tirto.id - Lewat aturan anyar, personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terbukti melanggar hukum dapat dijatuhi sanksi penurunan pangkat atau demosi. Ketentuan itu termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2025 tentang Perubahan atas PP Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI.
Pasal 27A Ayat (1) PP Nomor 35/2025 itu menyatakan bahwa sanksi penurunan pangkat dapat dikenakan kepada prajurit yang melanggar hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi penurunan pangkat ini dapat dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan.
“Penurunan pangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” demikian bunyi Pasal 27A Ayat (2) PP Nomor 35/2025.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI, Freddy Ardianzah, menyebut aturan itu sebagai bagian dari upaya memperkuat disiplin, tanggung jawab, dan integritas prajurit TNI dalam menjalankan tugas dan pengabdian kepada bangsa dan negara.
“Ketentuan ini menegaskan bahwa setiap prajurit yang terbukti melanggar hukum, melalui proses peradilan militer, dapat dikenai sanksi administratif berupa penurunan pangkat sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Panglima TNI,” ujarnya dilaporkan Tirto, Minggu (12/10/2025).

Freddy menekankan kembali bahwa mekanisme penerapan sanksi demosi baru dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Selanjutnya, pelaksanaannya akan diatur secara teknis melalui Peraturan Panglima TNI, seperti yang tercantum dalam Pasal 27A Ayat (3) peraturan tersebut.
“Intinya, aturan ini bukan semata bentuk hukuman, melainkan langkah pembinaan bagi prajurit agar senantiasa menjunjung tinggi hukum dan kehormatan sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional,” pungkasnya.
Sebelumnya, PP 39/2010 mengatur bahwa prajurit diberhentikan tidak dengan hormat dari Dinas Keprajuritan karena dijatuhi pidana tambahan dipecat dari dinas militer berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau mempunyai tabiat dan/atau perbuatan yang nyata-nyata dapat merugikan disiplin keprajuritan atau TNI, sesuai Pasal 53 Ayat (1).
Dua tabiat yang dimaksud di antaranya adalah menganut ideologi, pandangan, atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan melakukan tindakan yang membahayakan keamanan dan keselamatan bangsa dan negara.
Cukupkah Perkuat Disiplin dan Akuntabilitas?
Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, berpendapat bahwa kehadiran PP Nomor 35 Tahun 2025 menjadi langkah positif untuk memperkuat disiplin dan akuntabilitas di tubuh TNI.
“Penambahan sanksi berupa penurunan pangkat memberi alternatif sanksi administratif yang lebih proporsional. Tidak langsung ke pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), tapi juga lebih tegas dari sekadar penundaan kenaikan pangkat,” ujar Fahmi saat dihubungi jurnalis Tirto lewat aplikasi perpesanan, Rabu (15/10/2025).
Beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh personel TNI memang kerap kali diganjar PTDH. Pada kasus Mayor HFD yang terlibat kasus mutilasi empat warga sipil Mimika, Papua Tengah, misalnya, pada 2023 dia divonis penjara seumur hidup dan dipecat secara tidak hormat dari TNI.
Pada 2017, di Medan, Kodam I/Bukit Barisan menggelar upaya PTDH atas 21 prajuritnya. Personel yang dipecat terdiri dari 3 perwira menengah, 7 bintara, dan 11 tamtama. Jawa Pos melaporkan pada Sabtu (18/2/2017), prajurit yang diberhentikan itu terlibat dalam berbagai tindak pidana, mulai dari penyalahgunaan narkotika, penipuan, pembunuhan, dan desersi (lari dari tugas).
Kemudian pada 2016, pernah ada pula dua prajurit TNI di jajaran Korem 042/Garuda Putih (Jambi) dikenai PTDH karena tersandung kasus narkoba. Dinukil dari Antara, Senin (11/4/2016), dua prajurit itu bernama Ahmad Yani yang bertugas di Kodim 0419/Tanjung Jabung dan Guntur anggota Yonif 142/KJ.

Namun, ada juga kasus TNI yang hanya dijatuhi hukuman penundaan kenaikan pangkat, seperti pada anggota TNI berinisial AP. Antara memberitakan bahwa AP yang terlibat kasus dugaan penganiayaan anak pejabat instansi vertikal Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, disanksi tidak bisa sekolah dan penundaan kenaikan pangkat selama tiga tahun.
Soal demosi, ISESS menekankan hal yang terpenting adalah sanksi itu hanya bisa dijatuhkan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal itu dianggap sejalan dengan prinsip due process dan memberi perlindungan hukum bagi prajurit.
“Artinya, sanksi tidak dijatuhkan hanya karena persepsi atau hasil pemeriksaan internal, tapi melalui jalur hukum formal,” pungkas Fahmi.
Masihkan Ada Celah Impunitas?
Meski ada PP baru, celah yang masih terbuka adalah ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Aturan itu memberikan kewenangan bagi peradilan militer untuk mengadili prajurit TNI dalam kasus pidana umum.
Pengamat militer Al Araf menilai bahwa PP itu pada akhirnya tidak menjawab keharusan konstitusional yang mewajibkan pemerintah dan negara untuk melakukan asas persamaan di hadapan hukum dalam menindak anggota militer yang melakukan tindak pidana melalui peradilan umum.
Menurutnya, PP 35/2025 tidak menjawab soal pokok dari keadilan bagi korban dan tidak memberikan jawaban dalam penyelesaian kasus pelanggaran dan kasus pidana lainnya.
“Karena, PP itu levelnya di bawah undang-undang dan PP itu sama sekali tidak memberikan ketentuan bahwa militer turun dalam peradilan umum. Yang diinginkan oleh korban adalah revisi terhadap Undang-Undang Peradilan Militer agar militer turun dalam peradilan umum ketika terlibat tindak pidana umum,” kata Al Araf kepada Tirto, Kamis (16/10/2025).
Oleh karenanya, alih-alih penerbitan PP baru, yang dibutuhkan adalah revisi UU 31/1997. Al Araf mengingatkan pada kasus dua anggota TNI dari Kodim 0204/Deli Serdang, Sersan Kepala Darmen Hutabarat dan Sersan Dua Hendra Fransisco Manalu, yang divonis hukuman penjara hanya 2,5 tahun dan dipecat dari TNI setelah terbukti menembak mati seorang remaja. Putusan itu ditelurkan oleh Pengadilan Militer.

Selain itu, masih banyak putusan ringan yang dihasilkan oleh peradilan militer yang menurut Al Araf memperlihatkan sesuatu yang sangat berbahaya dalam kehidupan negara hukum. Itulah sebabnya penurunan pangkat bukanlah hal yang sangat esensial, apalagi katanya, jika menunggu keputusan hukum tetap.
“Jadi, itu membuka ruang terpeliharanya impunitas, tidak memberikan jawaban buat keadilan korban. Jawaban keadilan korban adalah dengan melakukan revisi UU Nomor 31/1997 tentang Peradilan Militer. Itu yang perlu dilakukan dan harusnya dilakukan,” lanjut Al Araf.
Sekali lagi, PP Nomor 35/2025 hanya akan memberi ruang impunitas, bukan keadilan. Hal yang diperlukan adalah ruang mekanisme peradilan yang independen, imparsial, dan bebas dari intervensi militer.
Aturan Pelaksana yang Tegas Jadi Tantangan
Meski Al Araf menilai implementasi PP Nomor 35/2025 tidak memenuhi kebutuhan yang sebenarnya, Fahmi dari ISESS menilai bahwa implementasi PP akan sangat bergantung pada aturan teknis dari Panglima TNI yang diamanatkan dalam PP tersebut. Fahmi bilang, tanpa aturan teknis itu, potensi muncul disparitas dalam implementasi di tiap matra.
Fahmi mengungkapkan beberapa poin krusial agar kebijakan ini dapat berjalan adil dan efektif. Pertama, adanya kriteria pelanggaran yang jelas supaya demosi tidak diberlakukan secara otomatis, tapi berdasarkan proporsionalitas kasus.
Kedua, besaran dan dampak demosi harus transparan, termasuk ke hak pangkat, jabatan, masa dinas, maupun peluang rehabilitasi. Kemudian, prosedur interim juga diperlukan, mengingat proses menunggu inkracht sering kali cukup lama.
“Perlu ada pedoman juga supaya prajurit tidak aktif di jabatan sensitif atau strategis sambil tetap menjunjung asas praduga tak bersalah,” ujar Fahmi.
Mekanisme akuntabilitas pun disebut mesti diaktifkan, seperti jalur keberatan ke Ankum/atasan yang berhak dihukum, hingga Panglima, serta pengawasan oleh Dewan Pertimbangan dan Pengawasan Disiplin Militer (DPPDM).
“Nah, kalau dikaitkan dengan UU Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer, PP ini juga sangat konsisten. UU itu tegas membedakan pelanggaran yang diselesaikan lewat jalur pidana dan jalur disiplin,” pungkas Fahmi.
Pasal 54 UU Nomor 25/2014 tentang Hukum Disiplin Militer menyatakan bahwa prajurit yang sudah diproses secara hukum pidana tidak bisa lagi dikenai hukuman disiplin, kecuali hakim memutuskan mengembalikan perkara ke ranah disipliner. Jadi, syarat inkracht dalam PP ini dikatakan Fahmi memperkuat kepastian hukum dan mencegah sanksi ganda.
“Kalau bicara praktik, selama ini demosi karena pelanggaran hukum memang belum pernah terekspos ke publik. Yang umum kita dengar adalah penundaan pangkat, pencopotan jabatan atau PTDH. Maka, PP ini adalah penguatan sekaligus penegasan baru, efektivitasnya baru akan terlihat setelah Peraturan Panglima diterbitkan,” ujar Fahmi.
Secara umum, Fahmi menilai kebijakan ini baik dan sejalan dengan semangat pembinaan berbasis hukum yang berkeadilan. Tantangannya sekarang yakni menyiapkan aturan pelaksana yang tegas, rinci, dan seragam supaya tidak muncul disparitas dan praktik yang diskriminatif.
“Kalau itu bisa dipenuhi, saya optimistis ini akan jadi salah satu instrumen pembinaan yang cukup efektif, tapi tetap manusiawi,” tutup Fahmi.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































