Menuju konten utama
Pengasuhan Anak

Ekspresi Spontan Anak: Nakal atau Sekadar Mirroring Orang Tua?

Isi kepala anak menyerupai spons. Segala tindakan atau ucapan orang di sekitarnya, baik atau buruk, akan diserap apa adanya dan mungkin akan ditiru.

Ekspresi Spontan Anak: Nakal atau Sekadar Mirroring Orang Tua?
Header diajeng Anak Mirroring Orang Tua. tirto.id/Quita

tirto.id - Children see, children do.

Ada yang bilang bahwa perilaku anak sejatinya adalah cerminan dari perilaku orang tuanya.

Mengutip ScienceDirect, sejumlah penelitian ilmiah mengungkap bahwa orang tua memengaruhi lebih dari 20 persen variabilitas dalam fungsi kognitif, komunikasi, dan sosial-emosional anak.

Sebagian besar variabilitas dalam pengaruh orang tua dikaitkan dengan tingkat keterlibatan mereka dalam "interaksi responsif" dengan anak-anak mereka.

Nyatanya, kepala anak-anak, utamanya yang masih berusia dini, menyerupai spons.

Mereka menyerap segala sesuatu yang berseliweran di sekitar mereka. Mau sifatnya baik atau buruk, segala hal yang mereka petik dari situ sangatlah mungkin untuk diulang dan diterapkan kembali di kesempatan lain.

Meskipun kita sudah berniat baik, anak-anak bisa jadi menirunya untuk konteks atau situasi yang kurang tepat di depan orang lain.

Mengutip artikel dari situs Michigan State University Extension pada 2014 silam, orang tua juga perlu ingat bahwa anak-anak tidak sekadar belajar dari orang-orang terdekat yang mengasuhnya sehari-hari, tetapi juga dari tayangan audiovisual yang disiarkan di televisi.

Data menunjukkan anak-anak menonton televisi rata-rata selama tiga jam dalam satu hari.

Yang menarik, penelitian lebih lanjut mengungkap bahwa hanya dalam kurun 20 detik menyaksikan siaran televisi, balita semuda usia 14 bulan sudah dapat mengulangi tindakan yang diamati dari layar kaca.

Oleh karena itu, orang tua sebagai "guru” pertama anak-anak di rumah, perlu memerhatikan betul apa saja yang sudah dilihat dan didengar anak-anak.

Selain itu, kita sebagai orang tua perlu membuat batasan terhadap "pengaruh eksternal" yang tidak sejalan dengan prinsip atau cara dalam mengasuh anak.

Ada kalanya keluarga besar seperti kakek, nenek, om, atau tante menganggap perilaku buruk anak sebagai lelucon yang bisa ditertawakan—contohnya, kentut di sembarang tempat.

Dikutip dari artikel di Parents pada 2024 lalu psikolog Emily Edlynn, PhD mengatakan orang tua perlu mengomunikasikan kekhawatiran dan batasan kepada keluarga besar tentang perilaku yang secara tidak sadar dapat ditiru oleh anak.

Orang tua tidak perlu sungkan untuk memberitahu anggota keluarga besar agar berhenti mengajarkan perilaku ke anak yang tidak sesuai dengan ajaran orang tuanya sendiri.

"Jelaskan harapan kalian dengan sangat jelas: saat berada di dekat anak kalian, mereka tidak boleh mengajarkan kata-kata kasar, kentut di hadapan nenek, dan sebagainya," ujar Edlynn.

Edlynn menambahkan, ketika keluarga besar tidak mengindahkan aturan kita sebagai orang tua, kita boleh saja membawa anak pergi dari mereka. Itulah yang menjadi konsekuensi kita yang memegang teguh prinsip dalam membesarkan anak.

Yang terpenting, tetaplah kuat dan konsisten dalam menerapkan aturan serta batasan.

Praktisi Psikologi Anak Usia Dini Aninda, S.Psi., M.Psi.T. menegaskan betapa anak-anak memang peniru ulung. Maka dari itu, sudah menjadi tugas orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai moralitas kepada anak sejak dini.

"Manfaatnya bukan hanya bagi anak dan dunia sosialnya kelak, akan tetapi juga bagi anak dan dirinya sendiri," kata Aninda.

Aninda menuturkan, salah satu caranya adalah dengan menunjukkan contoh bahwa kita adalah orang tua yang beretika, beradab, dan memiliki nilai moral.

Aninda menjabarkan tujuh nilai moralitas yang penting untuk diajarkan oleh orang tua kepada anak sedari usia dini.

Pertama adalah menumbuhkan empati dan peka terhadap sesamanya, baik secara perasaan maupun perilaku.

Kedua, kata Aninda, adalah conscience atau suara hati nurani.

"Kita membantu anak dalam memiliki inner voice sehingga anak bisa membedakan benar dan salah: 'Oh aku tidak boleh begini karena ini tidak sopan.' Inilah inner voice yang perlu diasah," jelas Aninda.

Selain itu, orang tua perlu mengajarkan anaknya tentang self-control atau kendali untuk berpikir sebelum bertindak. Nilai ini penting untuk diajarkan kepada anak agar mandiri dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan.

Keempat, anak perlu diajarkan untuk memahami nilai respek atau sikap menghargai orang lain.

Selanjutnya, nilai yang perlu ditanamkan oleh orang tua adalah kindness atau kebaikan.

"Dari hal ini, anak akan belajar untuk tidak egois dan concern (peduli) dengan orang lain," paparnya.

Selanjutnya adalah toleransi atau perilaku menghargai perbedaan yang ada dan melihat segala sesuatu dari banyak sudut pandang.

Terakhir, nilai yang bisa orang tua ajarkan adalah fairness atau keadilan.

"Boleh tidak memperlakukan orang lain seperti ini, padahal aku sendiri tidak suka diperlakukan seperti ini?" demikian Aninda menirukan kalimat yang dapat disampaikan oleh orang tua kepada anak tentang nilai keadilan.

Setiap orang tua tentu mengharapkan segala hal yang baik-baik untuk anak-anaknya.

Di penghujung hari, pertanyaan yang bisa kita ajukan kepada diri sendiri sebagai orang tua adalah sejauh mana kita mau berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak dan masa depannya.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Putri Annisa

tirto.id - Lyfe
Kontributor: Putri Annisa
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih