tirto.id - Segera setelah serial drama Uttaran memasuki bagian terakhir, ANTV buru-buru mengganti tayangan baru. Ia kembali menghadirkan serial drama India berjudul Geet, yang resmi tayang pada awal tahun ini.
Sebelumnya stasiun televisi milik Aburizal Bakrie ini meraup sukses menayangkan Mahabarata. Saking suksesnya, pada 2014, ANTV memboyong para pemain Mahabarata ke Indonesia. Gelaran selebrasi bintang-bintang serial drama Mahabarata ini pun mendulang sukses. Ia menjadi makin populer di antara serial tayangan impor lain di hati pemirsa dan kian melambungkan serial drama India ditayangkan ANTV.
Popularitas serial ini beriringan pendapatan iklan ANTV. Adstensity mencatat, serial drama Geet, mampu menyedot pundi iklan Rp128 miliar dalam kurun 14 April-14 Mei 2017. Sementara serial drama India lain yang ditayangkan ANTV, yakni Anadhi, menyedot pendapatan Rp94 miliar dalam kurun medio April hingga saat ini.
Pendapatan iklan yang menggiurkan ini diikuti stasiun televisi lain untuk bermain di segmen serupa. SCTV, misalnya, ikut-ikutan menayangkan Ranveer dan Ishani sejak Juni 2014. Pada Agustus tahun lalu, serial impor ini masuk tiga besar sinetron India yang ditayangkan di Indonesia.
Kesuksesan serial drama impor India membawa strategi dalam lanskap hiburan dan kue bisnis televisi swasta. Selepas tayangan sinetron India, ANTV merambah sinetron Turki. TV One, yang menekankan pada bisnis berita, bahkan ikut-ikutan menayangkan serial drama Turki, lima judul berbeda dalam sehari.
Kelima serial drama Turki di TV One itu Shehrazat, Orphan Flowers (Bunga yang Terluka), Endless Love, Winter Sun, dan Torn Apart. Shehrazat dan Orphan Flowers pernah ditayangkan ANTV. Demi meraih penonton, strategi diatur melalui jam tayang. Tiga serial ditayangkan pagi hingga siang, dua lain ditayangkan pada malam hari.
ANTV menjadi pelopor serial drama India selama dua tahun belakangan. Sesudah Mahabarata, disusul Jodha Akbar dan Uttaran. Kesuksesan itu mengubah wajah tayangan ANTV secara keseluruhan. ANTV kini lebih dikenal stasiun televisi (tayangan impor) India. Saban babakan drama India menjelang akhir, serial baru dihadirkan ke penonton.
Baca ulasan Tirto: Yang Kaya berkat 'Uttaran' dan 'Tukang Bubur Naik Haji'
Biaya Murah, Untung Berlimpah
Tayangan impor, entah India, Turki, bahkan yang lebih lawas lagi dari Korea, yang menghiasi stasiun televisi swasta, menjanjikan berlipat-lipat keuntungan dengan hak beli siar yang murah.
Aulia Nastiti, peneliti kajian media dan ekonomi-politik teknologi digital, menjelaskan bahwa biaya produksi tayangan impor jauh lebih murah ketimbang merilis tren sinetron lokal. Tayangan impor mendulang penonton besar di Indonesia.
“Tak heran, serial India ini mendatangkan keuntungan berlipat. Demikian juga ketika produk budaya populer Korea gencar dipasarkan pada akhir tahun 1990-an,” tulis Aulia di Remotivi.
Muhamad Heychael, Direktur Remotivi, memandang biaya produksi yang murah dari tayangan impor terkait serial itu sudah beken duluan, plus mendulang laba, di negara asalnya.
“Jadi ketika menjual ke pasar internasional, bukan lagi mencari modal, tetapi mencari tambahan,” katanya, Jumat pekan lalu.
“Mereka jual sangat murah. Itu yang menyebabkan harganya jauh di bawah produksi lokal,” ujar Heychael.
Per episode, stasiun televisi cukup membayar sekitar Rp50 juta. Harga itu jauh lebih murah dibanding membeli harga sinetron lokal yang mencapai Rp300 juta sekali tayang.
Bersaing dengan serial drama impor, yang lebih memberi kenyamanan bisnis televisi swasta, bikin para pemilik rumah produksi di Jakarta mau tak mau harus menekan biaya produksi. “Nah, sekreatif bagaimana pun, kalau dibatasi bujet, saya kira akan sulit,” ujar Heychael.
Meski demikian, ia menegaskan, seharusnya stasiun televisi tak melulu mencari keuntungan dengan menayangkan serial drama impor. Apalagi televisi swasta yang jangkauannya sangat luas, sehingga sering disematkan nama "nasional", punya kewajiban edukasi dalams setiap tayangan lantaran frekuensi yang dipakainya milik publik.
“Buktinya kita dulu menikmati si Doel, kita menikmati Keluarga Cemara. Artinya, masyarakat sebenarnya siap dengan konten yang bagus.”
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam