tirto.id - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber (Ditsiber) Bareskrim Mabes Polri menangkap salah satu anggota Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dyann Kemala Arrizzqi karena diduga menghina Ketua DPR RI Setya Novanto di media sosial. Dyann, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran UU ITE ditangkap polisi pada Selasa (1/11/2017) kemarin.
Dyann dilaporkan oleh tim kuasa hukum Novanto atas dugaan pencemaran nama baik dan penghinaan melalui media sosial. Laporan muncul akibat unggahan foto Dyann yang berisikan meme Ketua Umum DPP Partai Golkar itu kala terbaring sakit lewat akun instagram miliknya @DazzlingDyann. Unggahan Dyann pada 7 Oktober 2017 tersebut menampilkan kumpulan cuitan warganet soal Setya Novanto usai memenangkan sidang praperadilan.
Mantan Ketua Tim Antarkementerian Panitia Kerja Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik 2016, Henri Subiakto mengatakan, penangkapan Dyann merupakan kesalahan. Menurut Henri, unggahan Dyann adalah wujud ekspresi dan satire belaka. Bagi Henri, satire jelas tak bisa dipidanakan dalam konteks komunikasi dan demokrasi.
“Itu pengertian keranjang sampah. Jadi menghina itu dianggap semua hal yang bikin kesal,” kata Henri Subiakto saat dihubungi Tirto. “Kecuali dalam satirenya ada tuduhan. Misalnya tuduhan mencuri, memperkosa, nyolong.”
Henri menjelaskan, satire sangatlah subjektif. Meski begitu, satire berbeda dengan tuduhan. Satire hanya lucu-lucuan dan tidak menuding seseorang. Sementara tuduhan, bisa jadi fitnah dan pencemaran nama baik. “Jadi, satire tidak bisa kena (pidana fitnah dan pencemaran nama baik),” pungkasnya.
Baca juga:Komedian Terkaya di Dunia
Menurut Henri, UU ITE tidak bisa dilepaskan dari Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila meme berisi tuduhan terhadap seseorang, hal itu dapat dipidana dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sebagai catatan, sebelumnya perihal penghinaan sempat diatur dalam 1 bab keseluruhan UU ITE. Namun setelah direvisi, ketentuan penghinaan dihilangkan dan mengacu pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.
Jika kasus seperti ini terus berulang, Henri mengaku khawatir. Ia memprediksi banyak pihak yang memanfaatkan pasal tersebut untuk mempidanakan ratusan rakyat Indonesia. Ini tentunya akan berdampak buruk bagi proses demokrasi di Indonesia. “Itu akan membuat Indonesia terlihat tidak demokratis kalau sindiran satire yang tidak masuk dalam rumusan delik dimasukkan (sebagai pidana),” tegasnya.
Kasubdit II Ditsiber Bareskrim Polri Kombes Asep Safrudin yang menangani kasus Dyann tidak mau menjelaskan lebih rinci ihwal apa yang menjadi dasar penangkapan. “Yang jelas yang mengandung konten perbuatan tidak menyenangkan ataupun fitnah,” ujar Asep.
Selain Dyann, Setya Novanto juga melaporkan 32 akun media sosial yang dianggap menghina dan mencemarkan nama baiknya sebagai Ketua DPR RI maupun Ketua Umum Partai Golkar. Semua yang memiliki tendensi tersebut telah dicatat dalam laporan polisi bernomor LP/1032/X/2017/Bareskrim tertanggal 10 Oktober.
Kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi menjelaskan langkah hukum yang ditempuh bukan dalam rangka balas dendam, melainkan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi. Ia menilai meme yang disebar akun-akun tersebut dapat membuat orang semakin benci dengan Novanto. “Lihat bahasanya dong. Bahasanya banyak mengandung penghinaan,” terangnya.
Selama pemeriksaan, Fredrich mengakui jumlah akun yang dilaporkan meningkat menjadi sekitar 68 atau 69 akun. Fredrich menegaskan bahwa hal ini merupakan penilaian dari penyidik secara pribadi melalui saksi ahli bahasa dan ahli UU ITE. Ia mengatakan bahwa hal ini tidak menyasar kepada pihak tertentu, apalagi kader PSI, Dyann Kemala Arrizzqi. “Enggak. Kami cari satu per satu, kami cari yang konteksnya memiliki tendensi jadi SARA atau penghinaan,” kata dia. “Dari partai manapun, saya tidak peduli. Mau pejabat tinggi juga kami sikat.”
Diringkus Akibat Guyonan: dari Mesir sampai Amerika
Apa yang menimpa Dyann nyatanya juga terjadi di belahan bumi lainnya. Pada 2013, bintang televisi Mesir, Bassem Youssef ditangkap aparat akibat tuduhan menghina Presiden Mesir Mohamed Morsi dan Islam. Pihak berwenang beranggapan, acara yang dipandu Youssef pada setiap Jum’at malam mengandung sindiran berujung hinaan terhadap Morsi.
“Petugas polisi dan pengacara di kantor kejaksaan ingin berfoto bersama saya,” ujar Youssef lewat akun Twitter-nya seperti dikutipThe Independent ketika dirinya ditangkap. “Mungkin karena itulah mereka memerintahkan penangkapanku.” Tak lama setelahnya Youssef dibebaskan dengan jaminan sebesar 15 ribu poundsterling.
Youssef, seorang ahli bedah jantung, populer setelah rutin mengunggah serangkaian drama komedi satire ke akun YouTube bernama El Bernameg sejak 2011, ketika kekuasaan Hosni Mubarak jatuh. Video yang dipublikasikan Youssef hampir selalu ditonton hingga puluhan juta orang. Dalam videonya, Youssef menampilkan kritikan sampai sindiran terhadap kondisi dalam negeri. Tak jarang, video Youssef memicu kemarahan kaum fundamentalis.
Baca juga:Menertawakan Diri Lewat Meme, Lelucon ala Milenial
Jauh sebelum Youssef, hal serupa terjadi di Amerika Serikat. Pelakunya komedian Lenny Bruce. Publik Amerika mengenal Bruce sebagai komedian yang berani mengungkapkan lelucon-lelucon vulgar yang tak jauh-jauh dari narkoba, seks, hingga agama—topik-topik yang dianggap super sensitif di Amerika dekade 1950an yang sangat konservatif. Waktu itu, Bruce bahkan pernah dilarang tampil di sejumlah kota akibat leluconnya.
Meski demikian, Bruce tak ingin dikekang. Ia tetap konsisten dalam gaya lawaknya. Walhasil, pada 21 Desember 1964 Bruce ditahan selama empat bulan di rumah sosial karena menyebut Eleanor Roosevelt memiliki “payudara indah” dalam acara komedi di New York. Tak hanya itu, Bruce juga mengeluarkan banyolan yang berbau seksual lainnya.
Penangkapan Bruce memantik solidaritas dari kawan-kawannya seperti Woody Allen, Bob Dylan, Norman Mailer, sampai James Baldwin dengan membelanya dalam pengadilan. Dua tahun berselang, Bruce meninggal dunia. Ia tak pernah meminta maaf atas apa yang diucapkannya. Walaupun begitu, pada 2003 ia menerima pengampunan anumerta dari Gubernur New York George Pataki.
“Seandainya Yesus terbunuh 20 tahun silam, murid-murid sekolah Katolik akan mengenakan kursi listrik di leher mereka; bukan salib,” ujar Bruce mengolok-olok agama sekaligus metode hukuman mati yang populer di AS saat itu.
Setelah Bruce, giliran George Carlin yang berhadapan dengan hukum karena mengumbar lelucon bernada vulgar. Carlin ditangkap saat membawakan monolog Milwaukee’s Summerfest berjudul “Tujuh Kata yang Tidak Boleh Kamu Ucapkan di Televisi” pada 1972. Tujuh kata yang dimaksud Carlin antara lain: 'shit', 'piss', 'fuck', 'cunt', 'cocksucker', 'motherfucker', sampai 'tits'.
Baca juga:Gelapnya Komedi-Tragedi dari Nordik
Kasus Carlin dilatarbelakangi oleh laporan anggota organisasi konservatif bernama “Moralitas Media” kepada Mahkamah Agung Amerika Serikat. Sang pelapor menuduh lelucon Calin merusak, seronok, dan tak pantas bagi anak-anak. Mahkamah Agung pun memutuskan Carlin tidak melanggar Amandemen Pertama Amerika Serikat. Meski bebas dari jerat hukum, Carlin harus ditangkap ketika monolognya dianggap menganggu ketertiban umum di sebuah festival di Wisconsin.
Lelucon legendaris Carlin: “Berperang untuk perdamaian ibarat bersetubuh demi menjaga keperawanan.”
Brian Moylan dalam artikelnya yang ditulis di TIME menjelaskan musuh komedian bukan lagi aparat melainkan media sosial dan internet. Moylan menjelaskan, “Ada orang-orang yang meruntuhkan batas-batas [sosial] soal apa yang bisa diterima [publik] sehingga menimbulkan kelucuan. Tidak ada standar mengenai mana lelucon baik, mana lelucon kotor, serta apa yang tidak harus dilakukan Lenny Bruce. Tapi saat ini situasinya berbeda. Ada pemantauan oleh komunitas, internet, serta media sosial dalam mengkomunikasikan topik seputar ras, agama, seksualitas, gender, hingga identitas.”
Ada masanya ketika Warkop DKI mengatakan "tertawalah sebelum tertawa itu dilarang". Sialnya hari ini, tertawa pun belum, leluconnya sudah diberangus.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf