tirto.id - Di tengah paradigma patriarki yang masih mengakar di negara kita, ayah seringkali absen dalam keluarga, sehingga beban pengasuhan dan pendidikan kerap tak berimbang kepada perempuan.
Upaya “progresif” pemerintah untuk mendorong peran pendampingan dan pengasuhan anak kepada para ayah kemudian mencuat lewat Surat Edaran (SE) Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala BKKBN Nomor 7 Tahun 2025 tentang Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah.
Seperti tajuknya, SE yang berlaku efektif pada 14 Juli lalu itu mengimbau para Aparatur Sipil Negara (ASN), yang memiliki anak usia sekolah (PAUD-SMA), untuk mengantarkan anak ke sekolah di hari pertama.
Selain itu, seluruh ASN Kemendukbangga/BKKBN juga diharapkan bisa mengedukasi keluarga, kerabat, dan tetangga untuk berpartisipasi dalam gerakan ini. Dengan kata lain, mempromosikan gerakan mengantar anak di hari pertama sekolah kepada masyarakat luas.
“Gerakan ini bertujuan untuk memperkuat peran ayah dalam pengasuhan dan pendidikan anak sejak dini. Melalui kehadiran ayah pada momen penting tersebut, tercipta kedekatan emosional yang berpengaruh positif terhadap rasa percaya diri, kenyamanan, dan kesiapan anak dalam menjalani proses belajar,” begitu bunyi maksud dan tujuan SE dalam dokumen yang diterima Tirto, Rabu (23/7/2025).
Aturan itu turut mengutip data lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk isu anak-anak (UNICEF) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyoroti fenomena fatherless (tumbuh tanpa kehadiran ayah) di Indonesia.
Data UNICEF tahun 2021 mengungkap sebanyak 20,9 persen anak tidak memiliki figur ayah. Sementara BPS pada periode yang sama mencatat, hanya ada 31,17 persen anak usia 0 - 5 tahun yang diasuh oleh kedua orang tua.

“Ketimpangan peran ini menunjukkan kurangnya keterlibatan ayah, yang padahal berpengaruh besar terhadap perkembangan emosional, kognitif, dan sosial anak, namun peran ayah masih sering dipersempit hanya sebagai pencari nafkah, sehingga tanggung jawab pengasuhan lebih banyak dibebankan pada ibu,” tulis SE tersebut.
Tak Hanya Soal Antar Anak Sekolah
Sekilas, gerakan ini memang tampak baik. Apalagi program ini juga merupakan bagian dari Sekolah Bersama Ayah (SEBAYA), satu dari empat program implementasi Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI), selain layanan konseling (Siap Nikah dan Satyagatra), Konsorsium Penggiat dan Komunitas Ayah Teladan (Kompak Tenan), serta Desa/Kelurahan Ayah Teladan (Debat) di Kampung Keluarga Berencana (KB).
Tapi perlu diingat: mendorong kesetaraan peran pengasuhan tak bisa hanya lewat mengantar anak ke sekolah, apalagi cuman di hari pertama. Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati, menyatakan khawatir gerakan ini hanya akan jadi seremonial, yang berdampak pada peringatan hari tertentu, misalnya hari anak, hari keluarga atau hari ibu.
“Kan kompleks ya ketika kita bicara soal tumbuh kembang anak itu. Aspeknya kan hanya bukan saja misalnya diantarkan hari pertama, dan itu hari pertama lagi,” kata Mike saat dihubungi Tirto, Rabu (23/7/2025).
Menurutnya, fase tumbuh kembang anak juga mencakup bagaimana mereka di rumah dan bagaimana di sekolah. Orang tua pun tidak bisa hanya menunjang proses anak di sekolah, tetapi juga mesti bicara soal aspek lainnya, misalnya mental anak.
“Akar masalah kita di mana kesenjangan peran perempuan dan laki-laki di dalam keluarga itu memang harus diselesaikan dari banyak aspek. Tetapi jangan juga menggeneralisasikan bahwa dengan mengantarkan anak di hari pertama sekolah lalu persoalan kesenjangan pengasuhan anak atau kesetaraan dalam memikul tanggung jawab keluarga anak itu menjadi selesai,” lanjut Mike.
Tanpa memastikan semua program dalam GATI bisa terimplementasi secara beriringan, tujuan mulia soal dorongan peran ayah cuman jadi angan. Tak hanya itu, para ayah juga semestinya dilibatkan secara menyeluruh dalam program ini.

Senada dengan Mike, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII), Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, juga mengaku khawatir kalau Gerakan Sekolah Bersama Ayah hanya membuat sasaran program terlibat dalam praktik pengasuhan dalam level terbatas pada mengantar anaknya ke sekolah, yang justru rentan dengan aktivitas formalitas dan gagal menciptakan koneksi mendalam yang tercipta antara anak dan ayahnya.
Oleh karenanya, hal pertama yang perlu diperhatikan untuk mendukung implementasi program GATI adalah memastikan adanya perubahan paradigma masyarakat akan tujuan program ini, yang hadir untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak.
“Pelibatan ayah dalam GATI penting untuk tidak dilakukan secara superfisial atau simbolik saja, seperti dengan mengantar anak di hari pertama sekolah, tetapi ayah harus dilibatkan dalam implementasi GATI secara menyeluruh sejak proses perencanaan hingga evaluasi dampak agar menghasilkan manfaat nyata dan terlaksana secara berkelanjutan,” kata Natasya kepada jurnalis Tirto, Rabu (23/7/2025).
Contohnya, ayah dapat dilibatkan dalam Focus Group Discussion (FGD)/konsultasi publik lintas latar belakang ayah untuk memetakan tantangan dan kebutuhan ayah dalam pengasuhan.
Natasya bilang, hasil konsultasi ini dapat dijadikan sebagai bentuk pelibatan ayah sebagai co-creator/mitra dalam penyusunan media edukasi serta kampanye publik berbasis pengalaman ayah, evaluasi berkala GATI, dan penentuan desain pelatihan komunitas ayah yang kontekstual, serta contoh praktik nyatanya sehari-hari dalam pengasuhan anak, agar pendirian “Kompak Tenan” disertai dengan luaran aktivitas yang jelas dan membantu ayah mengatasi masalah pengasuhan.
“Selain itu, indikator dampak GATI tidak cukup hanya dengan menghitung kehadiran fisik ayah, tetapi harus mengukur mekanisme keterlibatan ayah dalam membangun koneksi mendalam secara emosional dengan anaknya,” lanjut Natasya.
Ia mencontohkan, indikator evaluasi itu bisa diperluas pada mengukur kualitas komunikasi antara ayah dan anak berdasarkan pengalaman anak serta pasangannya pasca pelaksanaan GATI. Di sisi lain, keterlibatan atau kepedulian ayah yang dirasakan anak dan pasangannya, perkembangan kondisi sosial, akademik, dan emosional anak pasca pelaksanaan GATI pun bisa dilihat.

Menurut Natasya, berbagai skema tersebut penting dilakukan agar efektivitas program GATI dapat terjamin secara partisipatif dan memegang prinsip akuntabilitas. Apalagi, aktivitas mengantar anak juga masih melibatkan ayah di tingkat permukaan, sehingga diperlukan upaya lainnya untuk menumbuhkan kesadaran serta mendorong perubahan keaktifan partisipasi ayah dalam pengasuhan dengan level koneksi yang mendalam.
Hal itu termasuk dan tidak terbatas pada membimbing anak mengerjakan tugas sekolah maupun rumah, serta menjadi orang tua yang memberi pendampingan dan nasihat.
“Tantangan yang dapat ditemukan dalam aksi ayah mengantar anak di hari pertama sekolah, yaitu sulit untuk memastikan apakah keterlibatan ayah dalam pengasuhan sudah dilakukan secara berkelanjutan di luar hari mengantar anak,” kata Natasya.
Lebih jauh ia pun menggarisbawahi soal pentingnya gerakan ini dikaji secara lebih lanjut agar implementasinya inklusif, universal, dan tidak merugikan anak yang sudah kehilangan orang tuanya, ataupun anak yang ayahnya tidak bisa hadir karena faktor pekerjaan, hingga keterbatasan akses.
“Jangan sampai upaya mendorong kehadiran ayah di hari pertama sekolah justru melahirkan pengalaman traumatis bagi kelompok anak rentan yang menimbulkan ketidaksetaraan perkembangan sosial dan emosional anak,” lanjut Natasya.
Difasilitasi dengan Sistem yang Afirmatif
Tak bisa dipungkiri, kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan terjadi karena lingkungan Indonesia yang belum mendukung. Bukan hanya konstruksi patriarki serta maskulinitas yang membuat peran ayah diidentikkan sebagai tulang punggung keluarga, Natasya bilang, beberapa kebijakan Indonesia juga belum mengarusutamakan gender.
Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan atau UU KIA misalnya, memberi alokasi cuti ayah pasca melahirkan hanya sebanyak dua hari.
“Tidak hanya itu, pemberian cuti ayah pun masih minim diberikan karena kurangnya fleksibilitas jam kerja, hingga dalih perusahaan untuk meminimalisasi penurunan produktivitas kerja. Kebijakan inilah yang makin melanggengkan siklus ketidaksetaraan peran pengasuhan dalam keluarga serta menghambat kehadiran ayah pada fase emas perkembangan anak secara bermakna,” kata Natasya.
Apabila kerangka kebijakan kita responsif gender, kebijakan ketenagakerjaan fleksibel, dan gencar melakukan upaya edukasi berbasis budaya untuk menyadarkan pentingnya kehadiran ayah dan ibu, maka hal ini akan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi ayah untuk berpartisipasi dalam pengasuhan anak.
“Oleh karena itu, kurangnya kesadaran ayah akibat bias gender yang mengakar perlu diatasi dengan penyediaan dukungan eksternal yang mendukung, seperti kebijakan, konseling untuk meyakinkan ayah bahwa mereka mampu untuk mengasuh anaknya, hingga menyediakan dukungan komunitas ayah yang dapat menjadi teman sebayanya dalam memecahkan kendala pengasuhan anak, serta ruang belajar dalam ilmu parenting,” lanjut Natasya.
Dengan kata lain, ayah tidak hanya memerlukan sekadar imbauan atau edukasi, tetapi mereka harus difasilitasi dengan sistem yang mengafirmasi kemampuan dan pentingnya peran ayah dalam pengasuhan, mulai dari penyediaan tempat kerja yang ramah keluarga, pedoman edukasi serta kebijakan yang tidak bias gender, optimalisasi kampanye publik yang menampilkan figur atau contoh ayah, hingga pelibatan psikolog anak yang dapat dijadikan panutan untuk meningkatkan kepercayaan diri ayah.
Sistem ini penting dibangun untuk mendorong perubahan perilaku ayah karena mereka memahami bahwa peran pengasuhan anak sejatinya tidak ditentukan berdasarkan gender dan mereka bisa menemani istrinya secara aktif dan bermakna dalam proses pengasuhan.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































