Menuju konten utama

Dear Perempuan, Sebutan Trophy Wife Bukanlah Prestasi

Fenomena tempat kursus trophy wife hingga label-label serupa yang bertebaran di media sosial mustahil dipisahkan dari konstruksi sarat unsur seksisme.

Dear Perempuan, Sebutan Trophy Wife Bukanlah Prestasi
Header Diajeng Trophy Wife. tirto.id/Quita

tirto.id - Trophy wife training camp, kamp pelatihan untuk “calon” trophy wife—istilah bagi istri sebagai simbol kesuksesan yang dapat dibanggakan oleh suaminyadikabarkan ada di daratan Cina.

Tahun lalu, muncul pemberitaan tentang dugaan bahwa Ye Ke, kekasih dari Huang Xiaoming, salah satu aktor dengan bayaran tertinggi di Negeri Panda, pernah menjadi anggota dari kelompok ini.

Selama pelatihan, para trainee trophy wife disediakan dengan beragam barang branded, mobil mewah, dan serangkaian photoshoot. Benda-benda tersebut menjadi amunisi untuk mereka bergaya bak sosialita di media sosial.

Fenomena trophy wife training camp ini sudah berlangsung cukup lama.

Lima tahun lalu, China Observer mencoba mengulas kehidupan kelompok tersebut dan mendapati bagaimana perempuan-perempuan di dalam lingkaran ini bersama-sama menyewa barang mewah untuk dipakai secara bergantian.

Calon-calon trophy wife di Cina memiliki ciri-ciri yang sama: mereka menjadi selebritas internet dengan citra kehidupan glamor.

Para mentor di training camp bertanggung jawab menentukan fashion yang dipakai, pose foto yang cocok, hingga tempat mewah yang harus dikunjungi.

Tujuan akhir dari trophy wife training camp adalah memberikan jalan bagi perempuan-perempuan muda masuk ke lingkaran kelas atas.

Setelah itu, diharapkan peserta pelatihan punya kesempatan luas mendapatkan laki-laki kaya raya sebagai suami.

Di balik pemberitaannya yang cukup menghebohkan, komersialisasi trophy wife menandakan potensi adanya masalah struktural yang melibatkan persoalan sosial dan ekonomi pada kelompok perempuan.

Pada waktu sama, beberapa orang mungkin telanjur melakukan oversimplifikasi terhadap kemunculan trophy wife dengan mengaitkannya pada kecenderungan perempuan muda untuk berpikiran dangkal dan tidak mau bekerja keras.

Pada akhirnya, istilah trophy wife menjadi tak lebih dari julukan meremehkan yang digunakan untuk menyudutkan perempuan.

Yang kerap terjadi kemudian, label trophy wife juga diasosiasikan dengan gold digger—mereka yang hanya mengincar keuntungan material dalam hubungan percintaan.

Coba tengok beberapa contoh narasi tentang trophy wife yang merugikan perempuan.

"Ambisi paling utama dari perempuan matre adalah menjadi sesosok trophy wife," tulis wartawan Lynn Barber di The Times of London, dikutip ulang oleh New York Times pada tahun 1994.

Barber menggunakan istilah trophy wife dengan nada peyoratif yang menargetkan perempuan-perempuan muda.

Dua dekade kemudian, narasi serupa tertuang di dalam lirik dari lagu I Won(2014) yang dinyanyikan oleh Future feat Kanye West,“You the number one trophy wife, so it's only right to live the trophy life,”

Usai kena kritik sana-sini, rapper Future menegaskan bahwa trophy wife yang dimaksud dalam lirik lagu adalah upaya untuk mengangkat derajat perempuan—pernyataan yang tentu saja sulit diterima oleh banyak orang.

Trophy wife diasosiasikan dengan perempuan muda yang menikahi laki-laki lebih tua dengan alasan kemapanan finansial. Para istri bagai piala ini menjadi properti dan simbol dari status sosial sang suami.

Ada dua perspektif yang bisa kita terapkan saat mendapati fenomena trophy wife.

Perspektif pertama adalah bagaimana perempuan muda mengembangkan fantasi untuk menjadi pelengkap alias tambahan bagi sang suami, alih-alih bersikap independen.

Dalam konteks tersebut, trophy wife secara tidak langsung akan selalu hidup dalam bayang-bayang suaminya, bahkan dalam persoalan ekonomi.

Editor senior majalah Fortune, Julie Connelly, disebut telah memopulerkan istilah tersebut dalam artikelnya tahun 1989, “The CEO's Second Wife—Istri Kedua Sang CEO”.

Conelly menulis, trophy wife yang diasosiasikan dengan laki-laki berkuasa sesungguhnya tidak hanya ongkang-ongkang kaki, “Trophy wife juga memiliki bisnis sendiri, hanya saja tidak sampai menyaingi suaminya.”

Penelitian oleh Kate Ratfliff dan Shigehiro Oishi yang terbit di Journal of Personality and Social Psychology (2013) menemukan bahwa laki-laki akan secara otomatis menginterpretasikan kesuksesaan kekasih mereka sebagai kegagalan pribadi, bahkan saat keduanya tidak sedang berkompetisi secara langsung.

Mentalitas semacam inilah yang membuat perempuan pada umumnya, termasuk trophy wife, secara tidak sadar lebih banyak mengalah.

Sementara itu, pada perspektif kedua, julukan trophy wife yang kian populer kemudian disematkan secara serampangan kepada perempuan yang memiliki suami dengan karier mapan.

Media sosial adalah salah satu arena yang memungkinkan pelabelan semacam ini tumbuh subur.

Elizabeth McClintock, sosiolog University of Notre Dame yang mempelajari ketimpangan dalam relasi romantis, melihat kecenderungan yang sama saat meneliti tren trophy wife.

"Aku dengar istri-istri dokter disebut trophy wife oleh pengamat hanya karena tampilan dan status mereka. Yang sering tidak disadari adalah, para istri tersebut juga profesional yang sukses," tuturnya dikutip dari Notre Dame News.

Berdasarkan hasil penelitiannya di American Sociological Review(2014) yang melibatkan 1.500 responden, McClintock jarang menemukan kasus perempuan mau menukar kecantikan dan pesona mereka demi uang.

McClintock mendapati kecenderungan laki-laki tampan berpasangan dengan perempuan cantik. Demikian halnya laki-laki sukses dengan perempuan sukses.

“Rata-rata, laki-laki berstatus sosial tinggi memang memiliki istri yang lebih cantik, tetapi hal ini karena mereka sendiri dianggap lebih tampan—mungkin karena mereka cenderung tidak kelebihan berat badan dan lebih mampu membiayai perawatan diri seperti kawat gigi, pakaian bagus, serta kunjungan ke dokter kulit, dan sebagainya. Kedua, faktor paling kuat dalam pemilihan pasangan sejauh ini adalah kesamaan dalam hal pendidikan, ras, agama, dan daya tarik fisik,” terang McClintock lagi.

Temuan McClintock mengindikasikan bahwa label trophy wife adalah istilah yang dibuat-buat untuk mengkotak-kotakkan dan meremehkan karier perempuan.

Fenomena trophy wife training camp hingga label-label serupa yang bertebaran di media sosial mustahil dipisahkan dari konstruksi sarat unsur seksisme, ditujukan untuk mengambil keuntungan dari posisi perempuan yang acap kali lebih lemah secara sosial dan ekonomi.

Oleh karena itu, mari lebih bijak untuk mencerna label maupun sematan yang menjadikan perempuan sebagai objek. Salah-salah, malah kita sendiri yang melanggengkan stereotip dan objektifikasi terhadap sesama perempuan.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Erika Rizqi

tirto.id - Lyfe
Kontributor: Erika Rizqi
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih