tirto.id - Cengkeh menjadi komoditas paling berharga di Indonesia dibandingkan emas pada zaman penjajahan dulu. Ketika Konstantinopel runtuh pada 1453, jalur perdagangan rempah dari Asia Selatan terputus. Kondisi itu, membuat harga cengkeh meroket dan mendatangkan keuntungan hingga 400 persen.
Sejak saat itu, hingga sekarang, cengkeh masih menjadi primadona di pasar dunia. Ukuran pasar cengkeh diproyeksikan mencapai 5,80 miliar dolar AS pada 2024. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 6,95 miliar dolar AS pada 2029, atau tumbuh dengan rata-rata kenaikan sebesar 3,70 persen selama periode perkiraan (2024-2029).
Salah satu pendorong utama pasar ini, lantaran banyak manfaat kesehatan dalam cengkeh. Rempah ini diketahui memiliki kandungan antioksidan dan antikanker, meningkatkan kesehatan tulang, membunuh bakteri, hingga mengontrol gula darah.
Di Indonesia, tanaman asal Kepulauan Maluku itu, lebih sering dijadikan sebagai rempah untuk makanan dan minuman. Komoditas ini juga dimanfaatkan oleh industri rokok sebagai bahan baku campuran tembakau atau perasa (flavor), utamanya untuk rokok kretek.
Pemanfaatan cengkeh tidak sebatas hanya untuk kebutuhan dalam negeri saja. Cengkeh juga menjadi salah satu penyumbang ekspor nasional, khususnya di sektor pertanian.
Alhasil, tidak heran, bahwa Indonesia saat ini tercatat sebagai negara eksportir urutan pertama untuk cengkeh dengan kode HS 09072000 (cengkeh utuh, bunga dan batang ditumbuk atau dihancurkan). India dan negara Jazirah Arab menjadi pelanggan utama.
Nusantara juga menempati eksportir urutan ketiga untuk cengkeh HS 09071000 (cengkeh utuh, bunga dan batang tidak ditumbuk tidak dihancurkan).
Gemilangnya kinerja ekspor tidak lepas dari posisi Indonesia sebagai negara produsen cengkeh terbesar di dunia. Berdasarkan data FAOSTAT, tiga negara penghasil cengkeh terbesar dunia adalah Indonesia, Madagaskar, dan Tanzania.
Jumlah produksi cengkeh Indonesia di 2021 mencapai 137,6 ribu ton dengan pangsa pasar sebanyak 73,10 persen. Sementara Madagaskar berada di urutan kedua dengan memproduksi sekitar 24,3 ribu ton, dan Tanzania yang berada di urutan ketiga produksinya masih di bawah 10 ribu ton.
Ironi Raja Cengkeh
Meskipun merajai produksi cengkeh, Indonesia ternyata masih belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Tingginya kebutuhan cengkeh tersebut membawa Ibu Pertiwi menjadi negara importir terbesar di dunia.
Besarnya permintaan dalam negeri mendongkrak peningkatan impor yang menekan neraca perdagangan. Pada tahun 2022 komoditas cengkeh bahkan membukukan defisit mencapai 165,94 juta dolar AS.
Kemudian, pada tahun 2023, meski terdapat penurunan, nilai defisit neraca perdagangannya masih tergolong tinggi, yakni 117 juta dolar AS. Madagaskar dan Tanzania menjadi negara yang langganan menyokong kebutuhan impor cengkeh Tanah Air.
Jika ditelusuri lebih dalam, tampaknya salah satu faktor yang menyebabkan tingginya nilai impor adalah permintaan kebutuhan cengkeh untuk industri rokok. Perlu diketahui, merujuk data Outlook Cengkeh 2022, sebanyak 80-90 persen cengkeh dipergunakan untuk konsumsi dan industri rokok kretek.
Bunga cengkeh merupakan bahan campuran yang biasa digunakan untuk rokok kretek. Tangkainya juga banyak dipakai dalam rokok kretek yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan rokok kecil.
Fungsi cengkeh dalam rokok kretek di samping memberikan aroma khas cengkeh, ada rasa panas dan sifat mengkretek.
Lebih lanjut, dari komposisinya, rokok kretek di Indonesia [rokok tanpa filter yang terbuat dari tembakau, cengkeh, dan rasa lainnya] menggunakan lebih dari 120 juta ton cengkeh setiap tahunnya. Bisa dibilang, Indonesia merupakan pengguna cengkeh terbesar di dunia.
Dibandingkan dengan India, yang notabene merupakan konsumen terbesar kedua di dunia, diketahui hanya mengkonsumsi 26 juta ton. Dari sini bisa terlihat perbedaan kuantitas yang dikonsumsi antara konsumen terbesar satu dan konsumen terbesar kedua. Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang mengkonsumsi cengkeh dalam jumlah sebanyak itu.
Tingginya permintaan industri rokok terhadap cengkeh sejalan dengan peningkatan kebutuhan konsumsi rokok di Tanah Air. Data terbaru dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang dikonfirmasi oleh World of Statistics, mencatat bahwa persentase jumlah perokok pria di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia.
Bahkan, dalam satu dekade terakhir, jumlah perokok dewasa di Indonesia meningkat sebanyak 8,8 juta orang, mencapai angka 69,1 juta pada tahun 2021.
Selain kebutuhan untuk industri rokok, cengkeh juga dibutuhkan dalam industri makanan. Komoditas ini digunakan dalam bentuk bubuk atau produk hasil ekstraksi dari bunga cengkeh seperti minyak cengkeh atau oleoresin.
Meski tidak sebesar kebutuhan industri rokok, penggunaan cengkeh rata-rata sebagai penambah cita rasa dalam makanan adalah 0,236 persen bubuk cengkeh. Sedangkan untuk minuman beralkohol 0,06 persen minyak tangkai cengkeh atau 0,078 persen oleoresin cengkeh.
Kendala Produksi
Produksi cengkeh dalam negeri sejatinya masih bisa ditingkatkan. Meskipun menempati posisi produsen terbesar, tapi dari sisi produktivitas berada di urutan ketujuh dengan tingkat produksi 2,33kg/hektare.
Negara dengan produktivitas cengkeh tertinggi disandang oleh China dengan tingkat produksi 12,39kg/hektare. Padahal, produksi cengkeh tahunan Tiongkok tidak sampai 1 persen, jumlah produksi tahunan Ibu Pertiwi.
Rendahnya produktivitas cengkeh, tampaknya karena mayoritas cengkeh yang diproduksi berasal dari perkebunan rakyat (PR). Tercatat pada kurun waktu 1980-2022, sekitar 97,68 persen cengkeh berasal dari perkebunan rakyat, perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS) masing-masing hanya 0,53 persen dan 1,79 persen.
Seperti diketahui, terdapat berbagai kendala optimisasi produksi jika budidaya tanaman didominasi oleh perkebunan rakyat. Misal, minimnya penerapan teknologi dan lahan yang kecil.
Dalam analisanya, World Bank menyebut bahwa budidaya cengkeh hanya menjadi bagian kecil dari aktivitas ekonomi para petaninya. Sangat jarang ditemukan petani yang penuh mencurahkan waktunya untuk budidaya rempah satu ini.
Melansir reportase Earth Journalism, peneliti menyebut bahwa kurang optimalnya produktivitas cengkeh karena praktik budidaya yang kurang tepat. Petani tidak menggunakan benih dan pupuk bersertifikat. Kemudian penataan dan jarak tanam juga tidak teratur.
Alasan utama mengapa petani cengkeh lokal tidak menerapkan metode tanam yang baik adalah karena mereka hanya mengikuti praktik yang telah diwariskan leluhur terdahulu. Terlebih lagi cengkeh dianggap sebagai tanaman yang tidak perlu dipantau secara reguler. Jadi kebanyakan lahannya terletak jauh dari rumah petani.
Kondisi ini diperparah dengan pola cuaca yang tak menentu. Apalagi cengkeh termasuk jenis rempah yang sensitif terhadap perubahan cuaca.
Kini, hasil panen cengkeh tahunan tak lagi pasti. Sebelumnya, petani dapat memperoleh penghasilan hingga puluhan juta rupiah, tapi belakangan mereka bahkan kesulitan untuk mampu menutupi biaya produksi.
Pemerintah Indonesia sejatinya sudah berupaya untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Pada tahun 2021, Kementerian Pertanian (Kementan) melakukan perluasan, rehabilitasi dan intensifikasi terhadap 25.530 hektare lahan. Kementan juga menyediakan subsidi benih unggul bagi petani.
Namun, hal ini dirasa belum cukup untuk menggenjot produksi cengkeh. Studi oleh Antik Suprihanti berjudul “Analysis of Clove Agroindustry in Indonesia as an Alternative Green Industry” menyebut kebijakan yang ada hanya berfokus bagaimana memenuhi kebutuhan cengkeh untuk industri rokok. Bukan, untuk perkembangan nilai tambah komdoditas itu sendiri.
Dari penjabaran tersebut terlihat bahwa, pemerintah harus membenahi kebijakan hilirisasi komoditas cengkeh. Komoditas ini memiliki nilai tambah dan kegunaan luar biasa terutama di bidang kesehatan. Semestinya produksi cengkeh tidak hanya difokuskan untuk memenuhi kebutuhan industri rokok kretek.
Editor: Dwi Ayuningtyas