tirto.id - Seorang warga di Surabaya Jawa Timur bernama Stella Monica menjadi tersangka pencemaran nama baik. Ia disangkakan Pasal 27 ayat 3 Jo. Pasal 45 ayat 3 UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pelapor ialah klinik kecantikan tempatnya menjalani perawatan.
“[Berkas penyidikan] sudah dilimpahkan ke Kejati kemarin,” ujar kuasa hukum Stella dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Habibus kepada reporter Tirto, Selasa (23/3/2021).
Stella mulai menjalani perawatan di klinik tersebut karena masalah jerawat wajah meradang pada Februari 2019. Proses perawatan diawali dengan konsultasi. Satu bulan kemudian ia menjalani pengobatan menggunakan jarum lemas sepanjang 12 sentimeter dan jerawat membandel disemprot cairan.
Stella diwajibkan membeli krim wajah, sunscreen, sabun wajah, toner, dan dua obat minum. Semuanya hanya bisa dibeli di apotek klinik tersebut. Ia sempat menolak membeli sunscreen SPF 25++ lantaran dirasa mahal, Rp 550 ribu, lagi pula di rumahnya masih ada sunscreen SPF 50++. Namun, karena dianjurkan menggunakan SPF yang lebih rendah, ia membeli juga.
Stella menjalani perawatan di klinik tersebut hingga tiga kali pertemuan. Selama itu ia sering mendapatkan pengobatan suntik jerawat, peeling wajah, tembak jerawat, dan kemudian laser jerawat; selain tetap mengonsumsi obat-obatan dan krim yang dibeli dari klinik kecantikan tersebut.
Pada awal Oktober 2019, Stella memutuskan berhenti berobat ke klinik tersebut sebab merasa ketergantungan dengan krim yang diberikan.
Ia berkonsultasi dengan dokter baru dari klinik berbeda dan mendapati fakta bahwa kulit wajahnya mengalami penipisan dan pembuluh darah melebar serta tak beraturan diduga akibat pengaruh krim.
Hasil konsultasi dengan dokter baru berbentuk percakapan WhatsApp Stella unggah ke Instagram pada Desember 2019. Unggahan tidak menyinggung klinik terdahulu. Unggahan tersebut mendapat respons dari kawan-kawan Stella. Mereka mempertanyakan alasannya pindah klinik dan juga bertanya bagaimana hasil berobat di klinik yang sama. Percakapan tersebut ia unggah kembali di Instagram.
Unggahan-unggahan inilah yang dianggap mencemarkan nama baik klinik lama dan membikin mereka rugi. Pada 23 Januari 2020, Stella mendapatkan surat somasi dari klinik lama. Stella diminta membuat pernyataan maaf di media cetak. Ia, tentu saja, merasa keberatan. Stella meminta agar persoalan diselesaikan secara kekeluargaan namun pihak klinik malah melaporkan Stella ke kepolisian.
Pada 3 Juni 2020, Tim Cyber Crime Polda Jawa Timur mendatangi rumah Stella dengan membawa surat tugas dan laporan. Mereka mengambil paksa telepon pintar Stella sebagai barang bukti.
Dalam proses pemeriksaan sebagai saksi, polisi menyarankan Stella mengupayakan jalan damai. Stella lantas berupaya meminta maaf ke klinik dan dokter yang menanganinya, baik secara tatap langsung maupun melalui unggahan video di Instagram. Namun semua upaya tersebut ditolak.
Stella dianggap provokator dan jalur hukum adalah cara membuatnya kapok.
“Padahal kami lihat postingannya tidak ada pencemaran nama baik atau penghinaan. Dia hanya berkeluh kesah ke temannya dan wajar saja itu,” ujar Habibus.
Akibat kejadian ini, Stella sempat jatuh sakit.
Setelah serangkaian pemeriksaan, Stella akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jatim pada 12 Oktober 2020. Ia diwajibkan lapor setiap Senin dan Kamis. Kini Stella sedang menantikan jadwal persidangan.
“Kami berharap Jaksa bisa menghentikan hal ini. Karena ini tidak jelas,” tandas Habibus.
Persoalan mirip Stella pernah terjadi pada Prita Mulyasari, seorang pasien di RS Omni Tangerang yang mesti dipenjara karena mengkritik pelayanan rumah sakit. Prita diganjar dengan pasal yang sama dengan Stella dan denda Rp 1 miliar.
UU ITE Tidak Solutif
Menurut Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) Muhammad Arsyad, tidak semestinya persoalan Stella diselesaikan menggunakan UU ITE. Sebab, dalam unggahan tersebut, Stella tidak menyebutkan pelapor, dalam hal ini klinik, dan hal tersebut tidak sesuai dengan pasal 27 ayat 3.
“Masak orang berkeluh malah ingin dimasukkan penjara?” ujar Arsyad kepada Tirto, Selasa.
Senada dengan Habibus, Arsyad juga menyarankan Kejaksaan untuk menghentikan kasus Stella sebab UU ITE sendiri sedang direvisi oleh pemerintah, “termasuk pasal 27 ayat 3 yang dinilai multitafsir.”
Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto menilai sikap klinik terhadap Stella berlebihan. Klinik tidak bijaksana terhadap aduan konsumen. Perkara ini menurutnya bisa diselesaikan dengan jalur mediasi. Upaya klinik justru akan membuat konsumen enggan memberikan masukan terhadap pelayanan klinik, padahal itu bisa membuat mereka jadi lebih baik. Lagipula hak konsumen dijamin UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
“Tindak melakukan pelaporan sampai konsumen dijerat dengan UU ITE tentu tidak produktif. Bahkan secara tidak langsung turut mencoreng nama baik dari pelaku usaha,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa.
Reporter Tirto sudah menghubungi dokter Irene Lee dari Klinik L’Viors Surabaya selaku pelapor namun yang bersangkutan menolak berkomentar. Kami juga sudah menghubungi kuasa hukum Irene namun tidak direspons.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino