tirto.id - Memiliki bisnis sendiri atau berwirausaha menjadi idaman banyak orang. Ada yang memulai berbisnis sejak masih duduk di bangku sekolah, masih jadi karyawan atau menjelang pensiun. Pilihan waktunya bisa berbeda-beda, namun kesamaannya adalah berbisnis membutuhkan keberanian.
Sebuah studi menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia termasuk yang paling berani untuk memulai bisnis. Berdasarkan laporanGlobal Entrepreneurship Monitor 2022/2023 Global Report, sebanyak 87,2% responden asal Indonesia menyatakan mereka melihat peluang bagus untuk memulai bisnis di lingkungannya. Kemudian dari yang melihat peluang itu, sebanyak 64,2% berani untuk memulainya.
Tingkat kepercayaan diri itu menempatkan Indonesia di urutan ke-2 dari 49 negara, hanya kalah dari Arab Saudi. Sekitar 89,5% responden dari Arab Saudi melihat peluang berbisnis, tetapi hanya 37,7% yang berani memulainya.
Lebih lanjut, studi yang sama tidak hanya menggaris bawahi keunggulan masyarakat Indonesia dari sisi keberanian memulai bisnis. Pada 2022, Ibu Pertiwi menempati peringkat ke-7 dari sisi Indeks Konteks Kewirausahaan Nasional (National Entrepreneurship Contect Index/NECI).
NECI mencoba menciptakan analisa yang dapat mengukur di mana wilayah yang paling baik untuk memulai bisnis. Dari hasil analisa tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa negara-negara dengan pendapatan ekonomi yang tinggi tidak menjamin tersedianya lingkungan yang mendukung untuk berwirausaha.
Memanfaatkan Momentum dan Peluang
Selain punya keberanian, momentum berbisnis juga beragam. Eva Suzanna, pengusaha kerajinan tangan etnik dari Lampung ini tertarik berbisnis setelah melihat tetangganya di kampung pandai menyulam tapis atau kain tenun khas Lampung.
“Saya lihat produknya bagus. Lalu, saya kasih kain dan minta dibuatkan. Ternyata banyak yang suka dan memesan,” kata Eva yang saat itu masih berstatus karyawan di perusahaan swasta.
Melihat peluang itu, Eva memutuskan untuk belajar menyulam dan mengandeng para pengrajin tapis di kampungnya untuk memproduksi berbagai kerajinan etnik handmade. Di tangan kreatifnya, kain tapis ini bisa menjadi tas, dompet, baju luaran (outer), gantungan kunci, kotak tisu, masker, dan selendang. Produk dengan merek Bunqee Craft ini menyasar anak muda.
Produknya banyak dicari sebab memiliki kekhasan, yaitu terlihat eksklusif, karena satu desain hanya untuk satu produk. Eva juga melayani permintaan dengan desain khusus sesuai keinginan konsumen (custom). Salah satu acuan Eva untuk mencari inspirasi ide-ide kreatif desainnya adalah aplikasi media sosial Pinterest.
Melihat bisnisnya semakin berkembang, Eva akhirnya memutuskan untuk keluar kerja dan fokus berbisnis. Dengan berbisnis, Eva mengaku bisa membagi waktu untuk keluarga sekaligus punya penghasilan yang lebih besar. Meski menolak menyebutkan angka pastinya, dia mengatakan omzet rata-rata bisa lebih dari 50 juta rupiah per bulan.
Ke depan, sarjana ekonomi dari Universitas Bandar Lampung ini ingin mengembangkan pemasarannya dengan membuat etalase toko digital, baik melalui marketplace atau website. Saat ini, dia masih mencari asisten yang berkompeten di pemasaran online.
Membangun bisnis memang membutuhkan ketekunan dan kegigihan. UMKM yang dimotori para perempuan diakui sangat tangguh. Terbukti, jumlah UMKM Perempuan mencapai 64,5% dari total UMKM di Indonesia. Dari jumlah tersebut, yang masuk kategori usaha mikro (52%), usaha kecil (56%), dan usaha menengah (34%).
Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM yang dipaparkan saat Rakernas Pemberdayaan Perempuan UMKM Indonesia (PPUMI) di Bogor, Jawa Barat pada 1-3 November 2023, UMKM Perempuan mayoritas bergerak di sektor makanan, dan pakaian. Di masa pandemi, UMKM Perempuan juga tercatat memiliki ketahanan yang lebih baik dibandingkan UMKM Pria.
Berisiko Tapi Pasti Bermanfaat
Berwirausaha memang pilihan karir yang berisiko. Bisa gagal atau bangkrut jika kita tidak paham dengan bisnis. Meski berisiko, peluangnya untuk memberi manfaat bagi penciptaan lapangan kerja dan kemajuan perekonomian negara sangat besar. Rasio wirausaha di negara maju, rata-rata mencapai 10-12%. Sedangkan di Indonesia, rasio kewirausahaan nasional saat ini baru mencapai 3,47%, merujuk Antara.
Profesor William Sahlman dari Harvard Business School dalam kursus online Entrepreneurship Essentials mengatakan, sebesar 50 persen dari perusahaan rintisan (start up) bertahan dalam lima tahun, dan hanya 25 persen yang bertahan selama 15 tahun.
“Untuk setiap Amazon.com atau Uber, ada sejumlah perusahaan yang hanya sedikit orang yang mampu mengingatnya,” kata dia dikutip dari laman Harvard Business. Artinya, banyak perusahaan yang bangkrut atau bisnisnya tidak mampu berkompetisi di pasaran.
Jadi apa yang membedakan usaha yang sukses dengan usaha yang gagal?
Menurut Sahlman, ketika perusahaan berhasil, berarti dia telah menemukan cara menciptakan dan menangkap nilai pelanggan. Sebab itu, jika baru menjajagi kewirausahaan atau dalam tahap awal peluncuran usaha, pengusaha penting belajar dari orang lain. Hal tersebut untuk menghindari kesalahan umum dan mengetahui keputusan mana yang berdampak pada kelangsungan hidup perusahaan.
Sebaliknya, usaha gagal karena pengusaha tidak mampu menemukan cara menciptakan, dan menangkap keinginan dari target pasarnya.
Salah satu wirausahawan yang bisa menjadi contoh sukses adalah Adi Dassler, pemilik Perusahaan Sepatu Adidas. Dassler memulai usahanya dengan sederhana, yaitu dari kamar mandi ibunya di sebuah kota kecil di Bavaria, Jerman. Dari kamar mandi itu, Dessler mulai membuat sepatu olahraga terbaik untuk para atlet.
Meskipun pesaingnya banyak, Dessler berkomitmen menjadi yang terdepan dengan cara meminta saran dan kritik dari pembeli. Dia mengumpulkan masukan dari para atlet tentang apa yang mereka cari dari sebuah sepatu, kelemahan apa yang bisa diperbaiki, dan bagaimana pendapatnya dengan model awal sepatu Adidas.
Umpan balik dari konsumen itu membuat Dessler mampu membuat sepatu yang dihargai oleh pelanggannya. Visi Dassler membuat sepatu terbaik itu terbukti di tahun 1954 ketika tim sepak bola nasional Jerman memenangkan final Piala Dunia melawan Hungaria, dengan mengenakan sepatu Adidas model terbaru.
Sejak saat itu, Adidas telah berkembang menjadi merek internasional yang terkenal dengan desain pakaian atletik berkualitas tinggi. Kisah Dessler ini mengungkapkan betapa pentingnya mendengarkan masukan pelanggan.
Sahlman mengatakan, seseorang tidak perlu berotak jenius yang kreatif untuk sukses. Setiap orang dapat menemukan peluang, menarik sumber daya yang diperlukan dan membangun tim untuk menghadirkan produk dan layanan yang sukses kepada pelanggan.
Menurut dia, kemampuan dan kecerdasan dalam kewirausahaan dapat dicapai melalui usaha yang disebut pola pikir growth mindset (pola pikir berkembang). Seseorang dengan pola pikir berkembang memandang kecerdasan, kemampuan, dan bakat sebagai hal yang dapat dipelajari dan mampu ditingkatkan melalui usaha.
Di sisi lain, individu dengan pola pikir tetap (fixed mindset) memandang sifat-sifat tersebut sebagai sifat yang stabil dan tidak dapat diubah seiring dengan berjalannya waktu.
Pola pikir berkembang tersebut sangat penting bagi wirausahawan. Menurut Harvard Business Review, empat cara pola pikir berkembang ini dapat membantu wirausahawan saat meluncurkan produk dan mengembangkan bisnis.
Pertama, memungkinkan Anda pindah ke bisnis baru. Ketika Anda memiliki pola pikir berkembang, masa lalu Anda tidak menentukan masa depan Anda. Ini bisa menjadi modal jika Anda memiliki keahlian dan pengalaman di bidang lain dan ingin menekuni wirausaha.
Kedua, menumbuhkan ketahanan. Kapasitas untuk pulih dan melewati situasi sulit sangat penting dalam dunia kewirausahaan. Ketika tantangan, kemunduran, dan kegagalan pasti muncul, kelangsungan bisnis Anda bergantung pada kemampuan Anda untuk bertahan dan belajar dari situasi sulit.
Seseorang yang punya pola pikir berkembang tidak mudah menyerah oleh kesulitan. Dia punya mental yang kuat dan optimisme untuk melewati semua tantangan.
Ketiga, memungkinkan Anda mengulangi produk. Proses terus menerus dalam menguji sebuah ide, belajar dari hasil, dan mengulangi produk hanya mungkin dilakukan dengan pola pikir berkembang. Pengusaha dengan pola pikir berkembang akan menerima umpan balik negatif dan kritik membangun sebagai sarana untuk meningkatkan penawaran produk mereka.
Keempat, membuat Anda tetap rendah hati. Pola pikir berkembang terus menerus mengingatkan Anda bahwa banyak hal yang masih harus dipelajari. Sehingga, Anda tetap rendah hati sepanjang perjalanan kewirausahaan Anda. Dunia bisnis sangat dinamis dan menuntut perusahaan terus berinovasi agar tetap bertahan di tengah persaingan bisnis yang ketat.
Editor: Dwi Ayuningtyas