Menuju konten utama
Decode

Daycare Layak Masih Jadi Kemewahan bagi Pekerja

Layanan daycare anak masih minim akses dan keterjangkauan. Kurangnya layanan pengasuhan anak bisa menghambat perempuan untuk bekerja.

Daycare Layak Masih Jadi Kemewahan bagi Pekerja
Header DECODE Jalan Berliku Akses Daycare Layak bagi Masyarakat Pekerja. tirto.id/Fuad

tirto.id - Tuntutan hidup dan karir membuat orang tua saat ini mencari alternatif pengasuhan melalui layanan penitipan anak atau daycare. Pilihan untuk menitipkan anak ke daycare atau Taman Penitipan Anak (TPA) tentu disertai banyak pertimbangan yang tidak sederhana. Mencari daycare dan layanan pengasuhan anak yang ideal seakan menjadi tantangan baru bagi pasangan yang mesti bekerja sambil membesarkan si buah hati.

Sebagaimana cerita Garbi (28) asal Kota Bandung, Jawa Barat, yang menemui lika-liku saat mencari daycare yang cocok bagi anaknya. Pria yang bekerja di salah satu dinas pemerintahan daerah itu mengaku, pilihan menitipkan anak ke daycare sebetulnya bukan urutan pertama. Saat itu, anaknya hampir menginjak usia dua tahun ketika dititipkan pada tempat pengasuhan.

Garbi tentu mesti bekerja lima hari dalam sepekan, sementara istrinya saat itu, juga memiliki rencana untuk melanjutkan karir. Setelah pertimbangan matang, mereka memutuskan untuk sementara waktu menitipkan anaknya ke daycare. Garbi akhirnya memboyong keluarganya yang semula tinggal di wilayah pedalaman, menuju ke pusat kota. Dia mengaku kesulitan mencari layanan daycare atau tempat pengasuhan anak di tempat tinggal awal.

“Makanya kita pindah ke kota, waktu itu membeli rumah dan membangun rumah, karena salah satunya itu, karena istri mau kerja lagi juga,” tutur Garbi kepada wartawan Tirto, Rabu (30/4/2025).

Mulanya, Garbi dan istrinya mencoba daycare yang dikelola oleh kenalan mereka. Saat itu mereka tidak perlu membayar jasa, sebab istri Garbi dalam beberapa kesempatan turut membantu beberapa pekerjaan administratif di daycare tersebut. Sebagai gantinya, anak mereka dapat dititipkan sesekali di daycare.

Ilustrasi daycare

Ilustrasi tempat penitipan anak. FOTO/iStockphoto

Namun setelah istrinya tidak lagi mengurusi pekerjaan di daycare tersebut, pilihannya adalah meneruskan menitipkan anak mereka di sana atau mencari tempat pengasuhan lain. Garbi menilai, jika meneruskan di daycare tersebut, ia tak sanggup memenuhi biayanya. Sebulan saja, biaya layanan daycare tersebut tembus Rp2 juta lebih, itu juga sudah mendapat diskon.

Garbi dan pasangan akhirnya memutuskan hijrah ke layanan daycare lain untuk menitipkan anaknya. Meskipun dari sisi layanan, dengan harga daycare yang tembus jutaan rupiah, Garbi paham bahwa kualitas daycare memang sudah jempolan. Namun dengan penghasilannya, mereka sepakat mencari daycare yang lebih murah.

Akhirnya dipilih satu daycare yang dirasa masuk bujet bulanan mereka. Sebelum memilih, Garbi dan istrinya memastikan bahwa daycare tersebut setidaknya memiliki CCTV yang bisa diakses oleh orang tua. Selain itu, mereka memastikan terdapat kurikulum pengasuhan dan pelajaran yang jelas dari daycare tersebut.

Garbi mengaku tidak ada kendala berarti selama menitipkan buah hatinya di daycare. Hanya ia berharap jika anak-anak tengah sakit, orang tua tidak memaksakan anaknya ke daycare. Sebab, Lir, anaknya, beberapa kali tertular pilek dan batuk dari kawan-kawannya di taman penitipan anak.

Ia berharap layanan daycare atau pengasuhan anak yang layak dan sesuai standar dapat tersedia di tempat-tempat kerja. Pemangku kebijakan dalam hal ini tentunya perlu ikut ambil bagian mewujudkannya.

