tirto.id - "Yo, Barry, you did it, My Nigga. You did it," kata komedian Larry Wilmore menutup pidatonya sambil menepuk-nepuk dada kirinya sendiri dengan sisi dalam kepalan tangan kanannya lalu menunjuk Presiden Obama lalu menepuk-nepuk dadanya lagi lalu menunjuk-nunjuk lagi.
Jika pemandangan serupa bisa terjadi di Indonesia, barangkali kurang-lebih gambarannya akan seperti ini: Dari atas mimbar, pelawak Butet Kertarajasa setengah berteriak kepada Presiden Jokowi, "Ho-oh, Jok, kowe pancen ngeten, Suuu!" sambil perlahan-lahan memajukan jempol dari depan bahu.
Tapi naga-naganya pemandangan seperti itu mustahil terjadi di sini. Memang tidak harus. Meski di tengah perjalanan politik negeri ini yang kepalang dan semakin serius, rasa-rasanya akan menyenangkan jika ada peristiwa demikian. Orang-orang akan lebih santai melihat dan menyikapi berbagai peristiwa politik, rileks, tidak gampang gondok, dan bisa berpikir lebih jernih dalam mengambil sikap-sikap dan langkah politik.
Peristiwa langka itu terjadi di acara bertajuk "White House Correnspondent's Dinner" atau "Makan Malam Wartawan Gedung Putih" yang dihelat setiap tahun di Hotel Hilton Washington, Amerika Serikat. Ini merupakan salah satu perayaan yang paling ditunggu-tunggu di sana, atau dalam bahasa mereka: "pesta tahunan yang paling diantisipasi" dan tiket untuk menghadirinya merupakan barang mewah yang layak dipamerkan. Inilah malam di mana para wartawan bisa saling bertukar sapa cipika-cipiki dengan para selebritas Hollywood, olahragawan masyhur, dan pejabat publik.
Acara bertabur bintang ini diselenggarakan oleh organisasi para wartawan yang posnya di Gedung Putih, White House Correspondent's Association (WHCA). Pertama kali diadakan pada tahun 1921 di Arlington Hotel. Sepanjang sejarah pelaksanannya, makan malam ini hanya pernah tiga kali dibatalkan: pada tahun 1930, tersebab kematian mantan Presiden William Howard Taft; pada tahun 1942, ketika AS memasuki Perang Dunia II; dan pada tahun 1951 karena Perang Korea.
Pada tahun 1924, Presiden Calvin Coolidge menjadi peserta presiden pertama. Sejak saat itu, setiap presiden terpilih Amerika hadir setidaknya sekali selama masa jabatannya. Dalam kurun waktu hampir seabad pelaksanaannya, acara ini telah dihadiri lima belas presiden.
Sampai tahun 80-an, dalam setengah abad pertama penyelenggaraannya, makan malam ini sebetulnya acara semiresmi yang bicara hal-hal serius meski tetap santai dan berisi pertunjukan musik atau pemutaran film—yang pernah tampil di panggungnya antara lain para bintang seperti Frank Sinatra, Nat King Cole, dan Irving Berlin.
Tradisi lucu-lucuan di forum ini baru dimulai pada tahun 1983 ketika komedian Mark Russell berhasil meramaikan berbagai headline koran Amerika karena penampilannya. Sejak saat itu, karena selalu ada penampilan komedian yang bicara atau bercanda tentang politik dan jalannya pemerintahan, mau tak mau para presiden yang tampil dituntut bicara hal-hal kocak mengenai pemerintahannya atau dirinya sendiri atau kawan dan lawan politiknya atau segala hal yang sedang ramai diperbincangkan orang kebanyakan. Sebelum Larry Wilmore, komedian yang pernah terpilih antara lain Bill Maher, Stephen Colbert, Cecily Strong, Jimmy Kimmel dan Jay Leno.
Sejak tahun 1993, seiring perkembangan industri televisi, makan malam ini untuk pertama kalinya disiarkan jaringan televisi C-SPAN dan bertransformasi menjadi seperti pesta para bintang Hollywood. Dari tahun ke tahun, harga tiketnya semakin mahal. Untuk menghadiri perhelatan terakhir di masa jabatan Obama, kalau Anda bukan tamu undangan, Anda harus membayar $300 hingga $3.000.
Tapi jangan khawatir, jika Anda orang yang punya renjana terhadap dunia jurnalisme, Anda tidak akan merasa merugi karena banderol karcis itu dimanfaatkan panitia untuk memberi hadiah kepada insan-insan hebat yang melakukan reportase terbaik sepanjang tahun.
Lagi pula Anda tentu tidak mau melewatkan kesempatan menonton langsung presiden negara adidaya mengolok-olok dirinya sendiri, bukan? Baiklah, itu bisa ditonton melaui Youtube kapan saja di mana saja, tapi tidak sedikit orang sana yang sampai rela mati agar bisa makan malam bersama Kendall Jenner, Mark Ruffalo, Morgan Freeman, Rachel McAdams dan bintang Hollywood papan atas lainnya. Pokoknya, dijamin serba asyik.
Barangkali tidak mudah bagi Anda membayangkan bagaimana Presiden Bush senior dan junior yang gemar perang itu bisa tampil menyenangkan, tapi begitulah kenyataannya di Makan Malam Wartawan Gedung Putih. Coba saja tonton videonya. Internet yang murah hati telah menyediakannya. Jika Anda aktivis antiperang, boleh jadi akan segera menuding keduanya sok asyik, tapi tidak semua orang akan setuju pendapat Anda karena buktinya banyak yang terkekeh mendengar lelucon mereka.
Presiden Bill Clinton yang tampan itu tentu tak perlu diragukan lagi kemampuannya, karena sekali dia terbahak-bahak saja semua rakyat Amerika akan ikut tertawa. Presiden Obama Si Anak Menteng, siapa berani menyangkal kecakapan berbual-bualnya? Fakta bahwa ia bocah Afrika-Amerika yang menghabiskan masa kecilnya di Jakarta sepertinya cukup bisa menjelaskan dari mana kemampuannya, dan faktor terakhir itu bahkan berandil membuatnya suka kumpul-kumpul. Obama adalah presiden paling rajin menghadiri pesta bergengsi ini. Presiden lainnya cukup satu atau dua atau lima kali saja, Obama sampai delapan kali—berpartisipasi setiap tahun.
Pada 30 April 2016, dalam kesempatan terakhirnya berpidato di Makan Malam Wartawan Gedung Putih, Obama tidak menyia-nyiakan bakat berkelakarnya. Ia tampil prima dari awal hingga akhir. Hasil dari latihan dari pidato di tahun-tahun sebelumnya, Obama semakin fasih mengolok-olok Donald Trump.
"Saya agak tersinggung beliau tidak datang malam ini," kata Obama memulai selorohnya tentang Si Donald yang saat ini adalah kandidat capres terkuat dari Partai Republik. "Ini mengejutkan. Anda mendapati ruangan yang penuh wartawan, selebritas, kamera. Dan beliau buang muka. Apa makan malam ini terlalu norak bagi Si Donald? Alih-alih apa yang beliau lakukan? Apa beliau di rumah saja makan Bistik Trump, mengejek Angela Merkel di Twitter? Apa yang beliau lakukan?”
"Orang-orang Partai Republik sulit percaya bahwa beliau adalah calon terkuat mereka. Sulit percaya. Kaget. Mereka bilang Si Donald kurang punya pengalaman politik luar negeri untuk menjadi presiden. Tapi sejujurnya, sudah bertahun-tahun beliau rutin bertemu dengan para pemimpin dari seluruh dunia: Puteri Swedia, Puteri Argentina, Puteri Azerbaijan."
Bukan hanya Trump yang notabene lawan politik Obama, rekan-rekannya di Partai Demokrat pun tak luput dari sasaran candanya. "Jargon kampanye Bernie (Sanders) sangat memikat bagi anak muda. 'Feel The Bern.' Itu jargon yang keren. Sementara slogan Hillary (Clinton) efeknya tidak sama. Coba kita lihat," katanya sambil menunjuk poster bergambar batu menggelinding di atas bukit dengan slogan “Trudge Up The Hill”. Lalu Obama menarik ke samping sudut kanan bibirnya.
"Saya mengagumi ketangguhan Hillary, kecerdasannya, kebijakannya, pengalamannya. Anda harus mengakuinya bagaimanapun, tapi usaha Hillary menarik hati pemilih muda agak mirip kerabat Anda yang baru punya akun Facebook. 'Dear Amerika, kamu sudah terima colekanku? Munculkah di dindingmu? Aku belum terlalu paham bagaimana menggunakan ini. Salam, Tante Hillary.' Ini sama sekali tidak menarik."
Bayangkan pidato serupa disampaikan Presiden SBY di Jakarta. Seseorang seperti Larry Wilmore kemudian mengkritisi pemerintah dengan humor sebagaimana Larry meyinggung rudal yang ditembakkan pesawat tanpa awak Amerika dan kegagalan Obama menutup Penjara Guantanamo. Pertemuan pemimpin negara dengan para wartawan tidak hanya terjadi di Hari Pers yang lebih mirip upacara adat ketika ketua umum organisasi wartawan mencium tangan presiden. Para wartawan makan malam bersama presiden dalam posisi setara, bukan ditraktir presiden apalagi sambil mengemis jatah proyek.
Atau Presiden Jokowi. Momen Srimulatan bersama seorang santri di Magelang yang menyebut Megawati, Ahok, dan Prabowo adalah menteri bisa dilengkapi dengan humor yang lebih berisi. Jokowi bisa membuat lelucon tentang selfie Fadli Zon dan Donald Trump, menyindir menteri-menteri yang kinerjanya amburadul dan hobi saling merusuhi, membicarakan Zaskia Gotik atau Raisa atau Isyana Saraswati, berkelakar tentang sejawatnya di partai koalisi, bahkan mengolok-olok dirinya sendiri dan istri dan anak-anaknya. Percayalah, percakapan politik akan jauh lebih menyenangkan.
Jika George W. Bush yang terlihat-selalu-bersungut-sungut saja bisa, kenapa Joko Widodo yang senantiasa-tampak-gembira tidak bisa? Jika WHCA yang anggotanya tidak sampai 50 orang saja bisa bikin acara jenis ini, kenapa Persatuan Wartawan Indonesia yang beranggotakan lebih dari 15 ribu orang tidak?
Memang, Makan Malam Wartawan Gedung Putih sendiri bukannya tanpa kritik. Seiring bergulirnya waktu, para pelaku media di sana juga mulai gerah dengan tawa-tiwi yang melingkupinya. Acara ini dipandang telah melenceng dari tujuan awalnya, karena belakangan yang lebih banyak disoroti adalah selebritasnya. Pada 2007, kolumnis The New York Times Frank Rich menulis, kegiatan itu adalah "kristalisasi dari kegagalan pers Amerika di era pascatragedi 11 September. Ini menggambarkan betapa mudahnya propaganda Gedung Putih diterima awak media." Sejak tahun itu, wartawan The New York Times tidak pernah lagi menghadirinya.
Namun di sisi lain, para pengurus WHCA menegaskan bahwa dengan acara ini para wartawan bisa “mendorong terbukanya akses terhadap presiden dan para pejabat pemerintahan di tengah tantangan lanskap media modern."
Apa pun itu, tertawa bersama jauh lebih membahagiakan daripada menertawakan orang di belakang yang bersangkutan. Kritik yang disampaikan dengan humor lebih menyehatkan daripada dengan urat leher yang tegang. Politik yang penuh perbincangan lucu lebih layak ditonton daripada politisi bertingkah badut.
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti