tirto.id - Anda pasti hangat dengan ciri khas komedi slapstik seperti saling lontar guyonan kasar yang merendahkan martabat salah satu aktor, bincang-bincang bongkar aib yang penuh gimik, atau aksi saling pukul memakai bahan yang dibuat menyerupai senjata dan benda keras. Tak lupa pula bumbu pemeriah suasana: teriakan dan goyangan para penonton.
Adegan-adegan ini jadi tontonan yang jamak wara-wiri di layar kaca televisi Indonesia. Perusahaan penyiaran pun ramai-ramai membikin program serupa karena dipercaya mendulang rating.
Rating tinggi, artinya, potensi pemasukan iklan pun besar. Alur ini terus berputar layaknya lingkaran setan industri penyiaran.
Langkah membuat program yang mengusung konsep di luar kemasan acara kebanyakan bisa diartikan keputusan bunuh diri. Selain tak bagus-bagus amat menjaring pengiklan, perusahaan juga harus mengeluarkan tenaga dan bujet lebih untuk menghasilkan konsep menarik.
Merujuk Nielsen Media Research, satu-satunya perusahaan yang menyuplai data rating penyiaran Indonesia, selama ini komposisi program dari segi jam tayang masih dirajai sinetron dan hiburan. Sinetron Chandra Nandini (serial televisi India, ANTV), Orang Ketiga (SCTV), Anak Langit (SCTV), Siapa Takut Jatuh Cinta (SCTV), dan Jodoh Wasiat Bapak (ANTV) menempati 10 besar program yang punya rating tinggi di kalangan penonton perempuan usia 15-39 tahun.
Untuk penonton anak usia 5-14 tahun, sinetron Chandra Nandini dan Anak Langit masih masuk rating 10 besar, ditambah sinetron Kun Anta (MNCTV).
Mudita Candra, mantan orang pemasaran MNCTV yang kini bekerja di Kompas Gramedia, menjelaskan hubungan karib antara rating dan pendapatan iklan. Jika rating tinggi, tawaran iklan dari segi harga dan kuantitas juga bakal tinggi.
Menurut Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia, porsi iklan maksimal mencapai 20 persen dari durasi acara. Sementara harga yang dipatok per spot dengan durasi iklan 30 detik mencapai Rp8-125 juta. Artinya, dalam tayangan 1 jam, pendapatan iklan satu acara bisa mencapai Rp192 juta hingga Rp2,8 miliar.
“Tergantung jam tayang dan harga masing-masing stasiun TV. Dan itu masih gross (harga kasar), belum nett (harga pas),” ujar Mudita.
Menawarkan Konsep Acara TV yang Berbeda
Pengalaman membuat konsep berbeda di tengah acara yang menjamur pernah dikerjakan oleh Khasanah Nola, produser Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) Kompas TV. Pada 2011, saat Kompas TV lahir, Nola termasuk salah satu tim yang harus memutar otak untuk membuat program-program perdana.
Ajang pencarian bakat dipilih menjadi salah satu program andalan. Mereka berharap program ini dapat menggiring massa dan memperkenalkan Kompas TV dalam waktu singkat. Tak memilih ajang pencarian bakat menyanyi seperti kompetitornya, Kompas memilih konsep komedi.
“Kalau kami pilih ajang nyanyi lagi itu sudah terlalu banyak. Jadi pasti ketutup dan kalah saing,” kata Nola kepada saya di tengah ia mempersiapkan set panggung SUCI Season 8.
Nola mengingat kala itu masyarakat sedang gandrung suguhan komedi slapstik. Ada drama, acara musik, bincang-bincang, dan kuis berbalut komedi. Semuanya punya satu ciri yang sama: dimainkan bergerombol dan mengandalkan humor dari dialog dan laku aniaya.
Konsep komedi ini dilakukan secara tunggal dengan cara bermonolog oleh aktor yang disebut comic atau komika. Bukan perkara mudah mengenalkan genre komedi baru kepada masyarakat. Saat pembuatan konsep, Nola dan koleganya harus terlebih dulu melakukan riset pasar sebelum mematenkan ide.
Timnya menimba gagasan ke sejumlah orang yang dianggap cakap mengenal karakter konsep komedi di layar kaca. Di antaranya Butet Kertaradjasa, Maman Suherman, Indro Warkop, dan Raditya Dika. Butet, Maman, dan Indro dikenal berkat kiprah panjang mereka dalam budaya, sastra, dan komedi. Sementara Raditya menjadi satu-satunya selebritas yang telah melakukan komik tunggal secara konsisten. Raditya juga menempuh pendidikan khusus komika di Australia.
Usai menggodok konsep, kru SUCI mulai melakukan audisi di empat kota: Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Perjalanan mereka menemui sedikit kendala. Para peserta rupanya tak lebih dari 50 orang di setiap kota. Medan hanya mampu menjaring 10 peserta, sementara Jakarta cuma mendatangkan 30 orang.
“Membangun program ini susah sekali karena yang ngerti stand-up itu sedikit. Bayangkan, kami terbang ke sana-sini, bawa sekian kru dan peralatan, dan cost yang dikeluarkan pun besar,” ujar Nola, mengenang.
Sampai SUCI musim ke-3, mereka masih harus membayar penonton untuk memadati 100 kursi di Gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta Selatan. Nola baru bisa mencecap popularitas SUCI setelah musim ketiga berakhir. Masyarakat mulai mengakrabi sajian komedi anyar itu. Kru acara tak lagi menyewa penonton, dan peserta audisi membeludak sampai 200 kali lipat, klaim Nola.
Konten Berkualitas, Tanggung Jawab Siapa?
Sudah setahun ini Khairunissa, 32 tahun, memasang televisi kabel di rumahnya. Penyebabnya: ia ingin anaknya, yang berusia empat tahun, punya banyak pilihan acara. Sementara, menurutnya, kebanyakan acara di layar kaca Indonesia diperuntukkan remaja dan dewasa.
“Kartun buat anak sudah jarang. Kebanyakan sinetron,” kata Ica, panggilan akrab Khairunnisa.
Mujur bagi orang-orang seperti Ica, yang punya kemampuan finansial untuk memasang konten layar kaca berlangganan. Setidaknya mereka tak dipusingkan menyaring konten acara yang cocok sesuai hati dan tujuan keluarga bersangkutan. Ada ratusan saluran yang dapat ia akses dari fasilitas siaran tambahan itu. Tapi, bagaimana dengan orang-orang di kelompok sebaliknya?
Kita memang punya remot sebagai kendali atas siaran yang ingin ditonton. Tapi, toh, pilihannya juga terbatas, dan ujung-ujungnya terpaksa menelan siaran yang disuguhkan televisi. Lalu idealnya, siapa yang harus lebih dulu memulai perubahan? Masyarakat sebagai pemilah siaran atau stasiun televisi selaku penyedia konten?
Saya bertemu dengan Fitri Indrayati, staf penelitian dan pengembangan MNCTV, stasiun televisi di bawah grup MNC yang dimiliki pengusaha-cum-politikus Hary Tanoesoedibjo. Di bagian produksi, Fitri berperan menyeleksi adegan pada konten acara berdasarkan data rating. Misalnya, pada acara sinetron atau drama, ia wajib menjadi penonton pertama yang memberi ulasan.
Produksi sinetron di Indonesia jamaknya dibuat dengan kerjasama antara stasiun televisi dan rumah produksi. Sebelum bisa ditampilkan, rumah produksi terlebih dulu melakukan syuting, setelahnya menyerahkan mentahan adegan pada stasiun TV. Jika adegan yang telah ditonton oleh tim riset disetujui, barulah pihak stasiun TV memberi kontrak penayangan.
“Di situ kami bisa kasih masukan kalau enggak sreg, termasuk ganti aktor,” ujar Fitri.
Namun, tak semua mentahan adegan bisa lolos kualifikasi. Stasiun TV punya standar program yang tak bisa diutak-atik. Standar ini dibuat mengikuti selera konsumen. Meski sinetron yang disodorkan punya kualitas bagus, misalnya, ia tetap ditolak jika emoh mengikuti pakem stasiun TV. Pakem sinetron pada MNCTV jamak bernada religi dan kolosal.
Fitri, seorang lulusan komunikasi penyiaran di salah satu universitas negeri di Jakarta, mengisahkan pengalamannya menyeleksi sebuah sinetron. Ceritanya diproduksi oleh sebuah rumah produksi yang biasa bekerja sama dengan RCTI. Semua produksi sinetron ini memuat pakem "ke-RCTI-an," dari alur, pencahayaan, hingga seting cerita. Akhirnya, meski menarik, sinetron ini tak lolos siar MNCTV.
Begitu pula terhadap konten acara yang dikerjakan secara inhouse, yang dibuat oleh stasiun TV bersangkutan. Tim riset punya kewajiban mengulas rating per menit adegan dari acara yang sudah tampil. Dari situlah diketahui adegan favorit pemirsa layar kaca, yang kemudian dijadikan rujukan produksi selanjutnya.
“Meski tontonannya jelek, tapi hasil rating naik, mau enggak mau, kami bikin gitu lagi,” ujar Fitri.
Cara kerja industri penyiaran yang berpegang pada “selera” penonton juga dirasakan Khasanah Nola, salah seorang produser Kompas TV.
Alasan Kompas TV tidak memproduksi adegan-adegan slapstik, salah satunya juga karena mengekor kemauan penonton. Bedanya pada segmentasi penonton. Kompas TV diniatkan menyasar penonton kelas A, sehingga konten yang diproduksi juga harus mengikuti aras segmentasi tersebut.
“Pernah kami buat acara gosip, tapi enggak laku karena segmen kami enggak di situ,” kata Nola.
Keluar dari Pakem Rating
Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV bisa jadi tak punya rating tinggi seperti acara-acara komedi slapstik di TV lain. Tapi, bagi Khasanah Nola, kualitas sebuah acara tak melulu dinilai dari rating. Bahkan, jika mau disandingkan, demikian Nora menarik pengalamannya: komika SUCI jauh lebih dikenal di luar Indonesia dibandingkan komedian kompetitor mereka.
Apalagi rating TV hanya dilakukan pada 11 kota di Indonesia: Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Denpasar, Makassar, dan Banjarmasin. Artinya, ia tidak merepresentasikan seluruh penonton. Rujukan lain: Kompas banyak menjaring penonton digital lewat platform saluran YouTube.
“Masalah itu balik lagi ke merek TV, usia, kekuatan pemancar, penyebarannya di daerah. Kalau kami kuatnya di digital,” terang Nola.
Hellen Katherina, direktur eksekutif Nielsen Indonesia, mengatakan Nielsen hanya mengukur lalu lintas tayangan. Menurutnya, rating dan selera penonton adalah dua hal berbeda. Rating tinggi bukan berarti acara itu digemari, begitupun sebaliknya.
“Bisa jadi ditonton meski enggak suka, buat bahan obrolan, misalnya,” kata Hellen, spekulatif.
Toh, konsumsi pasar tetap mengikuti produksi yang disajikan televisi, ujar Hellen. Jika stasiun TV menyiapkan slot sinetron lebih besar, jumlah penonton sinetron juga akan lebih besar dibandingkan program berita atau hiburan.
Jadi, kita bisa sekilas menyimpulkan: tanggung jawab kualitas tayangan tetap di tangan stasiun TV sebagai kreator. Remot di rumah Anda tak akan berguna ketika acara yang disajikan cuma punya warna senada.
========
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam