tirto.id - Seorang laki-laki tampak menoleh ke belakang, ke arah perempuan berbaju merah yang baru berpapasan dengannya. Ekspresi penasaran dan tergoda tersirat dari wajahnya. Sementara di sampingnya, berdiri perempuan lain yang memelototinya ketika ia berpaling. Ada emosi cemburu yang terbaca dari air muka perempuan tersebut.
Ilustrasi ini diambil dari meme "The Girlfriend Vs Other Girl" yang sempat viral di media sosial. Macam-macam tulisan dibubuhkan ke meme ini, mulai dari yang berkonteks internal hingga nyaris universal. Dalam waktu tujuh bulan setelah pertama kali disebar di Instagram pada Februari 2017, meme ini berhasil mendatangkan lebih dari 28.500 likes. Popularitas meme ini pun merambah ke Facebook dan Twitter. Bahkan, Godinworld merilis kuis di Facebook yang sengaja dibuat berdasarkan meme ini.
Bagi para milenial dan generasi setelahnya, humor-humor yang beredar di internet seperti meme bukanlah hal yang asing. Sebagian dari mereka malah bisa dikatakan menggandrungi humor visual macam ini. Terima kasih pada situs seperti 9Gag dan Know Your Meme, “budaya meme” dengan mudah dan pesat diterima oleh kalangan muda dewasa ini.
Bukan hanya karena budaya visual yang lebih menjamur setelah meroketnya popularitas televisi yang kemudian disusul internet, meme juga disenangi milenial karena isi lawakannya berelasi dengan mereka dan mudah sekali diadaptasi dan diaplikasikan ulang. Lihat saja deretan meme "The Girlfriend Vs Other Girl" yang kembali diunggah oleh orang-orang dari berbagai negara.
Dalam newsletter The Library of Humor Studies yang diluncurkan Institut Humor Indonesia Kini, Novrita Widiyastuti dan Yasser Fikry memuat hasil survei mereka terkait selera humor 152 milenial Indonesia. Dari sisi vlogger, Raditya Dika dianggap sosok paling jenaka. Sementara terkait lawakan di Instagram serta situs, mereka menunjuk 9Gag sebagai penyedia konten paling lucu.
Baca juga:Mati karena Tertawa
Menyelisik gaya humor yang disenangi milenial lebih lanjut, dalam situs Inc., Marla Tabaka menuangkan analisisnya seputar hal-hal apa saja yang menjadi ciri lawakan yang mereka senangi. Pertama, absurditas sebagaimana kerap tersirat dari meme. Tabaka berargumen, sering kali gambar yang dipilih untuk meme digunakan untuk mengkomunikasikan perasaan tanpa perlu tambahan penjelasan dari si pembuat.
Ciri absurditas dalam humor yang disenangi milenial juga terlihat dalam serial animasi komedi Rick and Morty. Serial ini menonjolkan tokoh Rick, seorang kakek peneliti, dan Morty, cucunya, yang sering melakukan petualangan tak biasa. Pada salah satu episode misalnya, tampak Rick memanggil-manggil Morty yang sedang menyisir di kamar mandi.
Morty mencari-cari sumber suara tersebut, termasuk mencari ke dalam laci kamar mandi, sampai akhirnya ia menemukan Rick di garasi. Di sana, Rick terlihat bukan lagi berwujud manusia, melainkan timun acar setelah ia mengubah dirinya sendiri dengan alat penelitiannya.
Di situs Rotten Tomatoes, Rick and Morty mendapat skor 97 persen. Sementara situs Vulture menyebut serial ini sebagai serial nomor wahid di kalangan milenial. Berdasarkan data dari Nielsen dan Adult Swim, serial yang pertama kali dirilis tahun 2013 inimenempati urutan pertama komedi paling disuka milenial (2,5 juta penonton), disusul The Big Bang Theory (1,8 juta penonton) dan Modern Family (1,6 juta penonton).
Tentu saja kejenakaan konten yang absurd bergantung pada referensi khalayak yang melihatnya. Karena itulah, ciri kedua, yakni universalitas, menjadi penting dalam gaya humor milenial. Ketika teks yang disertakan dalam meme menyatakan sesuatu yang normal, lantas ditabrakkan dengan gambar yang sangat tidak berhubungan dengan teks tersebut, pada saat itulah komedi lahir.
