tirto.id -
Saya tertarik membuka dengan sebuah deskripsi parfum desainer kelas dunia, Bvlgari Magnifying Patchouli, yang ditulis dari laman resminya. Produsen kelas atas seperti Bvlgari saja mempercayai nilam Indonesia, hingga menjadikannya sebagai salah satu kreasinya yang bernilai jutaan rupiah untuk sebuah cairan parfum.
Minyak nilam atau yang dikenal sebagai patchouli oil adalah minyak dengan aroma khas yang cukup sensual karena memancarkan sentuhan lembut, kekayuan dan ada sensasi pedas yang memberikan efek kesegaran. Keunikan aromanya menjadikan minyak atsiri ini sebagai salah satu bahan campuran penting dalam industri parfum dan kosmetik.
Popularitas nilam di Tanah Air, tidak dapat disangkal lagi. Indonesia, dengan sejarah panjang telah menjadi pemimpin dalam produksi minyak nilam. Dari Aceh hingga Sulawesi, berbagai varietas nilam seperti Tapak Tuan, Sidikalang, Lhoksumawe, dan Pachoulline 1 dan 2 telah menjadi andalan.
Menurut buku Statistik Perkebunan Indonesia 2021-2023, luas areal nilam pada 2023 diproyeksi mencapai 20.344 hektare yang dibudidaya oleh perkebunan rakyat (PR). Dari kapasitas lahan tersebut, Indonesia mampu memproduksi sebanyak 3.066 ton per tahun.
Kinerja produktivitas minyak nilam menunjukkan tren peningkatan dalam lima tahun terakhir. Meskipun luas areal komoditas ini cenderung stagnan di kisaran 20-21 ribu hektare. Akan tetapi, produksinya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Jika melihat dari sebaran wilayahnya, provinsi di Pulau Sumatera menjadi sentra produksi nilam utama Ibu Pertiwi. Meskipun memang provinsi Sulawesi Tenggara (Sulteng) menjadi daerah dengan tingkat produksi tertinggi mencapai 991 ton dari luas lahan 6.222 hektare (ha) dengan jumlah petani 8.096 orang.
Namun, jika diliat dari sisi produktivitas, Sumatera Utara (Sumut) unggul karena mampu memproduksi 386 ton dari luas lahan 969 hektare dengan total petani 1.902. Sumut memiliki level produktivitas 409 kg/ha, sedangkan Sulteng hanya 237 kg/ha.
Jika dilihat dari capaian produksi yang tidak mencapai jutaan ton, mungkin banyak pihak yang menyangsikan kontribusi komoditas nilam Indonesia. Akan tetapi siapa sangka, Ibu Pertiwi adalah pemasok utama patchouli oil dunia dengan kontribusi hingga 90 persen.
Lebih lanjut, minyak nilam adalah pemain kunci komoditas ekspor minyak atsiri Indonesia. Meskipun terdapat lebih dari 40 tipe minyak atsiri yang dapat diproduksi oleh tanaman yang tumbuh di dalam negeri.
Prospek Cerah
Dengan potensi tersebut, prospek ekspor minyak nilam kita ke depan masih cukup cerah. Terutama karena permintaan global yang tinggi akan parfum dan kosmetik.
Selain itu, permintaan juga didorong oleh lonjakan penggunaan produk herbal. Masyarakat dunia mulai memahami manfaat kesehatan yang terkandung dalam minyak atsiri tersebur.
Minyak nilam diketahui dapat membantu mengatasi masalah pernapasan, mengobati inflamasi, bantu mempercepatan penyembuhan luka. Kemudian, minyak ini juga memiliki sensasi yang menenangkan pikiran.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat kenaikan pada permintaan ekspor minyak nilam, meskipun pertumbuhannya memang cenderung fluktuatif. Negara tujuan utama ekspor minyak nilam Tanah Air adalah India, Perancis, Singapura, Spanyol dan Amerika Serikat.
Tren positif atas pertumbuhan permintaan ke depannya mendorong pertumbuhan petani yang mulai terjun pada budidaya tumbuhan nilam. Tercatat pada tahun 2023, jumlah petani nilam mencapai 34.947 orang dari sebelumnya (2022) sebanyak 32.744 orang.
“Sehingga kita ini mengharapkan sekali dengan adanya usaha nilam ini. Karena kami melihat nilam ini sangat menjanjikan sebenarnya kalau kita lihat daripada hasil nilam yang ada,”ujar Wahban, salah satu pengolah minyak nilam di Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Menurut analisis terbaru Future Market Insights (FMI), industri minyak nilam diperkirakan akan mencapai 101,4 juta dolar AS pada akhir 2033, dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 3 persen. Dalam pertumbuhan jangka pendek (2022-2025), pasar diperkirakan akan mencapai 75,3 juta dolar AS pada 2025.
FMI menganalisa meningkatnya penggunaan minyak nilam karena sifat anti-jamur, anti-inflamasi, antidepresan, dan pereda nyeri, serta banyak khasiat lainnya. Manfaat tersebut diperkirakan akan memberikan dampak positif pada peningkatan penjualan minyak atsiri ini.
Permintaan yang tinggi ini, membuat harga minyak nilam pada akhir tahun 2023 sempat mencapai level yang menggiurkan, yakni 57 dolar AS atau setara Rp889.200 per kg (asumsi Rp15.600 per dolar AS). Bahkan minyak nilam kristal dengan kandungan patchouli 98-100 persen dapat mencapai harga yang fantastis.
Namun, perlu diingat bahwa harga minyak nilam di pasar internasional sangat dipengaruhi oleh faktor permintaan dan kondisi ekonomi global.
Berebut Pasar Eropa
Meskipun berstatus sebagai produsen minyak nilam nomor satu di dunia, Indonesia belum mampu menguasai pasar Eropa. Padahal negara-negara Eropa seperti Prancis, Jerman, Inggris, Belanda, Spanyol dan Swiss menawarkan peluang terbaik bagi pemasok minyak atsiri khususnya nilam dengan harga yang premium.
Studi dari CBI mencatat Perancis sejauh ini merupakan importir terbesar minyak atsiri dari wilayah Eropa. Posisi terdepan ini telah dipegangnya setidaknya selama lima tahun terakhir. Ekspor ke Prancis dalam kategori ini melebihi nilai 253 juta Euro pada tahun 2021, dan total volumenya sekitar 4.400 ton.
Indonesia menjadi salah satu negara pemasok utama minyak atsiri bagi Perancis dengan kontribusi sebesar 10 persen. Disusul oleh India (9 persen), Tiongkok (8 persen), Spanyol (8 persen) dan Turki (6 persen).
Dilihat dari kontribusinya, CBI menyebut bahwa persentase tersebut relative rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing negara pemasok menempati ceruk tertentu dengan hanya menawarkan sedikit minyak atsiri, bukan dalam jumlah yang banyak.
Kemudian, Jerman menjadi importir minyak atsiri terbesar kedua di Eropa. Impornya pada 2021 bernilai 130 juta Euro dengan total volume 3.300 ton. Pemasok utamanya adalah Prancis (21 persen), Tiongkok (15 persen), Amerika Serikat (11 persen).
Tiga negara pertama tersebut bahkan menyumbang hampir 50 persen impor. Hal ini menunjukkan bahwa struktur rantai pasokan Jerman sangat berbeda dengan Prancis.
Lebih lanjut, studi dari CBI menggarisbawahi bahwa Indonesia jarang menempati posisi sebagai pemasok utama minyak atsiri. Meskipun Ibu Pertiwi merupakan produsen utama minyak nilam. Kebanyakan negara-negara Eropa yang memimpin di pangsa impor essential oils mendatangkan kebutuhannya dari Perancis, Amerika Serikat dan China.
Melihat gambaran data ini, maka sudah semestinya Indonesia ke depan bisa meningkatkan produksi nilam. Setelahnya dapat merebut pasar-pasar Eropa yang cukup potensial.
Pemerintah juga tidak boleh menutup mata melihat peran komoditi nilam dan hasil olahannya yang sedemikian besar bagi negara dan petani khususnya. Komoditas ini tetap harus didukung dalam suatu perencanaan yang menyeluruh, terpadu dan sinergis baik janga pendek, menengah, maupun jangka panjang.
Editor: Dwi Ayuningtyas