tirto.id - Indra duduk santai di atas paving blok kecil. Di seberangnya, beberapa kawan sesama figuran memilih berkumpul di depan panggung. Di sana syuting sore itu akan berlangsung. Sinetron Nadin, adegan 25, shot 1, take 1.
Lelaki asal Lampung ini mengambil sepotong lepet dari penjual keliling, seorang ibu tua yang membawa dagangan dalam kresek putih. Seorang kawan sesama figuran minta ditraktir.
"Satu aja, jangan pelit-pelitlah," katanya.
"Lu yang bos, kok minta traktir."
Si kawan mengambil satu potong risoles isi mayonaise. Tertawa kecil, ia bilang terima kasih. Indra makan dengan lahap. Sudah sejak siang Indra ada di studio Persari, sebuah kompleks syuting yang terletak di Ciganjur, Jakarta Selatan. Kamar kos Indra ada di Jatinegara.
Indra berasal dari Solo, tapi lama tinggal di Lampung. Awal tahun 2000, ia merantau ke Jakarta. Kerja sembarang asal halal. Pernah bekerja di sebuah gudang. Pernah jadi office boy. Untung bosnya selalu baik hati. Ia tak pernah melarang Indra ikut audisi. Namun karier sebagai bintang film tak ia lakoni dengan konsisten. Kadang ia kerja kantoran selama satu dua tahun. Lalu berhenti untuk melakoni audisi jadi bintang film. Usahanya masih mentok jadi peran figuran. Tapi ia tak ambil pusing.
"Ini sih biar enggak stres saja," katanya.
Peran tipikal Indra adalah preman. Itu bikin geli. Sebab rupa Indra jauh dari sangar. Rambutnya dibelah pinggir. Rapi. Matanya sayu. Kalau berbicara, nadanya pelan. Kulitnya cokelat dan cenderung bersih. Badannya kurus. Tapi entah kenapa sutradara kerap menyuruhnya jadi preman. Indra menyebut pernah jadi preman di Anak Jalanan. Juga di Boy. Di Nadin, hari ini, ia mendapat peran sebagai penonton dangdut.
"Dulu pernah sih main di Bintang Hatiku, dapat peran agak beda."
"Peran apa memangnya?"
"Penggali kubur."
Selain Indra, ada belasan figuran sore itu. Ada Joy, juga Anton. Mereka baru menjelang umur 20 tahun. Joy tampil setil, dengan rompi flanel. Sedangkan Anton memakai jaket jins dan sepatu Converse. Mereka bakal kelihatan di layar sebab Joy jadi gitaris dan Anton bertanggung jawab di departemen ketipung. Mereka bergabung dalam OM Gopur. Mereka yang akan mengiringi Nadin, sang karakter utama yang jadi biduan dangdut.
Tak seperti Indra, Joy dan Anton baru-baru ini melakoni jadi figuran. Selepas SMA, mereka tak ada pekerjaan tetap. Memerankan figuran bayarannya lumayan untuk sekadar beli makan dan rokok dan pulsa.
Sama seperti artis, figuran pun punya kasta. Ada yang dapat dialog. Ada yang tak mengucapkan sepatah kata pun. Bayarannya pun berbeda.
Figuran yang wajahnya tak terlihat, tak mengucapkan sepatah kata pun, bayarannya berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Sedangkan yang lebih beruntung, bisa berucap satu dua kalimat, bisa dapat Rp150 ribu hingga Rp200 ribu. Tentu jangan dibandingkan dengan aktris yang sudah punya nama. Dalam sebuah tayangan infotainment, aktris Natasha Wilona yang bermain di Anak Jalanan pernah mengatakan honornya berkisar di angka 30-an juta rupiah per episode.
Karena hanya mendapat bagian kecil di layar kaca, banyak orang menganggap figuran itu tak penting, karenanya bisa bersikap semaunya. Itu tak sepenuhnya benar. Jadi figuran itu harus tahan banting. Jadwal mereka tak tetap. Menurut Jo Kelly yang menulis The Truth About Being an Extra: How to Become a Good Background Actor, seorang figuran biasanya dikabari mendadak untuk syuting. Karenanya mereka harus siap sedia kapanpun dibutuhkan.
"Saya baru dikabari jam 9 pagi, disuruh datang jam 11," kata Indra.
Hingga pukul 15.30, ia belum melakukan satu take sekalipun.
Industri Padat Karya
Sebuah sinetron, yang kamu tonton di layar kaca, diproduksi oleh banyak orang. Industri sinetron memang padat karya. Satu episode sinetron paling tidak membutuhkan sutradara, asisten sutradara, departemen produksi, seksi konsumsi, seksi transportasi, penulis naskah, tim make up, bagian keamanan, figuran, kameramen, operator slider, editor, bagian pencahayaan (amat dibutuhkan ketika syuting malam hari), koordinator figuran, kordinator talent, figuran, hingga tentu saja para pemeran utama.
Jika mengabaikan proses pitching, proses pembuatan satu episode sinetron berawal dari penulisan naskah. Ini tulang punggung sebuah sinetron.
Melvi Yendra adalah satu dari empat penulis naskah di sinetron unggulan RCTI, Tukang Ojek Pengkolan (TOP). Pada awalnya sinetron ini hanya dimaksudkan untuk 30 episode. Ternyata banyak orang suka. Ratingnya tinggi. Pemasukan besar. Stasiun televisi pun terus membuat produksinya. Sekarang TOP sudah menginjak episode ke-714.
Untuk proses penulisan naskah 1 episode, Melvi diberi waktu 48 jam. Sistemnya bergantian. Jadi, misalkan Melvi menulis episode 500, episode berikutnya akan digarap oleh satu kawannya. Begitu seterusnya. Waktu 48 jam itu mencakup semua aspek penulisan skenario: sinopsis, story line, scene plot, sampai skrip.
"Kalau untuk FTV biasanya deadline jauh lebih longgar," kata penulis yang bergabung di bawah bendera Aris Nugraha Production (ANP) ini.
Dari sana naskah akan dioper ke sutradara, juga para artis. Mereka akan membaca. Berlatih. Lalu mulailah proses syuting. Itu berarti, saatnya tim penulis skenario melanjutkan kerjanya. Sebagai penulis skenario sinetron stripping, beban berat memang menggelayut di pundak Melvi dan kawan-kawannya. Dalam seminggu, Melvi hanya libur sehari. Itu masih mending, ujarnya. Di produksi sinetron lain, sistem kerjanya mungkin tak seramah itu.
Penulis naskah harus mempertimbangkan banyak hal. Melvi dan kawan-kawannya mencoba untuk merangkul banyak segmen penonton. Tentu saja ia tak bisa memuaskan semuanya.
Kesukaran lain mengembangkan karakter tertentu. Ada karakter utama yang selalu ada. Namun di luar itu, ada puluhan karakter yang bisa "diutak-atik" sesuai kebutuhan cerita. Ada yang dikembangkan, ada yang dihilangkan. Karena sinetron bergulir amat cepat, tak semua karakter meninggalkan kesan dan dihafal penonton.
"Di TOP, ada 40 karakter. Muncul separuh saja sudah bagus," kata Melvi.
Sinetron Indonesia sekarang masih belum memberi banyak ruang bagi idealisme artistik. Tentu saja, dalam jadwal yang amat mepet, agak susah mempertahankan semua yang ideal. Naskah harus dikebut. Aktor muda kesusahan berlatih peran secara serius. Peran yang ada nyaris semua tipikal. Pengambilan gambar harus berkejaran dengan waktu. Produser harus bertempur dengan bujet terbatas.
Dan stasiun televisi yang menikmati itu semua.
Pemasukan iklan amat besar. Karena itu stasiun-stasiun televisi berpatokan pada rating. Ini yang jadi masalah. Sinetron dengan rating tinggi akan terus ditayangkan. Meski itu artinya mengembangkan jalan cerita jadi nyaris tanpa juntrung. Bayangkan, ada sinetron yang punya jumlah episode hingga 2.185. Sinetron Cinta Fitri melar hingga 1.002 episode. Anak Jalanan yang amat populer bertahan hingga 705 episode.
"Ini dilematis sih buat pembuat, kru, dan penulis," kata Melvi setengah tertawa. "Sebab, semakin panjang program, asap dapur lebih lama juga bertahannya."
(Baca: Di Bawah Lindungan Sinetron)
SEKITAR PUKUL 16.15, sang pemeran Nadin datang: pedangdut Dewi Persik. Para pemeran figuran berkumpul di bibir panggung. Dewi sudah berdandan lengkap. Ia memakai kacamata berbingkai hitam, mengenakan kaos warna abu-abu tua, dan rok selutut warna hitam. Rambut panjangnya digerai hingga ke dada. Perempuan asal Jember, Jawa Timur, ini ramah menyapa para figuran, lalu naik ke panggung. Seorang koordinator figuran mengarahkan anak buahnya.
"Majuan Pak, Bu. Rapetin, ya. Nanti jogetnya tangan diangkat ke atas."
Koordinator lain memberi contoh kalimat yang harus diucapkan seorang figuran yang hoki mendapat kalimat untuk dilontarkan.
"Woy, kalau enggak bisa joget jangan di sini, dong. Gangguin acara gue aja," ujarnya memberi contoh.
Si figuran menirukan dengan sedikit kaku, setengah tergagap. "Yang natural aja, enggak usah tegang gitu," ujar sang koordinator. Si figuran kemudian latihan, mulutnya komat-kamit tanpa suara. Macam calon pengantin berlatih mengucapkan akad nikah.
Dewi Persik sudah siap di atas panggung. "Langsung nyanyi, nih?" tanyanya pada seorang kru. Yang ditanya memberi tanda jempol.
"Mas Arip, enggak boleh goyang, kan?" tanya Dewi.
"Iya, enggak boleh," kata yang ditanya. "Stand by!"
"Bentar, gantian dulu!" teriak orang dari petak sebelah. Syuting ditunda lagi beberapa menit.
Kawasan studio Persari memang dijadikan tempat syuting beberapa sinetron. Selain Nadin yang tayang di ANTV, sore itu ada syuting Hati yang Memilih (RCTI), juga Cinta di Pangkuan Himalaya yang juga tayang di ANTV. Tempat ini juga dipakai untuk syuting Kesempurnaan Cinta3 (Net TV), dan Bintang di Hatiku (RCTI). Kadang tempatnya bersebelahan. Kebetulan dalam syuting adegan Nadin sore itu ada suara musik latar. Agar tak mengganggu, mereka menunggu syuting sebelah selesai.
Rehat sekitar 10 menit pun selesai. Figuran kembali berkumpul di bibir panggung. Sutradara meneriakkan kalimat sakti: ACTION!
Suara lagu memecah udara, "Pokemon" milik Dewi, singkatan dari pokoke montok. Ia melakukan lip-sync. Penonton berjoget dengan semangat. Termasuk Indra.
Di atas panggung, Joy yang memegang gitar Fender warna putih gading beraksi macam Jimi Hendrix. Tak ada ampli di belakang. Ia tak kidal, dan tentu saja tidak ada aksi menggigit senar. Ia hanya pura-pura. Di sebelahnya, Anton menepuk ketipung seperti tak ada hari esok. Sebuah konser dangdut palsu yang penuh gairah.
Dewi sempat kelepasan goyang, yang disambut teriakan antusias penonton. Sutradara mengingatkannya. Dewi hanya tertawa kecil, "Kaki sudah gatel, nih.". Tapi ia berhasil menahan diri hingga syuting selesai. Termasuk adegan ketika ia tiba-tiba jatuh, membuatnya dilempari botol plastik oleh para penonton.
Syuting selesai pukul 17.15. Dewi kembali melanjutkan syuting di tempat lain. Penggemarnya ingin berfoto, tapi jadwal mepet. Dewi meminta pemakluman dengan ramah. Seorang gadis kecil berkerudung merengek ke asisten produksi. Ia ingin berfoto dengan Dewi, katanya. Apa boleh buat, waktu adalah uang. Dewi pergi dengan mobil MPV warna hitam.
Sore di Studio Persari sudah selesai.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam