Menuju konten utama

Sensor di Layar TV Kita Menggambarkan Penonton adalah Subjek Pasif

Pedoman soal penyiaran telah digariskan. Tapi aksi sensor manasuka jadi PR besar dalam industri televisi Indonesia.

Sensor di Layar TV Kita Menggambarkan Penonton adalah Subjek Pasif
Ilustrasi: Aturan larangan konten oleh KPI ditafsirkan dan diterapkan berbeda-beda oleh stasiun TV. Tirto/Nadya

tirto.id - Tak ada lagi adegan perempuan berbikini yang bebas lari-lari di pinggir pantai seperti pada film Warkop DKI tempo dulu. Aksi laga di film kolosal dan kartun pun harus dipotong karena dianggap memeragakan kekerasan. Semua ini kena sensor. Bahkan yang pernah ramai diperbincangkan: aktivitas memerah susu sapi pun kena blur.

Setelah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dibentuk pada 2002, pakem itu dibuat: perihal konten yang dianggap menggambarkan "pornografi" dan "kekerasan" menjadi perkara sensitif, yang tak bisa sembarang tampil di layar televisi. Jangankan adegan yang diperankan aktor dan aktris, bahkan konten kartun pun bisa kena sensor.

Itu dialami karakter animasi Sandy, si tupai sahabat SpongeBob, yang diblur karena memakai bikini. Aksi sensor ini seringkali tak masuk akal, wagu, dan menunjukkan anggapan bahwa penonton adalah subjek yang pasif dan tidak cerdas.

Sensor macam itu juga menggambarkan betapa sumir dan luas tolok ukur penyensoran di layar kaca. Imbasnya bahkan mengarah kepada KPI, yang dianggap bertanggung jawab atas aksi sensor tersebut. Mayoritas publik tak tahu bahwa aksi sensor itu dilakukan oleh tim internal stasiun TV bersangkutan.

KPI, sebagai regulator, telah menerbitkan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran. Ia memuat sejumlah poin yang dilarang dalam siaran. Namun, terkadang koridor ini dipraktikkan secara berbeda antara satu stasiun dan stasiun televisi lain.

Padahal di sana disebut pelarangan secara rinci sampai ke bentuk-bentuk adegan. Misalnya, larangan sebuah konten acara TV yang mengumbar ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun non-verbal, yang menjurus penghinaan atau merendahkan martabat manusia. Atau, ungkapan yang punya makna jorok, mesum, cabul, vulgar, atau menghina agama dan Tuhan.

Artinya, segala adegan maupun guyonan yang menghina secara fisik, seperti yang sering kita lihat pada acara komedi slapstik yang menghina fisik komedian lain, tak boleh dilakukan. Toh, batasan macam ini pernah dilanggar, misalnya salah satu acara Pesbukers (ANTV) ketika pelawak Ely Sugigi mengumpat kata “tai.”

Ada juga larangan memuat adegan kekerasan,seperti tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, perang, penusukan, penyembelihan, mutilasi, terorisme, pengerusakan barang-barang secara kasar atau ganas, pembacokan, penembakan, dan/ atau bunuh diri.

Meski begitu, lantaran khawatir melanggar aturan-aturan dalam pedoman KPI tersebut, stasiun TV memilih melakukan sensor secara manasuka. Inilah mengapa stasiun TV acap berbeda menerapkan sensor meski kontennya sama. Misalnya, ada stasiun TV yang menyensor darah pada serial laga, tetapi juga yang tidak untuk stasiun TV lain.

“Kami memang memberi pedoman, tapi pemaknaan tiap industri tak seragam,” kata Yuliandre Darwis, Ketua KPI Pusat, saat menjelaskan soal aktivitas sensor televisi. Ia tertawa saat mencontohkan sensor pada patung dalam program acara dokumenter Titik Peradaban yang tayang di Trans7.

Melihat aksi sensor berpotensi kontroversial, KPI menyarankan tim sensor internal stasiun TV "berkonsultasi" sebelum naik produksi. Kata Darwis, sensor tak melulu diperlukan asal adegan telah sesuai konteks. Stasiun TV bisa menampilkan adegan berdarah dalam film laga asalkan tepat adegan.

Infografik HL Indepth Penonton Alay

Penonton Harus Proaktif Menyeleksi Konten TV

Selain masalah sensor, protes yang sering dilayangkan kepada KPI adalah kualitas acara yang dianggap buruk oleh penonton. Misalnya, program acara yang akhir-akhir ini sedang marak: tayangan yang lebih banyak menampilkan hiburan ketimbang edukasi.

Toh, menyaring program-program acara di televisi tak bisa sepenuhnya diserahkan kepada para pemangku kepentingan. Penonton juga harus terlibat proaktif. Sebagai pemegang kendali atas remot televisi, penonton perlu dibekali pengetahuan konten.

Penikmat layar kaca harus bisa memilah tayangan yang berkualitas bagi dirinya dan keluarga. Para orangtua, yang ingin menyaring tayangan untuk anaknya, juga perlu mengetahui kategori rating umur. Jangan biarkan anak Anda melihat tayangan yang tak sesuai dengan tingkatan umur mereka.

Ada lima kategori rating di Indonesia. Pertama: A/SU tayangan untuk anak/semua umur; kedua, BO/A untuk tayangan yang butuh bimbingan orangtua/anak dengan batasan usia 4-7 tahun; ketiga, BO untuk tayangan dengan bimbingan orangtua yang punya batasan usia 5-12 tahun.

Keempat, BO - R/R bagi tayangan yang butuh bimbingan orangtua-remaja dengan batasan usia 13-16 tahun; dan kelima: rating D untuk tayangan dewasa dengan batasan usia minimal 17 tahun.

Selain rating, penonton perlu memperhatikan jam tayang acara. Acara-acara yang disiarkan di atas jam 10 malam tidak lagi bisa dinikmati oleh anak-anak karena lazim berisi kontena dewasa (tayangan laga dan semacamnya).

“Semua harus bersinergi," ujar Darwis dari KPI. "Kalau acara yang ditonton tidak disuka, ya pindah channel."

"Kecuali ada aturan penyiaran yang dilanggar, baru KPI bisa bertindak,” tambahnya.

KPI memiliki kewenangan mengatur frekuensi, menjaga agar siaran yang ditampilkan stasiun TV tetap pada alurnya. Sebelum stasiun TV mendapatkan izin penyiaran baru atau perpanjangan, terlebih dulu harus mendapat rekomendasi kelayakan dari KPI. Saat mengajukan rekomendasi ini, stasiun TV mendeskripsikan konten acara secara umum untuk dinilai KPI.

Setelahnya, pihak stasiun TV harus mengurus administrasi negara ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selagi mendapatkan izin penyelenggaraan penyiaran dari pemerintah, KPI berkewajiban mengawasi frekuensi siarannya. Jika menyimpang dari deskripsi umum saat mengajukan konten dalam tahap rekomendasi, KPI berhak mengingatkan.

“Ini yang perlu diluruskan, orang selalu beranggapan KPI sebagai filter. Padahal kerja kami bukan operasional konten, tapi frekuensi yang digunakan televisi,” terang Darwis.

Ia membandingkan kerja KPI dan Lembaga Sensor Indonesia. Di LSI, jika ada konten bermasalah lolos filter, artinya LSI kecolongan. Tapi, jika konten itu ada di acara televisi, masalahnya ada pada stasiun TV bersangkutan.

Akhirnya, mengutip Darwis, para awak stasiun TV perlu mengedukasi diri agar bisa menempatkan konten sesuai pedoman penyiaran. Di sisi lain, penonton juga harus membekali diri dengan cukup informasi supaya tak lagi salah tuduh dan salah konsumsi acara.

Baca juga artikel terkait TAYANGAN TELEVISI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Hukum
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam