tirto.id - Di tengah isu terbatasnya aksesibilitas layanan pengasuhan anak, Tempat Penitipan Anak (TPA) Anisa di Kampung Kadupugur, Desa Mekarmukti, Kecamatan Mekarmukti, Kabupaten Garut, hadir menawarkan fasilitas dengan ongkos murah.
Dengan membayar infaq sebesar harga permen, alias Rp500 per hari, setiap orang tua bisa menitipkan anaknya di daycare itu. Meski sangat murah, anak-anak di sana tetap mendapatkan pengasuhan dan pendidikan. Masyarakat sekitar pun jadi ikut terbantu dengan adanya TPA Anisa.
Fatah (28) sebagai salah satu orang tua yang menitipkan anaknya di TPA Anisa bilang, tempat pengasuhan itu banyak membantu orang tua yang memiliki kesibukan dalam pekerjaan.
“Seperti ibu yang bekerja sebagai ASN [Aparatur Sipil Negara] bisa menitipkan anak tersebut ke TPA Anisa,” katanya kepada Tirto, Kamis (13/12/2025).
Sepenuturan Fatah, pendiri TPA Anisa memang sejak dahulu terkenal suka mengasuh anak-anak yang kurang perhatian dari keluarga. Para pengasuh di daycare itu merupakan para warga sekitar Kampung Kadupugur.
TPA ini bukan seumur jagung alias sudah berdiri selama 18 tahun. Ketua TPA Anisa, Juju Juningsih, mengatakan, ide pendirian pada 2007 muncul saat ia melihat seorang anak kecil menangis di sawah menunggu ibunya yang sedang bekerja sebagai buruh tani.
“Rumah saya di pinggir sawah, waktu itu ada anak kecil dibawa ibunya kerja, terus nangis nunggu ibunya. Jadi nggak tega, terus kepikiran bikin TPA seperti di kota-kota besar,” kata Juju dilansir Kompas, Rabu (12/11/2025).
Ia mendirikan TPA di rumahnya, dengan bantuan keponakan Juju, Ai Rosmiyati. Saat itu, tiga ruangan rumah digunakan untuk kegiatan anak-anak. Selama dua tahun pertama, mereka mengelola TPA tanpa bantuan dan tanpa mewajibkan infaq.
“Infaq Rp500 per hari juga tidak semua orangtua bayar, tapi kita tidak minta, biar aja seikhlasnya. Saya hanya ingin hidup saya bermanfaat,” ujar Juju.
Tak lama kemudian, pada 2009, pemerintah mulai memberikan bantuan untuk operasional, dan pada 2023 TPA Anisa mendapatkan bantuan bangunan baru dari pemerintah daerah. Kini, TPA itu menampung sekitar 56 anak berusia dua hingga enam tahun.
Karena mayoritas orangtua bekerja sebagai buruh tani, penitipan hanya berlangsung hingga selepas waktu zuhur. “Jadi tidak sampai sore, sampai bada zuhur. Orangtuanya kan buburuh ngabedug [bahasa Sunda, bekerja di sawah],” kata Juju.
Seiring bertambahnya jumlah anak, kini ada empat relawan tambahan yang membantu Juju dan Ai mengajar dan semua bekerja tanpa bayaran. Sehari-hari, anak-anak dibagi menjadi tiga kelompok dan belajar dengan pendekatan bermain.
Menurut Juju, para pengasuh di TPA-nya tak memaksa anak-anak belajar membaca, menulis, atau berhitung. Semua dilakukan sambil bermain dan menanamkan nilai-nilai kebaikan.
Carework Harus Diakui sebagai Profesi
TPA Anisa ini merupakan bagian dari program Taman Asuh Sayang Anak (Tamasya) yang digagas Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Indonesia (Kemendukbangga/BKKBN). Sayang, kerja perawatan tampaknya belum dihargai dalam hal ini.
Saat meninjau langsung TPA Anisa, Selasa (11/11/2025) lalu, Mendukbangga, Wihaji, justru memuji dedikasi para pengurus TPA yang bekerja tanpa digaji. “Semoga ini menjadi inspirasi, karena ternyata gaji gurunya ‘sajuta’ yaitu sabar, jujur, tawakal. Benar-benar murni tidak dapat gaji, hanya tadi sajuta, saya sangat hormat,” katanya.
Nihilnya gaji yang diterima para pengasuh di TPA Anisa tentu tidak sejalan dengan semangat mengakui carework sebagai profesi. Apalagi, Kemendukbangga mulai menyuarakan adanya skema pengaturan agar ibu rumah tangga (IRT) bisa mendapatkan insentif atau jaminan dari pemerintah. Hal itu disebut sebagai bagian dari care economy.
Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, berpendapat, jika daycare komunitas didukung pemerintah tapi pengasuhnya tidak dibayar, artinya negara mengambil manfaat dari kerja perawatan perempuan yang tidak dihargai, padahal carework merupakan pekerjaan penting dan harusnya diperlakukan sebagai profesi.

Meski keberadaan TPA murah seperti TPA Anisa bisa membantu keluarga yang berpenghasilan rendah, menurut Lisda, keberlanjutan sebuah tempat penitipan atau pengasuhan tetap perlu menjadi perhatian.
“Karena biaya Rp500 per hari itu sebenarnya kan tidak mencerminkan biaya real pengasuhan ya. Karena untuk menyediakan layanan daycare itu kan perlu sarana, alat edukasi, kebersihan, makan minum, keamanan dan yang paling penting adalah tenaga pengasuh yang kompeten. Dan itu harus dibayar dengan layak karena pengasuh yang ada di daycare itu dia menggantikan peran-peran tugas-tugas dia sebagai orang tua gitu kan,” ujarnya saat berbincang dengan Tirto, Kamis (13/11/2025).
Apabila orang tua hanya bisa bayar Rp500 per hari, kata Lisda, artinya ada kesenjangan antara kemampuan dan daya beli masyarakat terhadap biaya daycare formal. Itu berarti daycare harusnya dipandang sebagai layanan publik, bukan jasa komersial yang hanya bisa diakses oleh keluarga mampu.

“Fenomena ini sebenarnya menunjukkan betapa besarnya kebutuhan para pekerja informal terhadap daycare. Daycare itu merupakan kebutuhan dasar saya kira, kebutuhan untuk memenuhi hak-hak anak,” lanjut Lisda.
TPA dengan model seperti TPA Anisa memang menyelesaikan masalah akses secara jangka pendek. Meski berumur panjang, Lisda mengaku ragu terhadap keberlanjutannya karena yang dibutuhkan oleh sistem daycare itu dia harus aman, layak, dan berkelanjutan.
Pemerintah harusnya bisa hadir sebagai penjamin layanan, bukan sekedar memberi bantuan operasional. Negara juga mestinya menetapkan standar yang jelas dan wajib terkait dengan layanan penitipan dan pengasuhan anak.
“Dan yang penting juga menyediakan pembayarannya memadai. Jadi ini bukan sekadar bantuan operasional, tapi juga harus memasukkan daycare itu dalam skema layanan publik, misalnya sama dengan layanan publik kesehatan lainnya seperti puskesmas gitu kan. Terus bisa juga melalui APBD dan dana desa yang digunakan juga untuk menyediakan daycare,” ujar Lisda.
Di lain sisi, pemerintah harus menyediakan skema pendanaan yang berkelanjutan, alias bukan hanya bantuan ad hoc saja. Karena sebenarnya seluruh daycare itu harus terjangkau dengan tetap memberi tenaga pengasuh yang profesional.
“Kalau dia tidak terjangkau, maka bebannya itu akan ditanggung oleh komunitas gitu. Padahal ini menurut saya merupakan layanan publik yang layak yang harus disediakan oleh pemerintah,” lanjut Lisda.
Pada intinya, pemerintah bukan hanya memberi bantuan, tetapi juga memastikan bahwa layanan daycare aman, bermutu dan terjangkau. Hal itu merupakan bagian dari hak dan perlindungan anak.
Akses Daycare yang Tersangkut Biaya
Akses terhadap layanan daycare memang hingga kini masih jadi tantangan. Berdasarkan survei mandiri Tirto bersama Jakpat periode April 2025, sebanyak 23,20 persen orang tua yang memilih menitipkan anak ke anggota keluarga dan dengan bantuan Pekerja Rumah Tangga (PRT), mengatakan mereka melakukannya karena tidak ada akses terhadap daycare, baik secara lokasi maupun biaya yang terlalu mahal.
Persoalan akses dan minimnya daycare ini sebelumnya disinggung dalam laporan kebijakan hasil kerja sama antara Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Perempuan dalam Pekerjaan Informal: Globalisasi dan Pengorganisasian (WIEGO).
Laporan itu menyebut, perkembangan penyedia layanan pengembangan anak usia dini lebih banyak didominasi oleh taman kanak-kanak dan kelompok bermain untuk anak-anak berusia 4–5 tahun, ketimbang pusat penitipan anak untuk bayi dan balita. Padahal, kurangnya layanan pengasuhan anak bisa menghambat perempuan untuk bekerja, di mana hal ini diungkap oleh studi Bank Dunia.
Lisda sepakat soal biaya daycare yang terlalu melambung tinggi, apalagi untuk daycare perkotaan yang dianggap memenuhi standar. Pada akhirnya, daycare hanya memenuhi kebutuhan keluarga-keluarga mampu dan tidak berlaku bagi para pekerja informal.
“Jadi akan muncul kemudian daycare komunitas yang biayanya lebih murah karena emang biayanya kalau yang dengan standar khusus memenuhi standar tertentu dia biayanya mahal gitu,” tutur Lisda.
Ia juga menyoroti soal layanan daycare yang bersinggungan dengan beberapa sektor, seperti pendidikan anak usia dini (PAUD), kesehatan, dan perlindungan anak. Sementara hingga kini Lisda memandang belum adanya satu institusi yang memegang mandat penuh untuk penyediaan layanan daycare.
“Sehingga walaupun regulasinya ada tapi implementasi dan pengawasannya menjadi sangat lemah. Terus juga mungkin juga salah satu yang membuat sulit diakses juga ya termasuk tenaga pengasuh profesionalnya yang mungkin masih belum cukup,” lanjut Lisda.
Kembali lagi, itu mengapa kerja-kerja perawatan tak bisa disepelekan. Para pengasuh harus dihargai sebagaimana mestinya dan tenaga pengasuh pun harus dilihat sebagai profesi, alih-alih kerja kerelawanan. Selain menjawab tantangan akses, pemerintah juga mesti bisa menyediakan layanan daycare yang bisa menghargai para pengasuhnya.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































