tirto.id - Suatu hari nanti kita akan sampai pada kondisi konsumen menanggung renteng konsekuensi dari produk atau jasa yang mereka pakai. Bak semboyan pengelola jasa penitipan: segala bentuk kehilangan bukan menjadi tanggung jawab kami.
Dalam etika bertransaksi, idealnya konsumen memiliki hak mendapat jaminan atas keamanan produk atau jasa yang mereka pakai. Jika tidak, mereka bisa protes, memberi ulasan jujur sebagai bentuk kehati-hatian bagi orang lain dalam memilih produk/jasa tersebut.
Setidaknya begitulah mandat dalam Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Poin aturan tersebut mengatur salah satu hak konsumen untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
Namun kiwari rasanya semua aturan hukum bisa kalah oleh pasal sakti pencemaran nama baik: Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tengok saja kasus yang menimpa dr. Richard Lee dan Stella Monica.
Richard hingga kini harus berurusan dengan hukum karena gugatan selebritas Kartika Putri, buntut dari ulasan krim kecantikan di platform YouTubenya. Richard memberi edukasi bahwa krim kecantikan--yang kebetulan dipromosikan Kartika--mengandung merkuri dan hidrokuinon.
Sementara Stella, seorang warga Surabaya terkena apes setelah mengunggah “hasil” perawatan di klinik kecantikan L’Viors, wajahnya jadi berjerawat. Singkat cerita, ia harus menulis permintaan maaf di koran, sebanyak setengah halaman selama tiga kali penerbitan.
Stella jelas tak bisa meloloskan syarat perdamaian tersebut karena alasan ekonomi. Harga beriklan pada setengah halaman koran saja bisa mencapai lebih dari Rp10 juta. Maka untuk bisa berdamai, ia harus berkorban sampai Rp30 juta.
Lantaran tak bisa memenuhi permintaan tersebut, ia sempat ditetapkan sebagai tersangka sebelum akhirnya dibebaskan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Jika menengok ke belakang, ada sederet kasus dengan motif serupa, contohnya somasi Garuda Indonesia karena masalah menu, atau yang paling populer, bocornya keluhan email pribadi Prita Mulyasari.
Fenomena pelaporan akibat ulasan negatif oleh pemilik usaha jelas berdampak buruk bagi objektifitas konsumen dalam memilih produk atau jasa. Kondisi ini menciptakan iklim ulasan produk hanya boleh menjelaskan sisi positif/kelebihan saja tanpa menjelaskan kekurangannya.
Memang betul survei membuktikan bahwa ulasan negatif dapat menurunkan kepercayaan konsumen terhadap suatu bisnis. Sekitar 92 persen responden Local Consumer Review Survey 2020 mengaku urung memilih bisnis yang memiliki ulasan negatif.
Karenanya ada perusahaan yang sampai nekat membikin ulasan palsu (umum disebut "astroturfing"), untuk menaikkan reputasi. Tindakan tersebut sebenarnya rentan menyalahi hukum perlindungan konsumen karena informasi yang disampaikan tidak sesuai fakta.
Padahal penelitian oleh Trustpilot menunjukkan bahwa sebanyak 62 persen konsumen tidak mendukung merek yang terlibat sensor ulasan. Jadi menurut sisi konsumen, ulasan harus tetap transparan dan asli. Pemilik bisnis harus menghindari manipulasi ulasan, membuat ulasan palsu, atau menyensor ulasan negatif.
Ulasan Negatif adalah Teknik Marketing Jitu
Ungkapan “Bad news is a good news” bisa jadi juga berlaku untuk teknik penjualan. Tak selamanya ulasan negatif membuat pelanggan lari, urung berbelanja atau menjajal jasa yang ditawarkan. Ambil sebuah analogi sederhana dari sisi konsumen, ketika misal membeli produk dari sebuah marketplace.
Anda pasti akan melihat ulasan positif dengan tautan video atau foto produk, serta tak luput, ulasan bintang 1-3 sebagai bahan pertimbangan. Beragam studi telah meyakini bahwa calon konsumen yang mempertimbangkan ulasan negatif punya durasi lima kali lebih lama dalam menggulir situs penjualan.
“Dan mereka berpotensi beralih menjadi pembeli 85 persen lebih tinggi dibanding calon konsumen yang tidak berinteraksi dengan komen negatif,” demikian ungkap sebuah jajak pendapat yang digelar Reevoo, sebuah platform ulasan bisnis.
Jadi alih-alih mengkriminalisasi para pengulas atas konten negatif yang mereka buat, lebih baik menjadikan ulasan sebagai salah satu tak-tik berdagang. Sebuah survei oleh ReviewTrackers di tahun 2021kemarin mengungkap bahwa bisnis yang responsif dalam menanggapi ulasan justru memiliki reputasi merek positif.
Ingat kata kuncinya “responsif”, bukan “defensif”.
Mayoritas responden survei ini memang mengatakan bahwa ulasan negatif membuat mereka mengurungkan niat menjajal produk/jasa. Tapi di saat bersamaan mereka juga bilang akan berubah pikiran jika pemilik bisnis merespon ulasan negatif.
Jumlah konsumen yang memutuskan putar haluan ini bisa dibilang tinggi, yakni sekitar 45 persen. Mayoritas responden (53 persen) berharap pemilik bisnis merespons ulasan dalam jangka waktu kurang dari seminggu, bahkan sekitar 3 hari.
“Waktu respons ulasan yang lebih cepat terkait erat dengan reputasi positif.”
Lalu pertanyaannya, konsumen butuh respons seperti apa atas ulasan buruk mereka?
Jawabannya sederhana, perusahaan cukup menulis tanggapan dengan mengungkapkan komitmen layanan, manajemen penyelesaian masalah, dan langkah lanjutan seperti memberi kontak agar pelanggan bisa menghubungi mereka secara langsung.
“Respons perusahaan membuat pelanggan percaya mereka akan mendapat bantuan, solusi, atau garansi ketika suatu saat mendapat masalah dalam periode penggunaan produk,” demikian ringkasan hasil dari studi lain.
Sayangnya peluang ini tidak dimanfaatkan pemilik bisnis secara baik. Masih dari survei ReviewTrackers 2021, sebanyak 63 persenresponden mengatakan perusahaan yang mereka ulas tak pernah memberi respons.
Malah, untuk menjamin bisnis dari ulasan negatif, kata Clay Calvert, pengajar Komunikasi Massa di University of Florida dalam esai untuk The Conversation pada November 2015, perusahaan sampai menyematkan klausul tersembunyi yang membatasi atau bahkan melarang konsumen mengkritik produk mereka.
“Klausul semacam ini biasanya sengaja ditulis dengan font berukuran kecil sehingga seringkali luput dari penglihatan konsumen.”
Istilah sederhananya: menjebak konsumen.
Editor: Irfan Teguh Pribadi