tirto.id - Dennis Adhiswara, aktor yang juga menjadi produser dan sutradara pernah membuat film-film untuk televisi atau yang biasa dikenal dengan FTV. Namun, kini ia berhenti. Dennis bingung, apakah ia harus membuat film bagus dengan rating jelek atau sebaliknya.
“Gue bikin yang menurut gue bagus, TV nolak, soalnya rating-nya jelek. Gue bikin film jelek, katanya rating-nya bagus. Gue malas juga kalau harus terus ngikutin rating dan bikin film jelek, akhirnya gue berhenti bikin film untuk TV,” papar Dennis saat berbicara di acara Festival Anak Muda, 5 November lalu.
Kegelisahan karena persoalan rating, tak hanya dialami pembuat film seperti Dennis, pengelola televisi juga merasakan hal serupa. CEO dan founder Net Mediatama atau Net TV Wishnutama Kusubandio juga skeptis terhadap rating. Meski rating dari program-program di Net kerap berada di peringkat paling bawah, tapi tak gentar. Ia bahkan cenderung tak begitu peduli dan terus konsisten menggarap program-program yang beda dari program TV pada umumnya.
Di Indonesia, satu-satunya lembaga yang memeringkatkan program-program siaran televisi adalah Nielsen. Tak ada yang lain. Rating mulai dikenal di Indonesia sejak 1990. Rating bukan sekadar data riset, tapi seperti mata uang bagi para pelaku industri penyiaran. Bukan hanya TV, para pengiklan, produser, hingga production house (PH) juga bergantung pada rating.
Salah satu tim penulis buku Mendorong Akuntabilitas Rating Media Penyiaran, Eriyanto menjelaskan, para pelaku industri penyiaran itu menggunakan data rating untuk keperluan berbeda. Pengiklan menggunakan rating sebagai acuan untuk menentukan di mana akan beriklan. Bagi stasiun TV rating dipakai sebagai alat jualan kepada pengiklan. Semakin tinggi rating sebuah program, semakin mudah dijual.
Dalam buku itu, Eriyanto memaparkan empat sistem dalam pemeringkatan atau rating. Pertama, sistem layanan sendiri atau own service (OS). Dalam sistem ini, semua data pemeringkatan disediakan oleh perusahaan. Para pelaku industri penyiaran kemudian berlangganan untuk bisa mendapatkan data rating tersebut secara rutin.
Sistem yang kedua adalah kerja sama pemilik media atau media owner contract (MOC). Pada sistem ini, beberapa TV menjalin kerja sama untuk melakukan pemeringkatan. Bentuk kerja samanya bisa hanya berupa kontrak kerja sama, atau bisa juga dilembagakan dalam sebuah perusahaan patungan. Perusahaan patungan itulah yang kemudian mencari penyedia data rating melalui tender.
Selain itu, ada sistem bernama komite kerja sama industri atau joint industry committee (JIC). Jika dalam MOC, yang melakukan kerja sama hanya televisi, dalam JIC, kerja sama dilakukan oleh seluruh pelaku industri penyiaran, baik itu televisi, pengiklan, dan biro iklan.
Yang terakhir adalah sistem kontrak perusahaan riset tripartit alias Tripartite Research Company Contract. Semua stakeholder yang berkepentingan dengan data melakukan kerja sama, membentuk perusahaan patungan untuk melaksanakan kegiatan rating.
Indonesia menganut sistem yang pertama, dan Nielsen satu-satunya penyedia data rating. Menurut Eriyanto, sistem ini memang relatif sederhana dan fleksibel. Namun, memiliki banyak kelemahan. Salah satunya, pengguna data tidak bisa menentukan desain metode yang digunakan untuk pengukuran kepemirsaan (rating).
Data pemeringkatan yang dikeluarkan oleh Nielsen kadang menimbulkan banyak pertanyaan. Siapa saja sampelnya? Siapa saja yang rumahnya dipasang alat oleh Nielsen? Apakah alat-alat itu cukup mewakili Indonesia secara statistik?
Untuk memastikan dan memeriksa riset dan pemeringkatan yang dilakukan oleh Nielsen benar adanya, dibutuhkan dewan rating. Keberadaan dewan rating yang diinisiasi negara perlu direalisasikan untuk mengatur transparansi dan akuntabilitas lembaga rating seperti Nielsen.
Dewan rating bisa melakukan audit kepada lembaga rating. Ini penting demi keterbukaan. Sampai saat ini saja, setelah bertanya kesana kemari, menghubungi teman-teman sejak SMP, saya tak menemukan ada satu rumah yang dipasang alat milik Nielsen. Atau mungkin mendengar dari teman kalau di rumah temannya ada alat dari Nielsen.
Hal ini susah juga dijadikan dasar sedikitnya sampel yang digunakan. Sebab Nielsen mengatakan pihaknya harus merahasiakan panel, begitu juga sebaliknya. Jadi, bisa saja seseorang tak menemukan karena memang rahasia. Meskipun bisa juga karena memang tidak ada.
Di titik inilah keberadaan dewan rating penting untuk segera diwujudkan. Dewan rating juga bisa menentukan standar. Jadi siapapun boleh membuat rating, asalkan sesuai standar.
Ide tentang dewan rating ini sebenarnya sudah mencuat sejak sepuluh tahun lalu. Hanya saja semuanya menunggu. Pemerintah menunggu inisiatif pelaku industri, pun begitu sebaliknya.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Suhendra