Menuju konten utama

Maskulinitas di Meja Kantor: Mengapa Cuti Ayah Masih Tabu?

Rendahnya implementasi penyediaan cuti ayah di perusahaan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sistemik. Apa saja?

Maskulinitas di Meja Kantor: Mengapa Cuti Ayah Masih Tabu?
Ilustrasi Ayah Menggendong Bayi. foto/istockphoto

tirto.id - Cuti ayah pasca persalinan atau paternity leave signifikan dalam membentuk peran pengasuhan yang setara. Namun, dalam praktiknya, masih banyak perusahaan yang belum memberikan opsi cuti penting ini kepada karyawannya.

Situasi itu tercermin dalam laporan teranyar Jobstreet by SEEK, bertajuk “Rekrutmen, Kompensasi, dan Tunjangan”. Dari jajak pendapat terhadap 1.273 staf rekrutmen itu terungkap, sebanyak 49 persen perusahaan sudah memiliki kebijakan paternity leave, di mana 6 persen di antaranya menyatakan baru memiliki aturan itu pada 2024.

Meski paternity leave kian mendapat perhatian di setiap perusahaan, masih ada hampir separuh, atau sekira 43 persen responden yang mengaku kalau perusahaannya tidak menyediakan dan tidak berencana menambahkan aturan ini. Sementara sisanya, sebanyak 8 persen belum menyediakan paternity leave, tapi berencana untuk menambahkan dalam 12 bulan ke depan.

Masih banyaknya perusahaan yang belum memberikan cuti ini patut dipertanyakan, di tengah sudah adanya beberapa aturan yang punya semangat mendorong peran pengasuhan ayah.

Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan yang disahkan Juni tahun lalu katakanlah, menegaskan kalau suami wajib mendampingi ibu untuk menjamin pemenuhan hak-haknya.

ilustrasi ibu melahirkan

ilustrasi ibu melahirkan. FOTO/Istockphoto

Pasal 2 UU KIA itu menyebut, suami berhak mendapatkan hak cuti pendampingan istri pada masa persalinan selama 2 hari dan dapat diberikan paling lama 3 hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan, atau saat mengalami keguguran, selama 2 hari.

Selama melaksanakan hak cuti pendampingan istri, dalam pasal 4 dikatakan, suami wajib menjaga kesehatan istri dan anak, serta memberikan gizi yang cukup dan seimbang bagi istri dan anak.

Selain itu, suami pun mesti mendukung istri dalam memberikan air susu ibu eksklusif sejak anak dilahirkan sampai dengan anak berusia 6 bulan, dan mendampingi istri dan anak dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi sesuai dengan standar.

Komnas Perempuan sebelumnya memang telah mengurai catatan kritis soal UU KIA yang disebut riskan tidak memiliki daya implementasi. Salah satunya lantaran adanya kesulitan untuk pengawasan pelaksanaan kewajiban individual ibu dan ayah.

Penambahan hak cuti pengasuhan anak yang lebih besar bagi perempuan dibandingkan dengan laki-laki juga disebut Komnas Perempuan memberikan kecenderungan untuk meneguhkan perspektif pembakuan peran domestik perempuan.

"Sebagaimana diketahui UU KIA mengatur cuti perempuan pekerja karena hamil dan melahirkan hingga 6 bulan, dari 3 bulan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sementara itu, cuti untuk suami/ayah hanya bertambah dari 2 hari menjadi mungkin ditambah tiga hari atau sesuai kesepakatan. Sementara cuti perempuan dilengkapi dengan skema penggajian, cuti bagi laki-laki menyisakan pertanyaan skema penggajiannya, karena dalam aturan UU Ketenagakerjaan hanya disebutkan 2 hari," tulis Komnas Perempuan dalam keterangannya, Jumat (6/6/2025).

Refleksi Struktur Kerja Maskulin dan Logika Neoliberal

Rendahnya implementasi penyediaan cuti ayah di perusahaan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sistemik. Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tidar, Arif Novianto, mengungkap kondisi ini sebagai refleksi dua hal: struktur kerja yang sangat maskulin dan logika ekonomi neoliberal yang menempatkan produktivitas sebagai nilai utama.

Dalam banyak perusahaan di Indonesia, terutama sektor swasta, maskulinitas kerja disebut masih sangat kuat. Hal ini terlihat ketika laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama, dan pengasuhan anak dikonstruksikan sebagai domain perempuan.

“Pada konteks itu paternity leave dianggap tak produktif karena perusahaan melihatnya sebagai momen di mana pekerja laki-laki tidak menghasilkan nilai tambah ekonomi. Maka, bukan hanya soal kurangnya kesadaran, tapi juga ada resistensi terhadap ide bahwa laki-laki bisa dan harus mengambil bagian dalam kerja reproduktif. Resistensi dilakukan terutama oleh perusahaan, yang tak ingin profitnya terancam,” ujar Arif saat dihubungi jurnalis Tirto, Kamis (3/7/2025).

Menurut dia, ini juga memperlihatkan betapa norma keluarga dan kerja di Indonesia masih sangat patriarkal, di mana tanggung jawab pengasuhan tidak dilihat sebagai kerja bersama, tetapi dibebankan sepenuhnya pada ibu.

“Bahkan ketika ada kemajuan, misal ada perusahaan yang menyediakan cuti ayah, ia masih bersifat ‘opsional’ atau simbolik, bukan bagian dari perubahan struktural cara kerja atau pembagian peran gender,” sambung Arif, yang banyak bergelut pada isu ketenagakerjaan.

Padahal, nihilnya cuti ayah pasca melahirkan berdampak besar dan berlapis. Pertama yakni mereproduksi ketimpangan gender dalam kerja reproduktif, di mana ibu atau perempuan tetap memikul beban utama perawatan anak dan pemulihan pasca melahirkan, tanpa dukungan penuh dari pasangan. Alhasil, kondisi psikis dan fisik ibu semakin berat, dan pada akhirnya berdampak pada kesehatan mental serta ketimpangan dalam relasi rumah tangga.

“Kedua, ayah kehilangan kesempatan membentuk keterikatan emosional dengan anak sejak dini, yang dampaknya pada peran jangka panjang mereka dalam berbagi pengasuhan. Jadi ketika perusahaan mengabaikan hak ini, mereka sebenarnya memproduksi ketidakhadiran ayah dalam proses pengasuhan secara sistematis,” ujar Arif.

Ilustrasi Seorang Ayah Menggendong Anaknya

Ilustrasi seorang ayah menggendong anaknya. Getty Images/iStockphoto

Lebih jauh, tidak adanya paternity leave juga mencerminkan bagaimana negara dan pasar tak sungguh-sungguh mengakui kerja reproduktif sebagai kerja penting bagi keberlangsungan masyarakat.

Kebijakan paternity leave yang minim atau sekadar simbolik memperlihatkan bahwa kerja pengasuhan dianggap "beban privat", bukan persoalan publik. Ini sangat ironis ketika ekonomi bahkan tidak akan berjalan tanpa regenerasi tenaga kerja yang sehat secara fisik, mental, dan sosial, yang justru bertumpu pada kerja pengasuhan.

“Dari perspektif politik kebijakan, ini juga menunjukkan bahwa regulasi ketenagakerjaan di Indonesia masih sangat berpihak pada kepentingan kapital, bukan keseimbangan antara kehidupan kerja dan keluarga,” lanjut Arif.

Hal itu membuktikan kalau dampak absennya ayah dalam pengasuhan punya dampak yang tak main-main. Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII), Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, bahkan menyebut kalau hal ini berisiko memperburuk pemulihan fisik, mental, dan sosial ibu pasca persalinan yang dapat menyebabkan baby blues (perasaan sedih atau cemas pasca melahirkan).

“Hal ini juga makin merugikan kesejahteraan ibu saat melakukan pengasuhan. Dampaknya menjadi akumulatif lintas waktu dan juga semakin merugikan hak anak untuk mendapatkan pengasuhan yang optimal di masa perkembangan emasnya,” ujar Natasya kepada Tirto, Kamis (3/7/2025).

Senada dengan Arif, ia menyebut, minimnya kesadaran akan cuti ayah dan singkatnya durasi cuti pun makin melanggengkan dominasi beban pengasuhan pada perempuan yang juga multi burden, yang dinormalisasi dan dianggap wajar di lingkungan keluarga maupun masyarakat.

“Lebih jauh, kondisi ini juga dapat berdampak pada kesehatan mental dan burn out yang dihadapi perempuan baik sebagai ibu maupun sebagai istri. Rendahnya implementasi paternity leave secara langsung maupun tidak langsung juga dapat menghambat perkembangan perempuan dalam aktualisasi dirinya, terlebih ketika semua urusan domestik rumah tangga diserahkan kepadanya dan tanpa bantuan dari suami maupun keluarga ataupun pekerja rumah tangga,” kata Natasya.

Perlu Edukasi dan Konseling

Perusahaan perlu menerapkan normalisasi cuti ayah di tempat kerja dengan menyelipkan pemberian edukasi dan konseling bagi segenap karyawannya. Upaya itu penting dilakukan agar mereka memahami hak dan kewajiban perusahaan, serta merasa didukung untuk mengambil cuti ayah dan mendapatkan kemudahan persetujuan cuti.

Untuk itu, menurut Natasya, perusahaan perlu memastikan akses informasi pengambilan cuti ayah yang jelas dan sadar akan pentingnya memberikan paternity leave sebagai hak pekerja.

“Hal ini juga menunjukkan apresiasi perusahaan terhadap pekerjanya dan harapan perusahaan agar hak ini dapat dimanfaatkan sebaiknya dan menjadi insentif yang sehat untuk well being pekerja, sehingga ketika kembali akan membuat mereka lebih bersemangat bekerja,” ujarnya.

Hal ini bisa mendorong pembagian peran pengasuhan secara adil dengan pasangan, utamanya pascakelahiran. Akan tetapi, upaya ini pun mesti disokong oleh pemerintah terutama melalui kolaborasi antar kementerian dalam mengaktualisasikan program Gerakan Ayah Teladan Indonesia dengan membentuk Konsorsium Komunitas Ayah Teladan (KOMPAK TENAN) di instansi tempat kerja.

“Harapannya, dengan adanya KOMPAK TENAN di lingkungan kerja, sasaran dapat terpapar informasi mengenai cara mendampingi tumbuh kembang anaknya secara optimal, menormalisasikan cuti ayah, sekaligus mendapatkan dukungan dari rekan kerjanya,” lanjut Natasya.

Keberadaan konsorsium seperti ini dikatakan Natasya bisa dibuat dalam bentuk yang cair dan organik di antara rekan kerja, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai wadah atau paguyuban di kantor. Tujuannya yakni untuk saling berbagi informasi dan mendukung satu sama lain, terkait pengasuhan anak dan pembagian peran dalam keluarga.

Pemerintah pun harus segera merevisi persoalan paternity leave dalam regulasi, dengan menyediakan jatah cuti yang lebih memadai untuk mendukung kesetaraan gender dan mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak, serta melahirkan regulasi yang ramah keluarga dan peka gender.

“Apalagi mempertimbangkan pentingnya peran kedua orang tua dalam pengasuhan anak sejak dini. Meskipun ILO tidak merilis standar rigid durasi cuti ayah, ILO sudah menyarankan bahwa minimal cuti ayah diberikan selama 1-2 minggu dengan tetap memberikan uang saku secara layak,” kata Natasya.

Yang tak kalah penting yakni memastikan mekanisme penerapan dan penegakan hukum dari kebijakan terkait, agar efektif, tepat sasaran, serta berdampak. Natasya mendorong pemerintah untuk melakukan konsultasi tripartite demi mewujudkan kebijakan yang partisipatif, inklusif, relevan, dan kontekstual.

Baca juga artikel terkait CUTI AYAH atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang