Menuju konten utama

Banyak Kartu Tak Efisien, Kok Jokowi Janjikan "Kartu Sakti" Baru?

Tiga kartu baru yang dijanjikan Jokowi bakal menambah panjang daftar kartu-kartu “sakti” yang telah ia terbitkan sebelumnya.

Banyak Kartu Tak Efisien, Kok Jokowi Janjikan
Capres nomor urut 01 Joko Widodo menyampaikan pidato pada acara Konvensi Rakyat di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Minggu (24/2/2019). Konvensi Rakyat itu mengangkat tema optimis Indonesia maju. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo tampaknya belum mau menanggalkan jurus “Kartu Sakti” sebagai janji kampanye, pada Pilpres 2019. Padahal, selama empat tahun pemerintahan Jokowi, tercatat sudah ada 5 kartu yang ia keluarkan.

Beberapa di antaranya adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Beras Sejahtera (Rastra), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).

“Semua hal tersebut tidaklah cukup. Saya ingin melakukan lebih banyak lagi untuk kesejahteraan rakyat,” kata Jokowi di hadapan para pendukungnya, di Sentul International Convention Center, Bogor, Minggu malam, 24 Februari 2019.

Sang petahana kini menjanjikan tiga kartu baru, yaitu: Kartu Sembako Murah, KIP Kuliah, dan Kartu Pra-Pekerja. Tujuannya antara lain untuk menjamin pendidikan masyarakat miskin hingga perguruan tinggi, pelatihan kepada lulusan SMK hingga keterjangkauan harga kebutuhan pokok masyarakat.

Tentu, tiga kartu yang dijanjikan itu bakal menambah panjang daftar kartu-kartu “sakti” yang telah ia terbitkan sebelumnya. Namun, yang lebih penting dikritisi, menurut hasil survei Indonesia Corruption Watch, adalah kurang efisiennya kartu-kartu tersebut.

Hal ini dapat terbaca dari hasil survei terhadap implementasi Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang dilakukan ICW pada pertengahan 2018 lalu.

Jika dilihat lebih detail, maka permasalahan yang muncul dalam program “kartu sakti” Jokowi memang berada di kementerian teknis. Masalah pada implementasi KIP, misalnya, adalah akurasi data yang masih bermasalah.

“Data yang dipakai adalah data kemiskinan hasil survei BPS, kemudian masuk komite nasional percepatan penanggulangan kemiskinan ke Kemensos, baru Kemendikbud,” kata staf divisi Investigasi ICW Lais Abid saat dihubungi reporter Tirto, Senin (25/2/2019).

Menurut Lais, permasalahan data seharusnya sudah selesai dalam empat tahun pemerintahan Jokowi. Sehingga, efisiensi distribusi bantuan bisa dilakukan dengan mengintegrasikan kartu-kartu yang telah ada ke dalam satu kartu.

Sebab, kata Lais, persyaratan beberapa kartu yang dikeluarkan pemerintah saling beririsan, yakni memiliki Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), sebagai penanda keluarga kurang mampu.

Di sisi lain, rencana integrasi dalam satu kartu dan penyaluran nontunai ini bertujuan agar penyaluran dana bantuan sosial dapat lebih transparan, terkontrol, dan tepat sasaran. Karena itu, akan sangat efektif bila kepala keluarga hanya memegang satu kartu, tapi memiliki banyak fungsi.

“Makanya Kemensos harus segera menuntaskan perbaikan data ini. Baru setelah datanya benar mau digabungkan tentu akan lebih baik,” kata Lais.

Masalah inefisiensi dalam kartu-kartu Jokowi ini juga disinggung Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati secara tak langsung. Ia mengatakan, program bantuan berbasis kartu yang telah dijalankan pemerintah di sektor pendidikan bisa diintegrasikan.

Sehingga, kartu-kartu baru, seperti KIP Kuliah dan Kartu Pra Kerja tak perlu dipisahkan dari Kartu Indonesia Pintar (KIP) serta bisa diintegrasikan dengan dana Bidik Misi hingga dana pengembangan pendidikan nasional yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Sri Mulyani juga menyarankan agar program integrasi kartu-kartu tersebut perlu diiringi oleh evaluasi secara menyeluruh. Sehingga, kata dia, anggaran yang selama ini tersebar di berbagai program juga bisa terkonsolidasi dan lebih akuntabel.

“Ini bisa didesain integrasinya yang menurut saya merupakan suatu langkah yang bagus dan akan lebih baik dampaknya,” ujar Sri Mulyani saat ditemui di kantor BPJS Kesehatan, Senin (25/2/2019).

Perlu Pembenahan

Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji setuju dengan rencana Jokowi membuat program KIP Kuliah. Kendati demikian, Ubaid memberikan beberapa catatan untuk diperbaiki.

“Saya setuju dengan KIP kalau diteruskan, tapi dengan beberapa catatan yang harus diperbaiki,” kata Ubaid saat dihubungi reporter Tirto, Senin, 25 Februari 2019.

Menurut Ubaid, beberapa catatan yang perlu dibenahi, antara lain: Pertama, mengenai ketidaktepatan penerima. Kedua, susahnya mengakses KIP. Ketiga, distribusi yang tidak merata. Keempat, KIP harus dari bawah ke atas.

"Pengaduan dari wali murid banyak simpang siur. Ada banyak usulan yang tidak diakomodir. Di komplen ke sekolah, lho ini data dari atas,” kata dia.

Ubaid membandingkan, pelaksanaan KIP tidak sebaik Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang mana sekolah bisa langsung mengusulkan muridnya untuk menjadi terdaftar.

"Beda dengan KJP di Jakarta yang birokrasinya mudah dan sekolah bisa langsung usul dan KJP bisa turun,” kata dia.

Meski demikian, Ubaid tetap mengapresiasi janji Jokowi tersebut. Sebab, kata dia, kehadiran KIP bisa meringankan para peserta didik.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana & Alfian Putra Abdi
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz