Menuju konten utama

Tak Sekadar Pengasuhan, Ada Manfaat Triliunan di Balik Cuti Ayah

Berdasarkan studi, cuti ayah terbukti mampu mendongkrak perekonomian hingga 1 persen dari PDB. Belum lagi manfaat sosial seperti kepuasan hidup.

Tak Sekadar Pengasuhan, Ada Manfaat Triliunan di Balik Cuti Ayah
Header INSIDER Urgensitas Cuti Ayah. tirto.id/Fuad

tirto.id - Bagi saya, cuti ayah bukan hanya tentang istirahat dari sebuah pekerjaan. Melainkan, tentang mereka yang berada di rumah untuk membantu sang istri merawat bayi baru lahir.

Cuti ayah merupakan konsep baru yang muncul dengan tujuan awal untuk menepis paradigma bahwa perempuan (ibu) bertanggung jawab tunggal dalam mengurus anak. Meskipun sempat dipandang sebelah mata, konsep ini akhirnya menjadi hal umum, yang mencerminkan revolusi pandangan mengenai peran seorang ayah.

Di Indonesia, beleid cuti ayah sejatinya sudah diatur bersama dengan aturan cuti melahirkan, yakni dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 82, 84 dan 153 menjelaskan mengenai cuti melahirkan dan keguguran, juga pasal 93 ayat (2) huruf b dan ayat (4) huruf e bagi cuti pendampingan suami dari istri yang melahirkan atau keguguran.

Dalam aturan tersebut, hak cuti melahirkan untuk istri selama 3 bulan dan 1,5 bulan untuk keguguran, yang keduanya harus diupah penuh dan tidak boleh menjadi alasan pemutusan hubungan kerja.

Sementara bagi suami, cuti pendampingan adalah sebanyak 2 hari diupah penuh, dan jika lebih dari itu maka memotong jatah cuti tahunan.

Belum lama, urgensi untuk mengevaluasi jumlah cuti ayah menguak setelah insiden penerbangan maskapai Batik Air, di mana pilot dan kopilotnya tertidur selama 28 menit. Hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), menyebut, kopilot kelelahan karena sebelum bertugas mengurus dua anak kembarnya yang berusia satu bulan di rumah.

Kejadian ini memicu perlunya pembaruan aturan mengenai cuti ayah. Pasalnya, meski sudah diatur di dalam Undang-Undang, penerapan kebijakan cuti ayah berbeda-beda di setiap perusahaan. Ada yang mengizinkan lebih dari ketentuan, namun ada juga yang tak memperbolehkan.

Pemerintah saat ini tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai aturan pelaksana dari UU Nomor 20/2023 tentang ASN. Salah satu poin diatur adalah hak cuti pendampingan bagi ASN pria yang istrinya melahirkan. RPP tersebut ditargetkan tuntas maksimal April 2024.

“Cuti mendampingi istri yang melahirkan itu menjadi hak ASN pria yang diatur dan dijamin oleh negara,” ujar Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas seusai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, Rabu (13/0/2024).

Anas mengatakan, hak cuti bagi karyawan pria yang istrinya melahirkan, atau biasa disebut “cuti ayah”, sudah jamak diberlakukan di sejumlah negara dan perusahaan multinasional. Waktu cuti yang diberikan bervariasi, berkisar 15 hari, 30 hari, 40 hari, hingga 60 hari.

“Untuk waktu lama cutinya sedang dibahas bersama stakeholder terkait yang akan diatur secara teknis di PP dan Peraturan Kepala BKN,” ujar dia.

Cuti Ayah di Berbagai Negara

Di berbagai negara, cuti ayah memang sudah banyak diterapkan dengan durasi cuti dan bayaran yang beragam. Negara di wilayah Eropa menjadi acuan penerapan kebijakan ini, dengan Swedia sebagai negara yang pertama kali memperkenalkan cuti ayah di tahun 1974.

Pada awal pengenalannya, kebanyakan pekerja pria tidak mengambil cuti ini yang akhirnya dimanfaatkan oleh pekerja perempuan untuk memperpanjang jatah cuti melahirkan mereka. Berbagai pendekatan dilakukan, sampai akhirnya Norwegia menerapkan kebijakan kuota cuti ayah.

Sistem kuota ini hanya mengizinkan ayah yang memanfaatkan hak tersebut dan tidak boleh ditransfer ke pasangannya. Kemudian, jika dalam kurun waktu yang ditentutkan kuota cuti ayah tidak digunakan, maka akan hangus. Alhasil, jumlah pekerja pria yang menggunakan cuti ini meningkat signifikan.

Pada 2019, Uni Eropa kemudian mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan negara anggotanya untuk memberikan setidaknya 2 bulan cuti ayah yang wajib digunakan pada 1 tahun pertama sejak bayi lahir. Namun, tidak ada kewajiban pemberian jumlah gaji 100 persen selama periode tersebut.

Swedia sebagai pionir, kini memberikan akses cuti 240 hari kepada ayah dengan tingkat pembayaran gaji yang fleksibel, yakni mulai dari 80 persen total gaji rutin karyawan. Sementara itu Norwegia menyediakan 12 bulan kuota cuti ayah sebelum anak berusia 3 tahun.

Uniknya jumlah pembayaran bergantung dari jumlah minggu yang diambil. Jika diambil 49 minggu, maka akan dibayarkan 100 persen gaji. Tetapi jika mengambil izin hingga 59 minggu hanya dibayarkan 80 persen gaji. Gaji tersebut dibayarkan oleh pemerintah.

Lain halnya dengan Lituania yang hanya menawarkan total cuti ayah selama 30 hari dengan tingkat pembayaran gaji sekitar 78 persen. Namun, orang tua akan mendapat cuti tambahan hingga 36 bulan sebagai bentuk tunjangan untuk membesarkan anak. Pada periode ini orang tua akan tetap mendapat gaji dengan nilai yang disesuaikan.

Dari grafik di atas terlihat bahwa Korea Selatan menyediakan jumlah cuti ayah terpanjang. Namun, fakta di lapangan mencatat tidak sampai 1 dari 4 ayah yang mengambil manfaat ini. Mayoritas yang mengambil pun adalah pegawai negeri karena mereka memiliki tanggung jawab untuk mengimplementasikan kebijakan yang ada.

Fenomena yang sama juga terlihat di Jepang, di mana hanya sekitar 15 persen pekerja pria yang mengambil cuti ayah. Rendahnya jumlah partisipasi tersebut tidak lepas dari tekanan budaya kerja dan masyarakat.

Budaya kerja di kedua negara Asia Timur tersebut sering kali mendiskreditkan pekerja pria yang mengambil cuti ayah. Belum lagi kekhawatiran dan ketakutan akan potensi karirnya hancur dan berbagai tekanan dari masyarakat bahwa laki-laki adalah tulang punggung keluarga yang wajib mencari nafkah.

Sisi Positif

Banyaknya negara yang akhirnya memberikan cuti ayah tentunya telah mempertimbangkan sisi positif kebijakan ini. Dalam laporan yang berjudul “Pregnant Then Srcrewd,” sebuah pusat kebijakan di Inggris menyebut bahwa cuti ayah dapat mendongkrak perekonomian.

Hasil studi mencatat bahwa cuti ayah dengan periode yang lebih lama dan bayaran yang lebih baik akan menghasilkan peningkatan hingga 23 miliar Euro pada perekonomian Inggris atau sekitar Rp391 triliun (asumsi kurs Rp17.000/Euro). Capaian tersebut setara dengan 1 persen Produk Domestik Bruto Negeri Ratu Elizabeth.

Selain manfaat ekonomi, tentu juga meningkatkan kehadiran ayah dalam membesarkan anak. Kehadiran tersebut akan membawa dampak positif pada interaksi sosial, perilaku dan psikologis anak. Bahkan dapat meningkatkan performa di sekolah

Keuntungan lainnya adalah adanya peningkatan kepuasan hidup baik bagi ayah maupun ibu. Lalu, beban pengasuhan anak usia dini terbagi lebih merata antara perempuan dan laki-laki. Ketika ayah cuti, ibu dapat kembali ke pasar tenaga kerja lebih awal.

Kembalinya ibu lebih cepat ke pasar tenaga kerja berkontribusi pada pengurangan kesenjangan gender. Pasalnya, pendapatan para ibu turun drastis setelah kelahiran anak dan tetap rendah pada tahun-tahun berikutnya. Sementara pendapatan para ayah hampir tidak terpengaruh.

Reaksi Pengusaha

Terlepas dari manfaat ekonominya, pengusaha tentunya perlu meluangkan waktu dan uang untuk karyawan mengambil cuti dalam waktu lama. Hal ini mengingat, di Indonesia pembayaran cuti ayah menjadi tanggungan perusahaan, bukan dibayarkan pemerintah seperti di Swedia atau Norwegia.

"Jadi memang kebijakan ini jangan terlalu terburu-buru ditetapkan ya," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang, kepada Tirto.

Dunia usaha berharap sebelum kebijakan itu ditetapkan, perlu melalui proses dialog panjang. Karena sejatinya bisnis atau ekonomi kita terdiri dari berbagai sektor. Mulai dari jasa, pariwisata, transportasi, ritel, perdagangan, perbankan, teknologi manufaktur, UMKM dan lain-lain.

"Jadi cukup banyak. Artinya aspirasi dari pelaku usaha ini sangat sangat strategis untuk didengarkan," imbuh dia.

Sarman juga mempertanyakan apakah kebijakan cuti ayah saat istri melahirkan yang maksimal 40 hari ini relevan dengan kondisi ketenagakerjaan kita saat ini? Karena faktanya tingkat produktivitas tenaga kerja RI disebutnya masih di bawah rata-rata negara ASEAN.

Diketahui, berdasarkan analisa ILO (International Labour Organization), tingkat produktivitas pekerja Indonesia di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.

"Kita berharap kebijakan ini jangan sampai menurunkan produktivitas daripada dunia usaha kita. Kalau menurunkan produktivitas berarti kan menurunkan berbagai target target kinerja yang ditetapkan dalam hal ini. Sehingga memang perlu masukan masukan yang komperhensif," kata dia.

Oleh karena itu, menurutnya perlu ada suatu pembahasan lebih detail. Sehingga nantinya Undang-Undang ini bisa diterima semua pihak dapat dijalankan secara efektif. Dan paling penting tidak mengurangi produktivitas dan tentu tidak membebani daripada pelaku usaha.

Akan tetapi, kekhawatiran dunia usaha di Indonesia tidak berlaku di negara luar. Aviva contohnya, telah menjadi salah satu perusahaan pertama di Inggris yang menawarkan kebijakan cuti orang tua yang setara. Ini berarti bahwa semua orang tua baru yang memenuhi syarat di Inggris dapat mengambil cuti selama 12 bulan, dengan enam bulan dibayarkan gaji pokok penuh.

Sementara itu, Zurich International UK dan Mastercard menawarkan cuti berbayar hingga 16 minggu bagi karyawan yang memenuhi syarat. Kebijakan ini juga berlaku bagi mereka yang mengadopsi anak.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Insider
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas