Menuju konten utama

Kemasan Acara Hiburan TV Indonesia: Semakin Alay Semakin Digemari

Berkali-kali kena tegur KPI, program hiburan TV kita tetap jalan terus dan semakin "ngalay".

Kemasan Acara Hiburan TV Indonesia: Semakin Alay Semakin Digemari
Ilustrasi: Teguran KPI nyaris cuma jadi macan ompong dalam industri televisi kita. Tirto/Nadya

tirto.id - Video opini Deddy Corbuzier berjudul “Artis Alay Kenape Makin Banyak Sih!!!”, tayang pada 8 Maret lalu, sudah dilihat oleh lebih dari 1,3 juta penonton. Dalam video itu, Corbuzier yang memulai karier di layar kaca sebagai pesulap, menyindir tentang tayangan dan artis "alay" yang menjamur di televisi Indonesia. Videonya mengundang puluhan ribu komentar. "Alay" alias "anak layangan" acap dipadankan untuk perilaku anak remaja yang bertingkah norak.

“Ya duitlah, semuanya juga duit,” ujar selebritas berkepala plontos itu.

Kalimat yang jadi prolog videonya seakan menguatkan hubungan intim antara menjamurnya tayangan hiburan dan tingginya rating. Impian sebagian orang menjadi artis, katanya, bakal lebih mudah ketika mereka “ngalay”: stereotip untuk adegan berjoget, komedi slapstik, saling cemooh, dan bongkar aib di hadapan kamera TV.

“Ngalay” seperti yang dideskripsikan Deddy kini terjewantahkan dalam beragam program di layar kaca. Kebayakan berbalut acara bincang-bincang (talkshow) dan variety show. Lazimnya ia punya format paten: memasukkan unsur penonton sebagai pemeriah suasana, misal dengan berjoget, bernyanyi bersama bintang tamu, bersorak, dan bertepuk tangan.

Baca laporan reporter Tirto mengikuti penonton bayaran:Kisah yang Tak Tertangkap Kamera: Impian Penonton Alay Jadi Artis

Acara bincang-bincang semula dibuat hanya dengan format pengaturan ruang studio berupa sofa bintang tamu, meja, dan kursi pembaca acara. Namun, Phil Donahue, presenter dalam Phil Donahue Show, memasukkan unsur penonton kali pertama dalam acaranya di Ohio, November 1967.

Terobosan Phil bisa dibilang kebetulan. Saat itu ia hanya numpang syuting pada acara lain, yang punya basis penonton. Ide melibatkan penonton dalam talkshow didapatkan saat jeda iklan. Ketika itu, sebagian dari mereka mengajukan pertanyaan kepada Phil dan narasumber. Menurut Phil, pertanyaan-pertanyaan penonton lebih menarik ketimbang daftar pertanyaan miliknya.

Kejadian ini akhirnya mengilhaminya membuat talkshow interaktif yang melibatkan penonton di dalam studio.

Bernard M.Timberg dalam Television Talk: a History of The TV Talk Show (2002), menyebut Phil menciptakan format baru dalam acara talkshow. Rating acara Phil terus meningkat dan format acara ini menginspirasi produser acara-acara talkshow lain, salah satunya Oprah Winfrey. Phil dikenal sebagai salah satu pelopor acara talkshow.

Gaya talkshow Phil nyatanya tak hanya populer di Amerika Serikat. Sampai saat ini, acara talkshow dan beberapa acara inhouse lain di Indonesia masih melibatkan penonton dalam ruangan. Interaksi tetap ada, meski berbeda dari yang diterapkan Phil.

Kini penonton lebih banyak bersorak, berjoget, dan tepuk tangan saat merespons pembawa acara atau jawaban bintang tamu. Sangat jarang dari mereka yang diberi porsi untuk melontarkan pertanyaan kritis, seperti zaman Phil dulu.

Tengok saja acara Brownis, program talkshow yang ditayangkan Trans TV dan dipandu Ruben Onsu, Ayu Ting Ting, dan Billy Syahputra. Atau Bukan Empat Mata yang pernah merajai rating Indonesia sekitar tahun 2007.

Infografik HL Indepth Penonton Alay

Kena Tegur KPI

“Ah, tai lu!”

Umpatan kasar yang dilontarkan pelawak Elly Sugigi dalam program acara Pesbukers (ANTV) pada medio Maret lalu bikin ia kena tegur Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Ceritanya, Elly diharuskan beradegan marah lantaran sang pacar didekati oleh bintang tamu lain, Jessica Iskandar. Tapi, katanya, karena terbawa suasana, keluarlah umpatan tersebut.

Masih soal artis “keceplosan” yang mengundang teguran KPI. Pada medio Februari 2018, pedangdut Ayu Ting-Ting juga pernah ditegur pada tayangan Brownis. Muasalnya dari reaksi latah Ayu yang menyebut alat kelamin pria.

KPI juga pernah menegur program talkshow lain seperti Pagi Pagi Pasti Happy (Trans TV), Rumah Uya (Trans 7), dan Ini Talkshow (Net TV).

Teve swasta ini ditegur karena menampilkan konflik rumah tangga atau relasi percintaan, membiarkan narasumber saling buka aib, menayangkan rekaman gambar selebritas tengah berciuman, dan adegan pembawa acara memanggil orang dengan nama hewan.

Meski berkali-kali kena tegur, toh acara-acara ini jalan terus. Di sisi lain, tegur KPI minim diikuti tindakan dramatis, misalnya mencabut izin tayang.

“Nah, alay ini tidak ada definisinya. KPI berpandu pada masalahnya, apakah mereka menampilkan adegan ciuman, gerakan erotis, dan lain-lain,” ujar Yuliandre Darwis, Ketua KPI Pusat.

Jika adegan dalam tayangan itu melanggar Pedoman yang dibuat KPI, maka KPI akan melakukan beberapa tahapan sanksi, dari peringatan tertulis, teguran, pembekuan sementara hingga permanen, dan pencabutan izin. Sanksi berupa pemberhentian sementara pernah diterapkan pada program Pesbukers selama enam hari.

“Namanya industri," ujar Darwis. "Bukan orang salah langsung vonis. Mereka harus diberi kesempatan karena kreativitas tak punya limit.”

Artis Alay: 'Ikan yang Dipungut dari Laut'

“Mengapa acara alay banyak digemari?”

“Karena hukum piramida. Yang di bawah lebih lebih besar, jadi pasti yang alay lebih banyak.”

Video empat menit yang dibuat Deddy Corbuzier setelahnya membincangkan masalah kelakuan “alay” selebritas. Corbuzier menganalogikan artis yang disebut “alay” ini sebagai "ikan yang dipungut dari laut."

“Mau dibersihin kayak gimana juga tetap amis. Karena itu adalah kebiasaan yang dibangun dari keluarga dan lingkungannya,” katanya, dengan nada sinis.

Yuliandre Darwis dari KPI mengatakan bahwa saat ini konten acara lebih banyak diciptakan untuk menghibur semata, minim konteks edukasi. Padahal, idealnya lembaga penyiaran setidaknya bisa "menyisipkan nilai-nilai positif" untuk masyarakat. Frekuensi yang dipinjam oleh televisi-televisi swasta ini adalah milik publik.

Meski begitu, selebritas yang terkenal lantaran kasus hukum justru diberi panggung. Pembuat skenario sinetron dipaksa berpikir setiap hari hingga ratusan episode—dikenal sebagai sistem tapping alias kejar tayang. Imbasnya, hasil ceritanya selain tak punya kebaruan juga minim kreativitas; pendeknya: melawan logika. Mereka hanya diproyeksikan untuk mencari keuntungan semata.

“Ini jadi evaluasi, termasuk artis sendiri. Tapi, karakternya sudah diciptakan, jadi susah (mengubahnya),” kata Darwis.

Baca juga artikel terkait TAYANGAN TELEVISI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri & Joan Aurelia

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri & Joan Aurelia
Editor: Fahri Salam