“Ini kan memang jadi kebutuhan ya, kebutuhan warganya gitu. Ya hadir aja harusnya, maaf, dia [pemerintah] nggak memfasilitasi gitu,” ujar Garbi.

Pengalaman menemukan daycare yang kompleks juga dirasakan Laras (34)--bukan nama sebenarnya, perempuan asal Jakarta Selatan. Saat itu, karyawan swasta ini memutuskan menitipkan anaknya ke daycare lantaran ia dan suami mesti bekerja dan tak dapat mengandalkan dukungan pengasuhan dari keluarga. Pasalnya, orang tua atau mertua mereka tinggal di luar Jakarta.

Pilihan memakai jasa pengasuh pribadi atau babysitter juga tidak diambil sebab mereka tak nyaman jika privasi di rumah diketahui orang lain. Terlebih, kala Laras mencarikan daycare bagi anaknya, Indonesia tengah dilanda pandemi COVID-19. Hal ini membuat Laras berpikir ekstra mencari daycare yang aman dan sesuai dengan standar pengasuhan.

Laras sempat memanfaatkan trial untuk menitipkan anaknya ke salah satu daycare di daerah Sudirman, namun dia tak kerasan melanjutkan sebab ada hal yang mengganjal. Pasalnya, kata dia, pengasuh di sana tak mengetahui betul keseharian aktivitas anak Laras saat sudah dititipkan di daycare itu.

“Jadi buat aku kalau dia nggak bisa jawab, berarti dia nggak tau anakku ngapain atau dia nggak particular anakku ngapain gitu,” ucap Laras kepada wartawan Tirto, Rabu (30/4/2025).

Laras memang punya kriteria daycare atau TPA tersendiri untuk anaknya. Misal tersedia akses CCTV yang bisa dipantau 24 jam oleh orang tua dan tidak memiliki titik buta. Selain itu, Laras dan suami menginginkan daycare yang memiliki kurikulum pengasuhan dan belajar yang jelas. Terpenting, daycare harus aman dan nyaman bagi anak: mulai dari toilet, tempat tidur, hingga kemungkinan terdapat barang-barang berbahaya di ruang pengasuhan.

Akhirnya Laras memilih salah satu daycare di dekat tempat tinggalnya. Selain searah dengan jalur pasangan itu bekerja, berbagai kriteria daycare layak anak terpenuhi sesuai keinginan Laras. Setiap bulan, daycare itu mematok harga Rp5 juta untuk pengasuhan lima hari dalam sepekan.

“Jadi pas aku mau masuk tuh pemiliknya juga interview aku. Jadi dia kasih questions yang menurut aku fair enough gitu. Ditanya kenapa mau masukin ke daycare, ekspektasinya apa, dia kasih beneran bagus gitu prosedurnya,” ujar Laras.

Harus Mengurus Sendiri

Terkait hal ini, Tirto bersama lembaga survei Jakpat melakukan survei untuk menangkap tren pengasuhan anak di kalangan orang tua pekerja. Riset Tirto bersama Jakpat melibatkan 1.267 responden yang telah bekerja, baik di sektor formal maupun informal. Kami lalu mengecualikan responden yang tidak memiliki anak dan memiliki anak dengan usia lebih dari 6 tahun untuk menjawab pertanyaan lanjutan terkait pola pengasuhan saat bekerja.

Secara demografi, kebanyakan responden berusia 30 - 35 tahun, menyusul setelahnya kelompok usia 26 - 29 tahun dan 20 - 25 tahun. Mayoritas dari mereka tinggal di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jakarta.

Kembali ke hasil survei. Dari 344 responden yang memiliki anak dengan usia maksimal 6 tahun, atau balita, kebanyakan orang tua memilih mengurus sendiri anak mereka bersama pasangan saat bekerja.

Persentase responden yang menjawab opsi itu hampir separuh, yakni mencapai 44,48 persen. Lebih jauh, ketika ditanya alasan lebih memilih menjaga anak sendiri, para orang tua menyebut faktor pemahaman terhadap anak adalah alasan utamanya. Mereka mengaku lebih bisa memahami anaknya dibanding orang lain.

Di samping itu, para responden orang tua juga merasa khawatir jika anaknya ditangani oleh pihak lain selain mereka. Meski demikian, sebagian responden lain menganggap bahwa membagi waktu menjaga anak bersama pasangan bukan lah sebuah masalah, sehingga hal itu tidak sulit dilakukan.

Orang tua yang berjibaku dengan urusan kerja dan pada saat yang sama harus mengawasi anak mereka tanpa bantuan orang lain memang manusia-manusia kuat. Tapi, pekerjaan ini tentu penuh dilema dan tidak lepas dari beragam tantangan.

Jajak pendapat Tirto bersama Jakpat mengungkap, mayoritas responden orang tua yang mengurus anak bersama pasangan mengaku kekurangan waktu sendiri atau me-time. Para orang tua juga bilang kalau mereka mudah merasa lelah dan merasa sering terdistraksi, sehingga kurang fokus bekerja.

Ilustrasi bekerja di rumah

Ilustrasi bekerja di rumah bersama anak. FOTO/iStockphoto

Temuan kami didukung oleh riset Wijayanto, dkk, yang dimuat dalam Jurnal Edukasi (2022). Dalam konteks ibu bekerja dengan balita berusia 1 - 3 tahun, disebutkan bahwa jika dukungan dari lingkungan minim, pekerjaan sekaligus tugas mengasuh anak dapat memicu stres dan burnout pada ibu bekerja. Kondisi ini dapat menimbulkan rasa marah, sedih, dan cemas yang berlebihan.

Kembali ke pilihan pengasuhan anak saat orang tua bekerja, preferensi lain yang juga populer selain membagi waktu bersama pasangan adalah menitipkan anak ke anggota keluarga (36,92 persen). Sementara sebanyak 14,83 persen responden lainnya mengaku mereka menggunakan jasa baby sitter atau Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Adapun pertimbangan yang paling banyak dipilih responden saat mereka ditanya soal keputusannya menitipkan anak ke anggota keluarga, baby sitter, atau PRT, adalah karena orang tua merasa lebih percaya dan aman. Anak pun disebut merasa lebih nyaman jika bersama mereka.

Masalahnya, keterbatasan akses terhadap daycare nyatanya menjadi salah satu alasan populer di balik keputusan orang tua menitipkan anak ke keluarga, baby sitter, atau PRT. Akses ini bisa berarti lokasi yang terlalu jauh, atau layanan daycare yang terlalu mahal. Hal ini sejalan dengan tipisnya proporsi responden yang diketahui menitipkan anaknya ke daycare, yakni hanya sekitar 2,91 persen dari 344 responden.

Sebaran Daycare Belum Merata

Di luar preferensi, menurut data, sebaran Taman Penitipan Anak (TPA) atau daycare di Indonesia memang bisa dibilang belum merata. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen) mencatat ada sebanyak 2.523 TPA per April 2025, di mana sebagian besar terkonsentrasi di Jawa.

Tempat Penitipan Anak

Tempat penitipan anak yang disediakan TSE A untuk karyawan. (ANTARA/HO-Dok. TSE Group)

Taman penitipan ini paling banyak dijumpai di Provinsi Jawa Tengah dengan 554 TPA, menyusul kemudian Jawa Timur (419 TPA) dan DIY (217 TPA). Sejauh ini TPA pun lebih banyak dikelola pihak swasta, dengan proporsi 98,89 persen, alias sebanyak 2.495 dari 2.523 TPA. Masih rendahnya TPA yang dikelola oleh pemerintah ini menimbulkan masalah soal biaya yang kerap kali lebih mahal.

Survei Tirto bahkan menemukan mayoritas responden orang tua yang menitipkan anak ke daycare masih mencarinya secara mandiri. Dengan kata lain, tidak ada satupun responden yang menyatakan daycare sudah menjadi fasilitas yang disediakan oleh tempat kerja mereka. Terlebih lagi, 50 persen alias setengah dari 10 responden yang menitipkan anak ke daycare beranggapan kalau biaya yang dikeluarkan tidak terjangkau alias terlalu mahal.

Persoalan akses dan minimnya daycare ini sebelumnya disinggung dalam laporan kebijakan hasil kerja sama antara Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Perempuan dalam Pekerjaan Informal: Globalisasi dan Pengorganisasian (WIEGO).

Laporan itu menyebut bahwa perkembangan penyedia layanan pengembangan anak usia dini lebih banyak didominasi oleh taman kanak-kanak dan kelompok bermain untuk anak-anak berusia 4–5 tahun, ketimbang pusat penitipan anak untuk bayi dan balita. Padahal, kurangnya layanan pengasuhan anak bisa menghambat perempuan untuk bekerja, di mana hal ini diungkap oleh studi Bank Dunia.

 Ilustrasi Nama Bayi Islam

Ilustrasi Nama Bayi Islam. foto/istockphoto

Harapan yang besar terkait daycare pun disuarakan para orang tua. Secara umum, survei Tirto bersama Jakpat menyingkap di antara responden orang tua yang memiliki maupun tidak memiliki anak, mereka kebanyakan berharap agar pemangku kepentingan bisa menindak secara tegas pihak daycare yang melanggar hak anak, memperluas akses masyarakat terhadap layanan daycare, dan mendorong disediakannya daycare yang memadai di tempat kerja.

Selain itu, para orang tua juga berharap pemerintah bisa membuat regulasi yang komprehensif terhadap bisnis jasa daycare dan memberikan akses daycare gratis yang didanai pemerintah.

Tantangan Akses Daycare Murah dan Layak

Pemerhati hak anak sekaligus Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, menilai bahwa aksesibilitas daycare atau TPA yang terjangkau dari segi harga dan ketersediaan menjadi tantangan serius di Indonesia. Terlebih, kelayakan fasilitas daycare/TPA yang saat ini eksis juga perlu terus dievaluasi oleh pemangku kebijakan agar tidak lagi terjadi kasus kekerasan terhadap anak di tempat penitipan.

“Tempat penitipan anak masih banyak di banyak itu tak sesuai standar. Dan para ibu tidak punya pilihan lain terhadap akses TPA yang standar. Jadi kadang sangat sulit memilih daycare ideal,” ujar Lisda kepada wartawan Tirto, Selasa (29/4/2025).

Lisda menyoroti beberapa kasus kekerasan anak di daycare, seperti kasus yang terjadi di kota Depok tahun lalu. Kekerasan serta pengabaian hak anak di daycare menurutnya terjadi karena keterbukaan dan pengawasan yang minim. Padahal, sering kali kasus kekerasan itu akhirnya berakhir dengan terkuaknya layanan dan fasilitas daycare yang tak sesuai standar atau bahkan tak berizin.

Lisda meminta pemerintah, sebagai pemangku kebijakan, agar lebih cermat dalam memantau layanan daycare atau TPA yang sesuai standar. Jangan sampai baru ada evaluasi usai ada kasus yang mencuat ke permukaan.

Solusi lainnya, pemerintah perlu mendorong penyediaan daycare layak anak di tempat kerja, terutama pada perusahaan swasta. Dalam hal ini, pemerintah dapat hadir untuk mengatur regulasi yang tegas dan memberikan bantuan seperti subsidi.

Ilustrasi Daycare

Ilustrasi Daycare. FOTO/istockphoto

“Saya setuju jika pemerintah bisa melakukan berperan dalam pembiayaan layanan daycare. Meskipun mungkin nggak sepenuhnya ya, karena tanggung jawab mendidik mengasuh anak kan tanggung jawab masyarakat, orang tua, dan lingkungan,” ujar Lisda.

Senada dengan Lisda, peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII), Natasya Restu Dewi Pratiwi, menilai layanan daycare/TPA mesti diperluas untuk menciptakan kesetaraan aksesibilitas pengasuhan bagi orang tua yang tidak memiliki saudara atau pengasuh pribadi saat bekerja. Tidak sekadar peningkatan dari segi jumlah, tapi disertai peningkatan kualitas daycare/TPA.

Ini agar fasilitas daycare/TPA mampu menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak. Seperti kelayakan sistem bermain, belajar, hingga asupan makanan.

“Peningkatan akses ini sangat esensial untuk meredam kebingungan orang tua yang bingung menitipkan anaknya di mana, sehingga tidak mempengaruhi produktivitas mereka dalam bekerja,” ucap Natasya kepada wartawan Tirto, Rabu (30/4/2025).

Legalitas penyediaan layanan daycare juga harus tegas dari awal. Permasalahan ini sangat urgen sebab anak yang mengalami kekerasan di daycare atau TPA amat rentan tidak dapat menjelaskan pengalaman traumatis yang mereka alami.

Tantangannya, tambah Natasya, aturan soal daycare atau TPA masih bersifat parsial dan tersebar di bawah beberapa kementerian. Harmonisasi peraturan terkait daycare menjadi krusial agar pembagian kewenangan antar sektor serta hak dan kewajiban para pihak yang terlibat menjadi jelas.

Harmonisasi dapat dimanfaatkan sebagai sarana pengintegrasian pelaporan kasus, serta upaya pencegahan dan penyediaan layanan sesuai standar. Selain itu, dapat dilakukan pemetaan daycare/TPA yang sudah memenuhi standar. Integrasi data ini harapannya dapat mendorong kebijakan yang berbasis bukti melalui analisis data yang representatif.

“Penyediaan TPA/daycare juga perlu memperhatikan sumber daya dan kapasitas lembaga terkait, agar rasional, realistis, dan tepat sasaran,” terang dia.

Daycare/TPA sendiri tergolong sebagai bentuk pendidikan anak usia dini, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 7 Permendikbud 84/2014. Pasal tersebut menerangkan bahwa TPA adalah satu bentuk satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun, dengan prioritas sejak lahir sampai dengan usia 4 tahun.

Izin penyelenggaraan program TPA harus memenuhi ketentuan pendirian satuan PAUD sebagaimana diatur di dalam Permendikbud 84/2014. Berdasarkan Pasal 19 Permendikbud 84/2014, TPA sebagai program pendidikan nonformal dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan nonformal dalam bentuk pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, atau satuan pendidikan nonformal sejenis.

Izin tersebut bisa dicabut jika hasil dari evaluasi menunjukan bahwa TPA atau daycare tidak layak.

Di bidang pemenuhan hak perempuan dan anak, terdapat PermenPPPA nomor 5 Tahun 2015 tentang Sarana Kerja Responsif Gender dan Peduli Anak di Tempat Kerja. Aturan itu juga sudah dilengkapi dengan Keputusan Kepala BSN Nomor 260/KEP/BSN/7/2024 tentang Penetapan SNI 8255:2024: TARA (Taman Asuh Ceria).

Sementara di bidang sosial, khususnya mengenai pengasuhan alternatif, turut diterbitkan PerMensos 57/HUK/2010 tentang Pendirian Taman Anak Sejahtera (TAS). Kemensos tahun 2012 melengkapi pengaturan Taman Anak Sejahtera melalui Permensos No 2 Tahun 2012.

Banyaknya regulasi yang terpisah-pisah di sektor pengasuhan anak seperti daycare/TPA ini membuat pengawasan dan tanggung jawab rawan tumpang tindih. Imbasnya, rujukan soal standar kelayakan hingga izin pendirian layanan pengasuhan anak kerap kali terabaikan. Tak heran kasus kekerasan dan pengabaian hak anak masih terus mencuat.

Pengajar Poltekesos Kementerian Sosial Bandung, Nahar, menilai memang butuh dibentuk payung hukum dalam penyelenggaraan daycare/TPA dalam bentuk regulasi yang lebih kuat. Payung hukum itu dapat mengakomodir berbagai pengaturan yang sudah ada di lingkungan Kemendikbud/Disdik, Kemensos/Dinsos, KemenPPPA, K/L hingga Pemda yang telah membentuk regulasi soal layanan penitipan dan pengasuhan anak.

Termasuk pengaturan agar perusahaan atau tempat memfasilitasi pekerja perempuan yang membutuhkan daycare di tempat kerja.

Menurutnya, pengawasan secara berjenjang sesuai tugas dan fungsi dalam izin operasional daycare/TPA dimandatkan kepada Kemensos, kementerian bidang pendidikan, KemenPPPA. Termasuk K/L dan Pemda yang telah memberikan izin pendirian.

“Kasus kekerasan di dalam di antaranya disebabkan karena pelayanan belum profesional, belum sesuai standar, dan belum dilengkapi dengan SDM dan sarana-prasarana,” kata dia kepada wartawan Tirto, Rabu (30/4/2025).

Aksesibilitas Daycare Mendukung Kesetaraan Gender

Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menyatakan mandat pengawasan daycare sebenarnya di kementerian bidang pendidikan, karena termasuk dalam pendidikan nonformal, termasuk perizinan yang melibatkan dinas pendidikan. Terkecuali, pengawasan TAS dan TARA yang memang berada dibawah Kemensos dan KemenPPPA.

Menurut Diyah, kebutuhan daycare sedikit banyak mengikuti kebutuhan parenting untuk ibu bekerja. Meskipun, kata dia, KPAI selalu menyampaikan bahwa pengasuhan terbaik adalah pengasuhan dari keluarga. Namun, adanya daycare memang mendukung karir perempuan pekerja. Maka dari itu, regulasi daycare sebaiknya melibatkan berbagai kementerian dan terintegrasi.

“Agar pengawasan bisa dilakukan oleh berbagai kementerian lembaga terkait,” ucap Diyah kepada wartawan Tirto, Rabu (30/4/2025).

Sementara itu, ahli hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, berpendapat dari kacamata ketenagakerjaan, ketersediaan aksesibilitas daycare/TPA yang memadai bisa membuka kesempatan lebih luas bagi perempuan untuk bisa kembali ke dunia kerja setelah memiliki anak. Dalam konstruksi sosial masyarakat yang masih sangat patriarkis, tanggung jawab membesarkan anak lebih banyak dibebankan kepada perempuan daripada laki-laki.

Akhirnya hal itu menyebabkan ketimpangan karena perempuan dianggap satu-satunya yang bertanggung jawab mengasuh anak.

Perempuan berjilbab menghadap laptop

Perempuan berjilbab menghadap laptop. FOTO/iStockphoto

“Sehingga hal ini berimplikasi kepada salah satunya tingkat pengangguran perempuan yang gap-nya sangat jauh dengan laki-laki. Dan salah satu hal yang bisa mengatasi ini adalah menyediakan akses daycare,” kata Nabiyla kepada wartawan Tirto, Rabu (30/4/2025).

Selain itu, tempat penitipan anak yang disediakan tempat kerja juga merupakan mandat dari Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) yang disahkan Juni 2024. Tempat penitipan anak tercantum dalam Pasal 4 dan Pasal 30 UU KIA. Sayangnya, belum ada aturan turunan yang mengatur regulasi terkait hal ini.

Persoalan lainnya, kata Nabiyla, daycare masih dianggap bukan bagian satuan pendidikan sehingga pengasuh juga tidak dianggap seperti guru formal. Juga belum ada regulasi yang jelas terkait pengasuh daycare/TPA sehingga kualitas dan standar pengasuh sendiri tidak jelas.

“Jadi ada pandangan daycare itu harus mahal untuk bisa berkualitas. Karena tidak ada subsidi dari pemerintah untuk penyelenggaraan daycare di daerahnya,” terang dia.

Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Pribudiarta Nur Sitepu, mengaku bahwa keberadaan daycare secara kuantitatif memang belum memadai dan cenderung terpusat di pulau Jawa. Salah satu kendala dalam layanan pengasuhan adalah defisit investasi bagi pengasuhan anak dibawah usia 5 tahun, dan ini berimbas pada biaya layanan pengasuhan untuk anak usia dini, yang jauh lebih tinggi dari biaya prasekolah.

Katanya, daycare yang tersedia saat ini cenderung belum memiliki standar kualitas memadai, padahal permintaan layanan berbanding lurus dengan kepercayaan orang tua menitipkan anaknya.

Tahun 2025 ini, pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Bersama, yang melibatkan 6 Kementerian, yaitu Kemendukbangga, KemenPPPA, Kemnaker, Kemenko PMK, Kemendikdasmen, dan Kemensos, terkait penyelenggaraan daycare di daerah. Termasuk untuk pendataan seluruh daycare yang ada yang menjadi tanggung jawab berbagai kementerian.

Pasalnya, kendala utama yang terjadi dalam pengawasan adalah banyaknya daycare yang didirikan tanpa legalitas atau tidak terdaftar sehingga kementerian terkait tidak memiliki data untuk dilakukan pemantauan.

“Diperlukan mekanisme koordinasi dengan berbagai kementerian terkait yang mengeluarkan perizinan untuk daycare untuk memiliki data dan mekanisme pemantauan bersama penyelenggaraan daycare yang terstandar,” pungkas Pribudiarta kepada wartawan Tirto, Rabu (30/4/2025).

Baca juga artikel terkait PENGASUHAN ANAK atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah & Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Penulis: Fina Nailur Rohmah & Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty