tirto.id - Sebuah langkah penting diambil sehubungan dengan perlindungan hak-hak pekerja seks di Amerika Serikat. Bila tak ada rintangan, New York, sebagaimana diwartakan The Guardian, akan menjadi negara bagian pertama di Amerika Serikat yang mensahkan undang-undang mengenai dekriminalisasi pekerja seks bernama “Violence in the Sex Trades Act”.
Rancangan regulasi setebal 13 halaman ini dibuat oleh Decrim New York, organisasi advokasi hak-hak pekerja seks. RUU mengatur, di antaranya, soal pemerkosaan, perdagangan manusia, hingga penyerangan maupun pelecehan seksual. Tujuan pembentukan RUU yaitu untuk menjamin para pekerja seks mendapat perlindungan yang memadai dan tidak dikriminalkan.
Desakan untuk mendekriminalisasi kerja seks di New York memperoleh momentum luas pada awal 2019. Mereka yang mendukung beranggapan bahwa kerja seks, yang sejauh ini masuk dalam kategori tindak ilegal di AS, berpotensi besar melanggengkan kekerasan maupun perdagangan manusia.
Menghancurkan Tembok Besar
“Semua orang berhubungan seks,” kata Tamika Spellman, salah satu pekerja seks asal Washington DC, kepada Vox. “Satu-satunya perbedaan adalah kami mengenakan biaya untuk itu.”
Menjadi pekerja seks, seperti halnya Tamika, bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Risikonya terlalu banyak. Laporan Human Rights Watch menjelaskan bahwa dalam melakukan aktivitasnya, para pekerja seks rentan dikriminalisasi, selain juga dilecehkan, diperkosa, dipermalukan, maupun dihajar habis-habisan.
Di Amerika, situasinya lebih sulit. Sering dianggap sebagai negara paling liberal, dan juga demokratis, AS justru melarang eksistensi para pekerja seks. Kendati di tataran federal tak ada undang-undang yang melarangnya, hanya Nevada yang melegalkan kerja seks, dari total 50 negara bagian.
Dalam buku berjudul Revolting Prostitutes: The Fight for Sex Workers’ Right (2018), Molly Smith dan Juno Mac menjelaskan puluhan ribu pekerja seks “ditangkap, dituntut, dipenjara, didenda, dan dideportasi” setiap tahunnya di AS.
Di Arizona dan Florida, misalnya, para pekerja seks sering menghadapi penangkapan. Hukumannya bisa denda sampai penjara. Di Louisana, New York, hingga Virginia pun setali tiga uang: di mata aparat, pekerja seks dianggap bak bandit kelas teri yang patut dibasmi. Korbannya bisa siapa saja: perempuan kulit berwarna, hitam, hingga transgender.
Aparat kepolisian pun menggunakan kepemilikan kondom sebagai alat bukti tindak kriminal. Mereka bahkan bisa memeras hingga memerkosa para pekerja seks. Data dari Decrim (2008) memperlihatkan hampir satu dari lima pekerja seks telah dipaksa berhubungan seks dengan polisi agar tuduhannya dibatalkan.
Yang dilakukan aparat mendatangkan konsekuensi tak main-main bagi para pekerja seks. Pertama, memenjarakan atau menjatuhkan denda yang besar kepada para pekerja seks kian menambah beban hidup dan ekonomi mereka. Para pekerja seks malah makin miskin sebab pekerjaan utamanya dicabut. Kedua, dijadikannya kondom sebagai barang bukti tindak kejahatan justru membuat para pekerja seks berpeluang besar terkena HIV karena mereka takut membawa kondom dengan alasan “bisa dipenjara”.
Untuk itulah upaya dekriminalisasi tak bisa lagi ditawar-tawar. Menyingkirkan larangan kerja seks sama juga berarti membuat para pekerja seks dapat menjalankan aktivitasnya tanpa harus diselimuti ketakutan.
Naik ke Ranah Politik
Diskursus mengenai dekriminalisasi kerja seks tak sekadar beredar di lingkup kelompok akar rumput, melainkan sampai juga di tingkat elite politik. Menjelang Pilpres 2020, para kandidat capres dari Partai Demokrat mulai ambil panggung dalam menyuarakan hak-hak pekerja seks di AS. Kamala Harris, Bernie Sanders, Tulsi Gabbard, dan Elizabeth Warren adalah contohnya.
Harris, misalnya, menyatakan bahwa usaha dekriminalisasi patut ditempuh agar para pekerja seks memperoleh pemenuhan hak yang proporsional. Seperti dilaporkan The Intercept, Harris berkata: “Saya menganjurkan kita harus berhenti menangkapi para pekerja seks dan mulai mengejar orang-orang hidung belang dan mucikari. Karena [dengan menangkapi] kita hanya mengkriminalisasi para perempuan.”
Senada dengan Harris, Gabbard juga punya visi serupa. “Kerja-kerja seks bukanlah tindak kriminal,” tegas Gabbard. “Jika orang-orang dewasa mau melakukan pekerjaan seks, itu adalah hak mereka. Dan seharusnya itu bukanlah kejahatan,” terangnya. “Semua orang memiliki otonomi atas tubuh dan kerja mereka.”
Mendukung dekriminalisasi kerja seks bisa dibaca dari perspektif politik. Berdasarkan jajak pendapat Data for Progress dan Decrim yang dilansir The Guardian, mayoritas pemilih Demokrat mendukung dekriminalisasi pekerja seks. Rinciannya: 56 persen mendukung, 17 persen menolak, dan sisanya mengaku “netral”.
Meski terdengar positif, banyak pihak berpendapat dukungan para kandidat capres Demokrat tak lebih dari lips service semata. Pasalnya, rekam jejak para politikus tersebut berkata sebaliknya. Harris, misalnya, termasuk politisi yang getol menentang kerja-kerja seks. Salah satu bukti yang terlihat jelas yakni ketika Harris menolak wacana pemungutan suara yang dimaksudkan untuk mengakhiri penangkapan para pekerja seks—dikenal sebagai “Proposisi K”. Contoh lainnya, saat menjabat sebagai Jaksa Agung California, ia memerintahkan penutupan situs-situs pekerja seks.
Sementara Gabbard sendiri dikenal aktif dalam aktivisme anti-LGBT. Ia bahkan bergabung dengan organisasi milik ayahnya yang mempromosikan terapi konversi sebagai metode penyembuhan orang-orang dari kelompok LGBT.
Api Terus Menyala
Perlawanan terhadap kriminalisasi pekerja seks punya riwayat sejarah yang panjang. Pada 1975, aksi protes terjadi di depan pelataran Gereja Saint-Nizier, Lyon, Perancis. Selama seminggu penuh, sekelompok pekerja seks menduduki gereja dan menuntut polisi menghentikan segala tindak represif.
Akar permasalahannya bermula pada 1972. Kala itu, publik Lyon digegerkan dengan skandal beberapa perwira polisi yang dituduh menerima suap dari pemilik rumah bordil untuk melindungi bisnis prostitusinya. Tak hanya menerima suap, para polisi juga diduga keras jadi germo atau mucikari.
Pemerintah Perancis pasca-Perang Dunia II mengambil sikap tegas soal prostitusi. Salah satu langkahnya adalah meratifikasi Convention for the Suppression of the Traffic in persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others (1960) yang menempatkan pihak-pihak serta pelbagai aktivitas dalam pusaran prostitusi sebagai kriminal. Imbasnya: transaksi gelap seperti yang dilakukan polisi Lyon pun marak terjadi.
Infografik PSK AS. tirto.id/Fuadi
Skandal 1972, menurut Lilian Mathieu dalam “An Unlikely Mobilization: The Occupation of Saint-Nizier Church by the Prostitutes of Lyon” (2001, PDF) yang terbit di Revue Française de Sociologie, berdampak besar bagi masing-masing pihak. Skandal tersebut mencoreng citra polisi di mata masyarakat. Tuntutan perubahan pun muncul ke publik. Masyarakat mendesak kepolisian Lyon agar segera membersihkan birokrasi dan jajarannya dari praktik suap dan korupsi.
Sementara bagi pekerja seks, skandal 1972 telah menjadikan mereka sasaran empuk persekusi aparat kepolisian. Sejak hotel tempat mereka bekerja ditutup sebagai efek skandal 1972, ruang gerak para pekerja seks kian terbatas. Dari yang semula beroperasi di ruang privat, dalam hal ini kamar hotel atau rumah bordil, berpindah ke ruang terbuka di jalan-jalan dan gang-gang sempit. Walhasil, aparat makin mudah menangkap mereka. Dalam aksi-aksi penangkapan itu, polisi seringkali menggunakan kekerasan.
Tak cuma jadi bulan-bulanan aparat, para pekerja seks juga didiskriminasi dalam pelayanan publik. Berpotensi kehilangan hak asuh anak, dibebani pajak yang tinggi, hingga ditempatkan pada posisi yang rentan masuk penjara dalam KUHP Pidana Perancis adalah beberapa contoh diskriminasi nyata yang mereka alami. Antara Maret sampai Agustus 1974, tiga pekerja seks tewas dibunuh. Polisi yang mengusut kasus itu mengaku tak bisa menemukan pelaku.
Kegagalan polisi menangkap pelaku memancing kemarahan pekerja-pekerja seks yang kemudian menggalang aksi turun ke jalan. Gereja dipilih sebagai pusat aksi. Alasannya, dengan cara itu mereka dapat dengan mudah menarik perhatian (dan dukungan) dari masyarakat sipil, media, dan serikat buruh. Syukur-syukur bisa menyentil kuping pemerintah, mengingat posisi gereja yang begitu vital sebagai pusat aktivitas keagamaan.
Dengan membawa isu diskriminasi ini ke tempat terbuka, pekerja seks ingin menekankan bahwa apa yang mereka alami bisa saja menimpa masyarakat lainnya di mana hak-hak warga negara tak 100 persen dijamin pemerintah. Pendudukan Saint-Nizier kelak ditetapkan sebagai Hari Pekerja Seks Internasional.
Dari Perancis, api perlawanan lantas menyebar ke banyak wilayah. Di Amsterdam pada 1985, diadakan World Whores Congresses yang menghasilkan Piagam Dunia untuk Hak Pekerja Seks (World Charter for Sex Worker Rights). Piagam itu menekankan pentingnya dekriminalisasi terhadap prostitusi.
Memasuki milenium baru, upaya-upaya yang dilakukan pada era 1980-an masih dilanjutkan. Hak pekerja seks yang kerap diacuhkan kini diprioritaskan oleh organisasi internasional seperti Amnesty International yang pada 2015 memutuskan untuk mendukung dekriminalisasi pekerjaan seks di seluruh dunia.
Di AS sendiri, usaha melindungi hak-hak pekerja seks sebetulnya sudah muncul pada tahun lalu ketika pemerintah meneken regulasi FOSTA-SESTA. Sayang, aturan ini malah jadi sasaran kritik. Alih-alih melindungi, FOSTA-SESTA justru membatasi gerak pekerja seks di dunia online—memaksa mereka untuk turun ke jalan yang notabene lebih membahayakan nyawa.
Apa yang terjadi di New York membuktikan bahwa perjuangan untuk pemenuhan hak-hak yang setara bagi pekerja seks terus berlangsung dan perlahan membuahkan hasil. Jalan masih panjang, dan selama itulah para pekerja seks tetap berpotensi dirisak, dilecehkan, hingga dikriminalkan.
Editor: Windu Jusuf