Baca juga:Dukungan Hingga Meme Lucu Warnai Debat Cagub DKI
Ciri ketiga gaya humor milenial yang disampaikan Tabaka ialah penghinaan diri sendiri atau self-deprecation. Contoh-contoh self-deprecation mudah ditemukan dalam pertunjukan-pertunjukan komedi tunggal. Ketika si pelawak melontarkan lelucon seputar dirinya sendiri, ada dua kemungkinan mengapa orang tertawa. Satu, penonton menertawakan (laugh at) kemalangan yang dikisahkan si pelawak dari pengalamannya. Kedua, karena penonton bisa menghubungkan pengalamannya sendiri dengan pengalaman si pelawak.
Kembali ke contoh meme, banyaknya orang yang membagikan satu meme—atau juga melakukan tagging kepada orang yang dikenalnya—sangat mungkin terjadi lantaran orang-orang menghubungkan isi meme tersebut dengan cerita hidupnya. Meme skripsi, melihat mantan menikah, atau berpesta misalnya, bisa menjadi contoh lawakan menghina diri sendiri yang dianggap mewakili pengalaman hidup orang-orang yang menyebarkannya.
Baca juga:10 Calon Mahasiswa Batal ke Harvard karena Meme di Facebook
Dalam "Tipping the Culture: How Engaging Millennials Will Change Things" (2010), Patricia Martin menuliskan bagaimana merek-merek global menggaet hati milenial. Satu kiat yang dicantumkan Martin ialah penggunaan meme karena begitu populernya bentuk humor ini di kalangan milenial. Menurut Martin, penggunaan meme dalam memasarkan suatu produk akan memicu kalangan milenial untuk merekomendasikan produk tersebut ke teman-teman dan keluarganya.
Perbedaan Selera Humor Tiap Generasi
Beda generasi, beda pula referensi dan selera komedinya. Hal ini menjadi sorotan utama penelitian Jennifer Tehan Stanley, profesor psikologi dari University of Akron. Dalam tulisannya bersama dua kolega lain yang dimuat di jurnal Psychology and Aging (2014), Stanley menyatakan bahwa anak-anak muda usia 17-21—yang tergolong milenial dan generasi Z—serta orang dewasa usia 35-56 lebih menganggap lucu lawakan agresif atau yang menyerang sesuatu/orang lain.
Sebaliknya, orang-orang lansia kisaran umur 64-84 tidak menyenangi lawakan macam itu, tetapi cenderung memilih lawakan afiliatif yang menekankan perasaan senasib. Temuan ini didapatkan setelah mereka meminta partisipan menonton sejumlah contoh tayangan komedi seperti The Office, Mr. Bean, Golden Girls, dan Curb Your Enthusiasm.
Bagaimana cara pengukuran yang diterapkan Stanley dan koleganya? Ada beberapa kriteria penilaian yang mereka buat seperti dari laporan pribadi partisipan, penghitungan jumlah senyum yang terekam dalam video, serta dari perubahan aktivitas otot wajah saat menonton tayangan komedi yang diukur dengan electromyograph.
Ada alasan-alasan generasi terdahulu tidak menyenangi gaya humor agresif. Pertama, hal yang biasa saja diterima anak-anak muda bisa saja justru menyinggung perasaan mereka. Alasan lain, mereka lebih menyenangi humor-humor yang lebih cerdas dibanding lawakan yang menekankan kesengsaraan sosok lain. Tidak hanya itu, tayangan komedi yang lebih lawas lebih dianggap lucu dibanding tayangan-tayangan komedi yang teranyar karena adanya keterhubungan secara emosional.
Walaupun ditemukan perbedaan selera humor antargenerasi, bukan berarti gaya lawakan konvensional ditinggalkan. Pelesetan, ironi, dan slapstick masih jamak ditemukan saat ini. Tengok saja foto viral karangan bunga untuk Anies-Sandi yang dibubuhi kalimat ironis, “Selamat dan sukses atas pelantikan gubernur baru Jakarta. Semoga amanah dan bisa melanjutkan perjuangan Ahok Djarot walaupun menyamai prestasi Ahok-Djarot sama mustahilnya seperti merebut Raisa dari Hamish.”
Baca juga: Politik sebagai Lelucon Sehari-hari
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani