tirto.id - Kartu Prakerja menjadi sebercak harapan bagi banyak calon pekerja ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) pertama kali mengusulkan program ini dalam kampanye pemilu presiden pada 2019. Insentif uang yang dipadukan dengan pelatihan terdengar menggiurkan bagi lulusan SMA atau SMK yang ingin memasuki dunia kerja.
Faktanya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa lulusan setingkat SMK dan SMA berkontribusi paling banyak terhadap pengangguran setiap tahunnya selama 5 tahun terakhir. Ironisnya, SMK seharusnya mempersiapkan murid-muridnya agar siap bekerja setelah mereka lulus.
Pemerintah pun akhirnya meluncurkan Kartu Prakerja pada 11 April 2020. Perbedaannya, program ini kini fokus pula kepada pekerja yang terdampak pandemi COVID-19. Program Kartu Prakerja telah membuka sebanyak 22 gelombang dan menjaring penerima lebih dari 11,4 juta orang sejak pelaksanaannya, mengutip situs resminya.
Berubahnya "wajah" Kartu Prakerja dilatarbelakangi hantaman pandemi terhadap ekonomi di Indonesia, sehingga tingkat pengangguran terbuka (TPT) melonjak naik. Menurut BPS, TPT pada Agustus 2020 sebesar 7,07 persen merupakan TPT tertinggi sejak 2011. TPT ini pun menurun pada Agustus 2021 sebesar 6,49 persen, meskipun masih relatif tinggi jika dibandingkan dengan TPT selama 10 tahun terakhir.
Dari awal, program ini tak pernah sepi kritik. Indonesia Corruption Watch, misalnya, mengkritik kurang efisiennya kartu-kartu "sakti" Jokowi seperti Kartu Prakerja. Ini juga bercermin dari pengalaman Kartu Indonesia Pintar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menilai program ini sarat konflik kepentingan dan rawan diselewengkan, mengutip laporanTirto pada 2020.
Di balik kritik tersebut, menurut survei terbaru bagaimana sebenarnya dampak kartu Prakerja terhadap penerima manfaatnya sejauh ini? Apa saja rencana pemerintah terkait Prakerja, dan apa saja yang menjadi catatan penting untuk keberlangsungan program ini guna menjawab kebutuhan dunia kerja di masa depan?
Dampak Positif Prakerja?
Survei Abdul Latif Jameel Povery Action Lab (J-PAL) terhadap 47 ribu responden pada Agustus-Oktober 2021 menunjukkan, Kartu Prakerja meningkatkan kemungkinan sebesar 8 persen bagi penerimanya untuk memiliki pekerjaan atau memiliki usaha jika dibandingkan dengan pendaftar yang memenuhi syarat tetapi tidak menerima program.
Vivi Alatas, salah satu peneliti dalam studi tersebut, kepada Tirto, Rabu (19/01/2022), menggarisbawahi dampak Kartu Prakerja terhadap kepemilikan usaha ini. Sebab, survei ini menandakan bahwa Kartu Prakerja telah mendorong keberanian seseorang untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dilakukannya.
Ia merujuk pula kepada hasil survei yang menunjukkan bahwa penerima program memiliki kemungkinan jauh lebih tinggi (172 persen) untuk menggunakan sertifikat dalam mencari pekerjaan. Artinya, sertifikasi Kartu Prakerja mendorong pesertanya untuk menunjukkan peningkatan kemampuan di luar pendidikan formalnya dalam pasar kerja.
“Harapannya, ini memicu orang untuk lebih menambahkan skill-nya [...] dan menggunakan itu [sertifikat] sebagai mekanisme untuk menunjukkan bahwa dia sudah memiliki tambahan-tambahan skill-skill yang diperlukan,” ungkap Vivi yang juga merupakan CEO perusahaan konsultan dan teknologi edukasi Asakreativita ini.
Temuan ini kontras dengan persepsi masyarakat sebelumnya. Vivi merujuk survei Bank Dunia pada 2016 yang mencatat bahwa pekerja maupun perusahaan masih belum menganggap pelatihan sebagai suatu hal yang penting, meskipun ada sebagian yang sudah merasakan manfaatnya. Ini terjadi karena kurangnya lembaga pelatihan dan perusahaan yang menyediakan pelatihan dan desakan untuk mengikuti pelatihan.
Lebih lanjut, survei tersebut mencatat di antara temuan lainnya bahwa Kartu Prakerja meningkatkan pendapatan dari semua pekerjaan sekitar Rp 122.500 per bulan. Program ini juga menaikkan penggunaan internet di tempat kerja, penggunaan dompet elektronik (e-wallet), serta meningkatkan keamanan keuangan (financial security) bagi penerimanya.
Masih Akan Dilanjutkan?
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyebut dalam konferensi daring pada 1 Desember 2021, bahwa pemerintah akan melanjutkan Kartu Prakerja pada 2022 dengan anggaran sebesar Rp11 triliun. Angka ini, menurut rincian Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang paling terakhir, sekitar 4,3 persen dari anggaran perlindungan sosial (perlinsos) di 2022 yang sebesar Rp251,6 triliun.
Menurut Kementerian Keuangan, proporsi dan jumlah anggaran Kartu Prakerja ini turun dari Rp21 triliun pada 2021 atau 7,5 persen dari anggaran perlinsos sebesar Rp280,6 triliun pada tahun tersebut. Angka tahun ini juga lebih rendah dari Rp20 triliun pada 2020 atau sekitar 6,7 persen dari anggaran perlinsos sebesar Rp295,5 triliun pada periode tersebut.
Terlepas dari penurunan tersebut, Febrio mengatakan bahwa kebijakan pemberian Kartu Prakerja diarahkan untuk mendorong peningkatan keterampilan yang dibutuhkan, terutama dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 dan teknologi digital. Industri 4.0 merupakan istilah yang sering digaungkan Jokowi untuk menjelaskan integrasi antara dunia online dan lini produksi dalam sektor industri.
“Seringkali para pekerja kesulitan mendapatkan pekerjaan dikarenakan kompetensi yang diperoleh dari lembaga pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Untuk menjembatani ini, pemerintah berupaya memberikan keterampilan bagi angkatan kerja kita sehingga labor market akan menjadi lebih sehat dan lebih fleksibel,” ungkap Febrio dalam konferensi daring.
Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari dalam konferensi daring yang sama pun mengaku lega atas hasil positif dari Studi JPAL ini. “Penelitian dapat dijadikan bukti bagi skeptisme terhadap Kartu Prakerja. Apalagi, ini merupakan studi yang dilakukan secara independen, bukan atas biaya dari Manajemen Prakerja,” tegasnya.
Sementara itu, tenaga Ahli Utama Deputi Perekonomian Kantor Staf Presiden Edy Priyono dalam konferensi daring yang sama mengingatkan bahwa Kartu Prakerja berperan dalam sisi supply atau pasokan ketenagakerjaan, sedangkan dari sisi demand atau penyerapan tenaga kerja untuk penyediaan lapangan pekerjaan menjadi tujuan lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja.
“Namun harus diingat, jangan semua dibebankan pada Kartu Prakerja. Program ini bukan menggantikan sisi pendidikan formal. Pelatihan dalam Program Kartu Prakerja adalah pelengkap pendidikan formal serta pelatihan-pelatihan lain yang sudah ada,” kata Edy.
Tanggapan Serikat Pekerja?
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) kepada Tirto, Rabu (19/01/2022), menyambut baik dan mendukung program Kartu Prakerja. Meski begitu, KSPI masih menemukan sejumlah masalah dalam implementasinya.
Pertama, terkait penggabungan segmen sasaran. Kelompok fresh graduate atau lulusan SMA sebaiknya dibedakan dengan kelompok yang kehilangan pekerjaan akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) lantaran perbedaan kebutuhan. Artinya, apabila kelangsungan program Kartu Prakerja tidak tepat sasaran, KSPI khawatir masyarakat hanya memanfaatkan uang saku, utamanya bagi kelompok fresh graduate.
“Harusnya fresh graduate diutamakan di upgrade skill. Misal [untuk] fresh graduate pelatihan Rp700.000, cash money Rp300.000. [Sementara] orang yang di-PHK membutuhkan jaminan pengangguran, karena mereka pasti punya keluarga, butuh cash money untuk biaya hidup, setelah itu baru upgrade skill,” tukas Presiden KSPI Said Iqbal.
Selanjutnya, masalah yang menjadi catatan KSPI adalah pihak pengelola. Said menyayangkan Ruang Guru menjadi pengelola program Kartu Prakerja. Ruang Guru merupakan aplikasi belajar online yang sebelumnya resmi mundur dari program Kartu Prakerja setelah CEO Ruangguru Belva Devara melepaskan jabatan staf khusus milenial Presiden Jokowi untuk menghindari tudingan konflik kepentingan.
Padahal, Kementerian Ketenagakerjaan bisa saja bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menciptakan program menyerupai Ruang Guru.
“Dari situ, andaikan operator [penyelenggara]nya banyak terus membentuk model [program] seperti Ruang Guru, ini udah menyerap tenaga kerja,” timpal Said.
Catatan Ke Depan?
Vivi mengatakan bahwa Indonesia perlu terus beradaptasi agar Kartu Prakerja ke depannya mendorong kemauan belajar melalui pelatihan. Harapannya, masyarakat akan terus meningkatkan keterampilannya setelah melalui program ini, sementara perusahaan-perusahaan mau melatih pekerjanya atas biayanya sendiri.
Ia juga menekankan pentingnya meningkatkan jumlah lembaga penyedia pelatihan di Indonesia yang beragam dan berkualitas untuk menciptakan kompetisi. Kompetisi ini yang akan menjaga kualitas para penyedia pelatihan ke depannya.
“Mau tidak mau, kebutuhan ke depan akan terus berubah. Adaptasi yang harus dilakukan, apa kebutuhan skill yang perlu dilakukan, akan terus berubah. Itu kita perlu mendorong agar Prakerja ke arah itu,” jelas Vivi.
Ia pun menegaskan bahwa Indonesia secara umum perlu akreditasi kualitas penyedia pelatihan. Pelatihannya pun harus berbasis kompetensi yang diperlukan untuk pekerjaan-pekerjaan yang dicari para peserta pelatihan dengan sertifikasi yang terstandarisasi.
Selain itu, Indonesia juga perlu memastikan pendanaan untuk pelatihan dan magang, melakukan reformasi pendidikan tinggi yang mendorong kemampuan beradaptasi, dan mempromosikan lifelong learning (belajar sepanjang hayat) untuk menciptakan sistem peningkatan keterampilan yang modern, ungkap Vivi.
Editor: Nuran Wibisono