaksa oleh hakim.

"Karena kalau tidak mengaku, memberatkan dia juga," katanya.

Dalam aksi Reformasi Dikorupsi itu, Luthfi didakwa merusak fasilitas umum, melakukan pelemparan batu terhadap aparat keamanan, dan tak mengindahkan peringatan aparat. Dalam dugaan perbuatan nya itu, Luthfi didakwa dengan pasal 170, 212, 214, dan 218 KUHP.

Foto Viralnya Dimanfaatkan untuk Kepentingan Politis

Pada 27 Januari 2020, beredar gambar modifikasi foto ikonik Luthfi yang sedang membawa bendera. Luthfi yang di gambar aslinya membawa bendera merah putih, dimodifikasi seolah sedang membawa bendera Partai Nasional Demokrat.

Foto modifikasi itu terpasang sebagai iklan di salah satu suratkabar di Makassar, Sulawesi Selatan. Di sebelahnya bahkan dituliskan narasi pendek;

Loyalitas atas persahabatan tidak akan renggang hanya karena perbedaan politik dan status sosial. Persahabatan adalah pertautan nurani dalam keadaan apapun.

Di bawahnya bahkan tertulis besar-besar tagline “Nurani Untuk Negeri”.

Penggunaan foto ikonik Luthfi untuk komoditas politik menjadi sangat ironis mengingat di saat bersamaan Luthfi tengah menjalani proses hukum yang dinilai jauh dari rasa keadilan.

Belakangan diketahui, foto modifikasi itu diubah tanpa seizin Garry Lotulung sebagai fotografer maupun Kompas.com sebagai media afiliasi Garry.

“Saya sudah dengar soal penggunaan foto yang diedit itu, dan itu digunakan tanpa seizin saya sebagai fotografer," ujar Garry seperti dikutip Kompas.com.

Menanggapi hal itu, Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya urun komentar. Willy memastikan bahwa pemasangan iklan itu bukan dilakukan oleh kader atau pengurus partainya. Dari keterangan Willy, foto itu merupakan bentuk ucapan selamat terhadap acara yang diadakan Partai Nasdem.

"Jadi yang memasang itu bukan kader, fungsionaris, bukan pengurus Partai Nasdem," ucap Willy.

Baca juga artikel terkait REFORMASI DIKORUPSI atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika, Riyan Setiawan & Alfian Putra Abdi
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Abdul Aziz