Menuju konten utama

Yang Kaya Berkat Uttaran dan Tukang Bubur Naik Haji

Sinema elektronika (sinetron) boleh jadi bahan perdebatan soal kualitas dan pengaruhnya. Namun, bagi industri televisi hiburan jenis ini menjadi mesin penghasil uang paling produktif. Uttaran dan Tukang Bubur Naik Haji adalah segelintir contohnya.

Yang Kaya Berkat Uttaran dan Tukang Bubur Naik Haji
Aktris Bollywod Tina Dutta, pemeran wanita dalam sinetron Uttaran. Foto/www.colorstv.com

tirto.id - Haji Sulam dan Haji Muhidin bisa jadi merupakan dua tokoh paling diingat di kalangan penggemar sinetron Indonesia. Kisah mereka dalam “Tukang Bubur Naik Haji” menyedot perhatian sehingga sinetronnya menembus hingga lebih dari 2.000 episode pada awal Juni 2016 lalu. Jumlah episode itu merupakan angka tertinggi dalam sejarah sinetron di Indonesia setelah sebelumnya “Cinta Fitri” menorehkan raihan 777 episode pada 2010 silam.

Selain sinetron lokal “Tukang Bubur Naik Haji”, ada tayangan drama impor yang kini tak kalah hits, yakni “Uttaran”. “Uttaran” dibuat nun jauh di sana dari India dan kini sudah mencapai 1549 episode ketika ditayangkan Colors TV India selama 6 tahun. Sementara di Indonesia, “Uttaran” baru ditayangkan sekitar 280 episode.

Bagaimana “Uttaran” —dan juga “Tukang Bubur Naik Haji”— bisa mencapai episode sepanjang itu? Noor Aeny (38), seorang ibu rumah tangga, mengungkapkan alasan dirinya menggemari Uttaran. Kuncinya ada di pemeran Uttaran yang cantik dan tampan. “Ceritanya juga menarik karena sangat menjiwai peran mereka dan bikin penonton menguras energi untuk marah dan menangis,” tambahnya.

Pemeran cantik dan tampan dengan cerita yang bisa menguras air mata, merupakan sebuah kombinasi mematikan yang bisa membuat penggemar sinetron termehek-mehek. Mereka rela menanti episode demi episode dari cerita yang mengaduk-aduk emosi itu. Hasilnya, sinetron terus diperpanjang demi mempertahankan pemirsa. Itulah rahasianya.

Sinetron Mesin Penghasil Duit Produktif

Indonesia bukan satu-satunya negeri dengan pecinta sinetron fanatik. Times of India melaporkan awal Juni lalu, selain di India, tayangan-tayangan sejenis itu juga digemari pemirsa televisi di Sri Lanka, Vietnam, Turki, dan banyak negara Afrika. Ibtimes, 9 Februari melaporkan hal serupa juga terjadi di Argentina dan Chili.

Fenomena faktual itu menunjukkan sinetron telah menemukan pasarnya sendiri, di luar perdebatan soal selera publik, etik, estetik, dan pedagogik. Dalam dunia industri hiburan, sinetron telah menjadi mesin penghasil duit paling produktif.

Di Indonesia, “Tukang Bubur Naik Haji” contohnya, sinetron ini telah menghasilkan uang triliunan sepanjang empat tahun terakhir. Catatan Adstensity, sebuah platform digital yang memantau iklan di 13 stasiun televisi nasional menunjukkan, jumlah iklan di sinetron itu selama Kuartal I - 2016 mencapai 6044 spot iklan. Apabila dirupiahkan maka “Tukang Bubur Naik Haji” meraup Rp287,8 miliar atau sekitar Rp95,9 miliar sebulan, minus diskon iklan dan agensi.

Dengan rata-rata tayang dalam sepekan sebanyak lima kali, sinetron itu menghasilkan duit hampir Rp4,7 miliar per episode. Oleh karena itu dengan bisa bertahan 2000an episode “Tukang Bubur Naik Haji” bisa mengalirkan Rp9,4 triliun ke pundi RCTI. Ke depan, kemungkinan, sinetron ini tetap akan terus ditayangkan mengingat rating terendah mereka berada di angka 3.7/17.8.

Sementara untuk drama impor seperti “Uttaran” godaan duitnya tak kalah menggiurkan. Masih menurut data Adstensity, semenjak ditayangkan pada Oktober 2015 hingga Mei 2016, jumlah iklan tayang di Uttaran mencapai 28.159 spot iklan dan bila dirupiahkan pendapatan kotornya mencapai Rp761,8 milliar atau rata-rata sebulan meraup Rp95 miliar atau sekitar Rp3,1 miliar sehari. Perlu diketahui, "Uttaran" dua kali tayang dengan rating pernah menembus 4.5/30.7. Dengan rating seperti ini, ke depan, "Uttaran" pun akan tetap terus ditayangkan.

Sementara di tingkat industri sinetron global, Turki masih terdepan di dunia. Industri sinetron telah menjadi satu komoditas penting bagi negara itu. Pada satu dekade lalu, ekspor serial drama Turki meraup sekitar 1 juta dolar AS per tahun. Kini, menurut laporan itu, ekspor drama Turki setidaknya melonjak hingga 350 juta dolar AS. Dengan capaian sebesar itu Turki menjadi sebagai negara eksportir terbesar di dunia serial drama televisi di dunia, demikian Ibtimes.

Indonesia Pasar Empuk Industri Sinetron

Data BPS 2015 lalu menunjukkan jumlah penduduk kelas bawah mencapai 30,1 juta jiwa. Sementara Bank Dunia pada 2010 lalu mencatat kelas menengah Indonesia mencapai 134 juta jiwa. Asumsinya bila sinetron merupakan pilihan hiburan untuk kelas menengah ke bawah maka Indonesia menjadi target pasar menggiurkan bagi industri sinetron lokal maupun asing.

Ketua Kamar Dagang Istanbul Turki, İbrahim Caglar, kepada Daily Sabah, 6 Oktober tahun lalu menyampaikan dengan gamblang Indonesia merupakan target pasar sinetron mereka. "Distributor kami mencoba untuk memasuki pasar besar seperti Indonesia, Malaysia, India dan Cina," kata Caglar.

Caglar tak membual. Pertengahan tahun lalu, sinetron Turki mengekspansi Indonesia dan bersaing dengan sinetron-sinetron lokal. ANTV mengimpor “Shehrazat 1001 Malam” dan “Abad Kejayaan”. SCTV dengan “Elif”, Trans TV dengan “Cinta di Musim Cherry”, sementara RCTI mencoba peruntungan dengan “Gang Damai”.

Belakangan “Cinta di Musim Cherry” kandas di tengah episode, demikian pula dengan “Gang Damai” yang hanya mampu bertahan selama dua pekan. Hanya SCTV yang masih teguh dengan kebijakan impor drama Turki menyusul kesuksesan “Elif”. Sementara ANTV mengutamakan impornya dari India. Tren drama Turki lambat laun mulai ditinggalkan, meskipun secara dramaturgi dan sinematografi lebih mending ketimbang sinetron lokal dan India.

Persoalannya bukan hanya terletak pada selera konsumen Indonesia, tapi juga hitung-hitungan nilai impor dan alih suara antara sinetron Turki dan India. Caglar mengatakan bahwa pada 2015, satu episode drama Turki bisa dijual lebih dari 200.000 dolar AS atau sekitar Rp2,6 miliar lebih. "Harga per menit dari serial TV Turki sekitar 4.500 dolar” tambahnya.

Sementara Times of India pada 5 Juni lalu melaporkan biaya impor sinetron India tergolong murah meriah ketimbang Turki. Angkanya bervariasi dari 100 dolar AS sampai 300 dolar AS per episode atau sekitar Rp1 juta sampai Rp4 juta. Menurut laporan tersebut, ada biaya tambahan sekitar 500 dolar AS atau setara Rp6-7 juta bila stasiun televisi penayang membutuhkan alih suara.

Sebenarnya ANTV dan juga tv lokal lain bisa lebih berhemat lagi bila menggunakan subtitle pada sinetron impor mereka, karena itu nyaris tanpa biaya tambahan pelibatan agensi dubbing. Tapi hal itu tak dilakukan ANTV demi menjaga kedekatan emosional dengan penggemarnya. Hasilnya, sinetron digilai penggemarnya hingga beratus-ratus episode produksinya.

Sinetron memang sering dicibir karena konten-kontennya yang dianggap tidak bermutu, merusak moral, dan tidak mendidik. Namun, fakta yang tak boleh dipungkiri, sinetron mampu menjadi sebuah industri yang melibatkan uang tidak sedikit. Karenanya, stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan agar pundi-pundinya semakin berisi. Soal mutu? Itu urusan belakang.

Baca juga artikel terkait FILM atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Film
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti