tirto.id - Gerombolan pemuda-pemudi itu saling menghambur di atas panggung. Mereka memeluk salah satu kawannya yang berbaju merah muda. Terdengar isak histeris. Beberapa orang lain menuju panggung dari pintu masuk lain. Mereka tetap bertangisan, lalu berpelukan.
Momen seperti itu nyaris bisa dilihat setiap minggu di stasiun televisi Indosiar, 2003. Tahun itu Indosiar menayangkan Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Tayangan ini merupakan waralaba dari acara La Academia dari Meksiko yang pertama tayang pada 2002.
Karena merupakan tayangan waralaba, konsep AFI dan La Academia pun tak berbeda. Kontestan berjumlah 12 hingga 14 orang. Mereka dijaring dari audisi. Setelah terkumpul peserta pilihan, mereka akan dikarantina dalam sebuah asrama. Nantinya akan ada mentor yang mengajarkan mereka kemampuan yang dibutuhkan untuk bertahan di industri hiburan. Mulai menyanyi, menari, juga akting.
Setiap minggu akan ada konser eliminasi. Untuk menentukan pemenangnya, dipakai sistem SMS dan telepon. Para peserta—disebut sebagai akademia—dengan jumlah dukungan terendah akan tereliminasi. Saat momen eliminasi itu, 3 peserta dengan dukungan terendah akan berkumpul di atas panggung. Momen pembacaan eliminasi itu yang kemudian jadi dramatis.
Ketika akademia yang pulang resmi diumumkan, kawan-kawan satu angkatannya akan menghambur, menangis sejadi-jadinya. Para penonton akan tersentuh hatinya. Mereka yang di rumah bertekad akan mengirimkan sms sebanyak-banyaknya agar jagoan tak dieliminasi.
AFI sukses sebagai tayangan yang mengaduk dan menguras emosi penontonnya. Pembuatnya sadar bahwa banyak penonton televisi menyenangi acara yang memiliki kisah emosional. Hasilnya, muncul kisah-kisah yang sendu. Semisal tentang Veri Afandi, juara AFI musim pertama, yang diceritakan sebagai anak tukang becak. Begitu pula konsep eliminasi yang mengharu biru.
Dari Selandia Baru Hingga Indonesia
Ajang pencarian bakat di televisi bisa jadi ditandai oleh munculnya Popstars di Selandia Baru pada 1999. Acara ini tayang di 50 negara, termasuk Indonesia. Ia juga menginspirasi banyak tayangan serupa. Termasuk Pop Idol yang turut mengilhami lahirnya acara ajang pencarian penyanyi baru.
Baca juga:Memahami Group Idol dan Cara Agar JKT48 Bisa Terus Eksis
Pop Idol tayang di stasiun televisi Britania Raya, ITV. Acara yang dibuat oleh Simon Fuller ini pertama kali mengudara pada 2001. Sama seperti namanya, tujuan acara ini adalah mencari penyanyi pop muda. Format acaranya seperti menjadi pakem acara serupa yang muncul di kemudian hari: peserta bernyanyi di hadapan juri, para juri akan memberi kritik atau pujian atau dua-duanya, dan voting penonton ikut menentukan nasib para peserta.
Acara ini sukses besar. Indikatornya terlihat dari jumlah penonton yang memberikan voting. Menurut Jessica Williams dalam 50 Facts That Should Change The World 2.0, selama 20 minggu penayangan Pop Idol musim pertama, ada 32 juta voting. Sedangkan pada 2001, hanya ada 25,9 juta voting dalam Pemilihan Umum.
Tentu ada perbedaan besar antara voting di pemilihan umum dengan voting di Pop Idol. Di pemilihan umum, seseorang hanya bisa memberikan suara satu kali. Sedangkan di Pop Idol, voting bisa diberikan sebanyak mungkin.
"Tapi," tulis Jessica, "ini menunjukkan satu fakta amat penting: saat orang-orang tertarik pada hasil voting, mereka akan sukarela memberikan suaranya."
Di final musim pertama, Will Young menjadi pemenang. Anak muda yang sempat belajar politik di Universitas Exeter ini segera merilis album From Now On yang langsung terjual 187 ribu kopi di minggu pertama. Hingga sekarang, Will telah merilis 6 album studio, bermain di beberapa film dan serial televisi, juga menulis buku.
Kesuksesan Pop Idol ini yang kemudian melahirkan acara-acara dengan konsep serupa. Otaknya tetap seorang Simon Fuller, pria kelahiran Siprus yang mengawali karier sebagai pencari bakat di label Chrysalis. Sebagai salah satu orang yang berjasa melejitkan karier penyanyi Madonna, ia paham sesuatu: ada banyak bakat di luar industri yang tak terpantau dan belum terpoles. Tugasnya, juga para juri dan mentor, adalah mencari bakat itu dan melambungkan mereka. Tentu, mereka berharap uang akan terus mengalir.
Baca juga:Mendulang Uang Dari Ajang Rising Star
Setelah Pop Idol sukses, ia menjual konsep acara pada stasiun televisi Fox di Amerika Serikat. Namanya kemudian diubah menjadi American Idol. Acara ini langsung menuai kesuksesan serupa. Sekitar 10.000 orang mendaftar audisi, dan terpilih 121 peserta yang kemudian menyusut jadi 10 orang.
Saat tayang di musim perdana pada 2002, penonton episode 1 acara ini mencapai 9,85 juta orang. Pada acara final yang tayang pada 4 September 2002, penontonnya melampaui 23 juta orang.
Industri hiburan Amerika Serikat harus diakui bisa mengemas acara jadi lebih menghibur. Di tangan FreemantleMedia North America—yang turut melahirkan Baywatch—acara ini jadi lebih menarik. Mulai dari penayangan kontestan yang berdandan aneh, hingga mereka yang punya nyali tinggi—suara pas-pasan tapi tetap ikut audisi.
Begitu pula cara mengemas juri. Ada 3 juri awal di American Idol, yakni Randy Jackson yang merupakan produser rekaman dan manajer; penyanyi pop terkenal era 1980-an, Paula Abdul; dan yang paling ikonik di antara juri karena kritiknya yang pedas, manajer dan eksekutif musik Simon Cowell. Mereka punya karakter masing-masing, dan pertentangan serta debat mereka ditampilkan dengan apik dan menghibur.
Kesuksesan acara ini disebut oleh Doris Baltruschat dalam Global Media Ecologies: Networked Production in Film and Television (2010), sebagai "tidak tertandingi dalam sejarah penyiaran." Sedangkan stasiun televisi NBC—rival Fox—menyebut American Idol sebagai, "tayangan paling berpengaruh dalam sejarah televisi."
American Idol ditayangkan di 100 negara. Tentu saja termasuk Indonesia. Tayangan Indonesian Idol pertama kali hadir pada 2004. Di musim pertamanya, Joy Tobing keluar sebagai juara. Musim kedua tampak lebih seru dengan persaingan ketat antara Mike Mohede, Judika Sihotang, dan Firman Siagian. Mike akhirnya keluar sebagai pemenang.
Kesuksesan AFI dan Indonesian Idol kemudian melahirkan banyak ajang pencarian bakat. Mulai Cabidut (Calon Bintang Dangdut) yang tayang di Lativi (sekarang menjadi tvOne), Kontes Dangdut Indonesia, X-Factor Indonesia, The Voice Indonesia, hingga D'Academy. Kebanyakan memang waralaba, kecuali yang berlanggam dangdut.
Baca juga:Sejarah Dangdut, dari Dakwah Hingga Goyang
Kebosanan dan Jumlah Penonton yang Terus Merosot
Pada 3 September 2017, The Guardian menurunkan laporan menarik: menurunnya jumlah penonton X-Factor Britania Raya, salah satu pencarian bakat paling populer saat ini. Pada musim ke 14 acara yang dibuat oleh Simon Cowell ini, jumlah penontonnya adalah 6 juta orang. Tampak besar, apalagi jika dibandingkan dengan acara televisi lain seperti Casualty dengan jumlah penonton 3,5 juta.
Namun ada satu fakta penting: jumlah penonton yang terus merosot. Dalam setiap pembukaan X-Factor musim baru, jumlah penonton pasti besar. Biasa berkisar di angka 6 hingga 7,5 juta penonton. Namun tahun ini, episode pembukanya hanya ditonton 4,9 juta orang saja. Terendah sejak acara ini pertama kali dibuat.
Begitu pula kisaran jumlah penonton. Angka 6 juta, menurut Cowell, menunjukkan antusiasme yang mulai pudar. Pada puncak popularitasnya, acara X-Factor Britania Raya ditonton oleh 10,8 juta penonton per musim.
Rating dan jumlah penonton yang menurun juga menjadi penyebab macetnya, atau malah berhentinya, acara serupa. American Idol berhenti di musim ke 15, 2016 silam. X-Factor Indonesia hanya tayang 2 musim, yakni 2012 dan 2015. Indonesian Idol beberapa tahun sempat macet, dan tahun ini sedang memulai audisi baru. AFI tayang hingga 2006, lalu vakum hingga kembali lagi pada 2013 dan berhenti hingga sekarang. Begitu juga dengan acara lain semisal The Voice Indonesia, Indonesia's Got Talent, Mamamia Show, hingga StarDut.
Alasan utama tentu kebosanan. Sulit untuk tak jenuh ketika melihat tayangan dengan konsep sama dalam kurun waktu bertahun-tahun. Apalagi yang sudah berjalan belasan tahun seperti American Idol atau X-Factor. Belum lagi di Indonesia, begitu banyak acara latah tanpa konsep jelas. Simon Cowell yang membidani banyak ajang pencarian bakat mengakui rasa bosan penonton dan turunnya rating serta jumlah penonton itu dengan besar hati.
"Jika kamu membuat acara yang sama setiap tahun, maka jelas akan membosankan dan bisa ditebak."
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani