tirto.id - Sedari dulu Indonesia dikenal sebagai negara ‘nyiur melambai’. Istilah itu menggambarkan begitu banyak pohon kelapa yang tumbuh subur di negeri kita. Maka tidak heran, apabila Ibu Pertiwi saat ini dijuluki sebagai produsen kelapa terbesar di dunia.
Menurut data Statista, Indonesia adalah produsen kelapa terkemuka di dunia dengan produksi sekitar 17,19 juta metrik ton pada 2022. Diikuti oleh Filipina dengan menyumbang sekitar 14,93 juta metrik ton volume produksi global.
Buah kelapa memang identik memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Selain airnya dan dagingnya yang berguna bagi kesehatan, batok atau tempurungnya ternyata juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Di Indonesia, batok kelapa atau tempurung umumnya dijadikan sebagai bahan baku mentah untuk diolah menjadi arang. Arang atau ‘emas hitam’ itu, memberikan nilai tambah dan memiliki potensi ekspor yang cukup besar.
Pada beberapa tahun terakhir, permintaan arang kelapa menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bukan hanya karena harganya yang lebih murah, tapi produk arang ini juga menawarkan kesitimewaan tersendiri.
Arang batok kelapa menghasilkan kadar panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan briket batu bara atau pun briket dari tanaman bakau. Hasil pembakaran arang dari batok kelapa juga mengeluarkan asap yang lebih sedikit, sehingga lebih aman dan ramah lingkungan.
Kemudian, karena arang ini dihasilkan dari limbah kelapa alami dengan pasokan berlimpah, sehingga memiliki unsur keberlanjutan. Alhasil, produk briket batok kelapa laris manis di negara-negara yang penduduknya memiliki kekhawatiran atas isu lingkungan, seperti masyarakat di wilayah Eropa.
Terkait penggunaannya, sama seperti arang batu bara, arang kelapa umumnya digunakan untuk bahan bakar memasak. Tetapi, di Timur Tengah produk ini digunakan untuk bahan bakar rokok pipa sisha. Selain itu arang kelapa juga digunakan sebagai bahan baku untuk pembangkit listrik dan turbin.
Arang batok kelapa juga mengandung kadar karbon aktif yang cukup besar, di mana kandungan ini umumnya dimanfaatkan untuk kebutuhan sanitasi air, penambangan emas, hingga kandungan produk kosmetik.
Potensi Permintaan Global
Mempertimbangkan berbagai manfaat dan kelebihannya, wajar saja jika pangsa pasar arang kelapa terus tumbuh tiap tahunnya. Cognitive Market Research menganalisa bahwa permintaan pasar komoditas ini akan mencatatkan rerata pertumbuhan tahunan 4,3 persen, selama periode 2024-2031.
Permintaan utama datang dari kebutuhan arang kelapa sebagai bahan bakar makanan, utamanya barbeque. Meningkatnya aktivitas di luar dan berbagai pertumbuhan makanan yang dimasak di atas api terbuka mendorong popularitas penggunaan arang.
Arang kelapa juga populer karena semakin banyak orang yang sadar atas isu lingkungan dan mencari opsi bahan bakar untuk memasak yang lebih ramah lingkungan.
Selain itu, penggunaan arang untuk bahan bakar metalurgi juga menjamin permintaan untuk beberapa tahun ke depan. Hal ini mengingat pelaku industri juga mulai mencari alternatif bahan bakar yang ramah lingkungan.
Lebih lanjut, Cognitive Market Research menyebut kawasan Asia Pasifik merupakan wilayah yang mencatatkan kenaikan penjualan arang kelapa paling signifikan. Peningkatan penjualan di wilayah ini ditopang oleh kebutuhan arang kelapa sebagai bahan bakar industri dan proses penyulingan air.
Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor arang kelapa pada 2023 mencapai 175,36 juta dolar AS. Meskipun sempat berfluktuatif, namun dalam satu dekade terakhir komoditas satu ini mampu menunjukkan rerata pertumbuhan tahunan positif untuk nilai ekspor di level 11 persen.
Akan tetapi, jika dilihat kinerja dari sisi volume, maka pencapaiannya cenderung menurun. Pada 2023, volume arang kelapa yang diekspor sebanyak 191,3 ribu ton. Padahal di tahun 2018 volume ekspornya sempat menyentuh 200,2 ribu ton.
Sementara itu, negara-negara yang menjadi pelanggan utama ekspor arang kelapa Indonesia adalah Iraq, Arab Saudi, Turki, Uni Emirat Arab, Yordania, dan China.
Kendala Dihadapi Indonesia
Hanya saja di balik kemilau potensi pasar arang secara global, para produsen masih dihadapkan pada berbagai hambatan, utamanya kendala pasokan bahan baku. Produsen kelapa kini harus menghadapi penurunan produksi buah tahunan.
Studi berjudul “Improving the Value of the Coconut with Biotechnology” menyebutkan bahwa secara global, sekitar 50–70 persen dari pohon kelapa yang dibudidayakan negara-negara produsen saat ini telah melewati usia puncak produksinya. Dengan kata lain tingkat produktivitasnya sudah menurun.
Perlu diketahui, berdasarkan analisa siklus hidupnya, produksi buah kelapa akan mencatatkan penurunan setelah berumur 35 tahun. Degradasi ini disebabkan karena berkurangnya kemampuan pohon kelapa untuk menyerap nutrisi dari tanah.
Selain itu, akumulasi kerusakan pada biota alam dan imbas cuaca ekstrem (kekeringan, badai, angin topan) juga berdampak pada sistem regenerasi pohon kelapa.
Lalu dari sisi sumber daya manusia, terdapat kendala pada akses para petani kelapa terhadap benih, pupuk dan bahan tanam kualitas unggul lainnya. Selain itu, kebanyakan budidaya kelapa adalah sistem petani rakyat yang kurang mengadopsi teknologi modern.
Kondisi ini telah mengakibatkan penurunan signifikan dalam total luas tanam dan menimbulkan ancaman serius bagi masa depan dari industri kelapa.
Selain ketersediaan bahan baku dan penurunan penurunan produksi, persoalan lainnya terkait dengan ekspor. Para petani kelapa memiliki kecenderungan menjual hasil budidaya dalam kondisi kelapa utuh, sehingga porsi yang diolah untuk pangsa ekspor arang kurang.
Menurut Himpunan Pengusaha Briket Arang Kelapa Indonesia (HIPBAKI), ekspor butir kelapa utuh yang berlebihan ke luar negeri menyebabkan kesulitan bahan baku untuk produksi briket. Ini menyebabkan limbah tempurung kelapa yang menjadi bahan baku utama produksi briket menjadi langka. Alhasil, produksi briket tidak berjalan sesuai permintaan.
Kemudian, berdasarkan studi Komisi IV DRP RI, dari sisi pengiriman, perusahaan jasa (shipping company) sangat jarang yang bersedia mengangkut briket arang. Mereka memberikan persyaratan yang sulit atau menolak tanpa alasan yang jelas. Alhasil, terjadi penumpukan produk briket di pergudangan pabrik.
"Briket arang Indonesia itu primadona karena kualitasnya sangat baik. Permintaan importir juga tinggi. Tapi lagi-lagi kami terkendala oleh persoalan logistik,” kata Wakil Ketua Pengusaha Arang Briket Nusantara Indonesia Raya (PABNIR), Diah Tristani, dilansir Antara.
Potensi produksi arang kelapa di Indonesia, dianalisa dapat menghasilkan devisa negara mencapai Rp6,8 triliun per tahun. Harga arang kelapa Rp6.000 per kg, sementara hasil olahan berupa briket arang kelapa dapat dijual hingga Rp14.000 per kg.
Jika memasuki pasar ekspor briket arang dapat mencapai 1.300 dolar AS per ton atau setara Rp18.590 per kg dengan asumsi nilai tukar Rp14.300/USD.
Dari sini, maka kita melihat sejatinya Indonesia berpotensi untuk merebut pasar-pasar global dan menjadi bisa pemain dunia untuk arang. Hanya saja, kendala-kendala di atas harus menjadi perhatian lebih pemerintah untuk bisa meningkatkan produksi kelapa, mengatasi masalah logistik, dan persyaratan yang mudah.
Editor: Dwi Ayuningtyas