tirto.id - Mito, seorang warga Jakarta Timur belum menjadi anggota BPJS Kesehatan. Pria berusia 34 tahun ini sebenarnya punya keinginan untuk mengurus menjadi keanggotaan BPJS Kesehatan. Namun, ia masih belum mengerti akan manfaat sistem jaminan kesehatan ini sehingga niatnya pun kurang bulat.
“Selain memang enggak sempat karena ada kerjaan, belum daftar BPJS Kesehatan juga karena belum mengerti fungsinya. Kalau misalnya ngerti, mungkin saya akan sempatkan,” kata Mito kepada Tirto.
Pria yang bekerja sebagai pelayan kafe di kawasan Jakarta Selatan ini enggan mendaftar karena sering mendengar kabar bahwa pelayanan BPJS Kesehatan kerap bermasalah. Layanan BPJS Kesehatan yang bergulir sejak 2014 memang menyisakan banyak persoalan, antara lain kasus peserta yang ditolak di rumah sakit, pelayanan yang kurang memadai hingga defisit anggaran yang menahun.
Baca juga:Mengakhiri Defisit Dana BPJS Kesehatan yang Menahun
Citra yang buruk tersebut membuat target dari Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) agar seluruh penduduk Indonesia dapat terlindungi jaminan kesehatan atau Universal Health Coverage (UHC) masih jauh panggang dari api.
Per 31 Desember 2017, jumlah kepesertaan JKN-KIS baru mencapai 187,98 juta orang, atau 73 persen dari target 2019 sebanyak 257,5 juta orang. Dengan demikian, masih ada 69,52 juta orang yang harus masuk hingga 2019.
Bagaimana strategi BPJS Kesehatan pada 2018 di tengah persoalan defisit anggaran?
Bila mengacu dari paparan direksi BPJS Kesehatan di awal 2018, upaya yang akan dilakukan BPJS Kesehatan tidak banyak berubah seperti tahun-tahun sebelumnya. BPJS Kesehatan masih fokus memberikan sosialisasi kepada warga, dan mendorong para stakeholder untuk aktif dalam mengoptimalkan pelaksanaan program JKN-KIS.
Dalam kepesertaan JKN-KIS, sedikitnya ada 10 kelompok yang terdaftar di BPJS Kesehatan, seperti penerima bantuan iuran (PBI) yang menjadi tanggung jawab APBN dan APBD. Lalu, Pekerja Penerima Upah (PPU) PNS, Polri, BUMN, BUMD, dan TNI.
Kemudian ada lagi PPU Swasta, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Pekerja Mandiri dan Bukan Pekerja. Namun dari 10 kelompok itu, BPJS Kesehatan lebih fokus menambah PPU Swasta dan PBPU.
Hal ini dikarenakan, data kelompok selain PPU Swasta dan PBPU sudah teridentifikasi oleh kementerian dan lembaga (KL) yang bersangkutan. Dengan kata lain, BPJS Kesehatan hanya tinggal menunggu atau menerima data saja.
Dalam mendorong kepesertaan PPU Swasta dan PBPU tersebut, BPJS Kesehatan melakukan pendekatan atau cara yang berbeda. Untuk PPU Swasta, BPJS Kesehatan akan mendorong kegiatan canvassing kepada badan usaha.
Kegiatan dari canvassing antara lain menyisir lokasi usaha secara terencana, menginformasikan hak dan kewajiban badan usaha, mendata tenaga kerja, serta meminta komitmen pelaksanaan kewajiban pendaftaran atau pelaporan data secara lengkap dan benar.
Apabila kewajiban itu tidak dijalankan badan usaha dalam batas waktu yang telah ditentukan, maka BPJS Kesehatan akan memproses badan usaha bersangkutan itu ke dalam pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan.
“Ini penting dilakukan [canvassing]. Saat ini baru 201.000 perusahaan yang terdaftar. Masih banyak yang belum, padahal targetnya itu selesai tahun lalu,” kata Andayani Budi Lestari, Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan kepada Tirto.
Selain canvassing, BPJS juga menggandeng pemerintah daerah dan BPJS Ketenagakerjaan guna mensinkronkan data badan usaha yang ada. Tentunya ini tidak gampang, dan memakan waktu yang cukup lama.
Khusus untuk PBPU atau Pekerja Mandiri, BPJS akan fokus dalam mempermudah cara pendaftaran dan pembayaran, misalnya, dengan membuat aplikasi mobile JKN, membuka call center, termasuk membuka layanan JKN di pusat perbelanjaan.
Selain itu, BPJS Kesehatan juga menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi guna mewajibkan para mahasiswanya untuk terdaftar dalam program JKN-KIS. Tentunya, apabila mahasiswa terdaftar, maka keluarganya pun otomatis juga bisa ikut terdaftar.
BPJS Kesehatan juga mengingatkan agar pemda dan kementerian/lembaga yang terkait juga aktif dalam mendukung pelaksanaan program JKN-KIS. Apalagi, instruksi itu sudah tertuang dalam Inpres No. 8/2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN.
Baca juga: Sri Mulyani akan Potong DAU Daerah Penunggak Iuran BPJS Kesehatan
Apakah strategi BPJS itu mampu mengejar target kepesertaan 257 juta orang di 2019?
Bila melihat kinerja BPJS Kesehatan selama ini, agaknya sulit untuk mengejar target UHC pada 2019. Apalagi, strategi atau inovasi dari BPJS Kesehatan pada 2018, bisa dibilang tidak ada yang baru.
Dalam empat tahun terakhir, BPJS Kesehatan hanya mampu menambah jumlah kepesertaan JKN-KIS total sebanyak 66,38 juta orang. Jika dirata-rata, maka jumlah peserta yang berhasil didaftarkan BPJS Kesehatan mencapai 1,38 juta orang per bulan.
Secara hitungan sederhana, capaian kinerja BPJS Kesehatan itu tidak cukup untuk mengejar sisanya. Pasalnya, dengan waktu 2 tahun yang tersisa, rata-rata jumlah kepesertaan sedikitnya harus bertambah 2,89 juta orang per bulan.
“Saya kira sulit tercapai jika melihat kinerja BPJS Kesehatan selama ini. Lebih baik diundur saja sampai Desember 2020,” kata Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch kepada Tirto.
Menurutnya, ada empat hal yang menyebabkan target kepesertaan program JKN-KIS sulit dikejar. Pertama, sosialisasi JKN oleh BPJS Kesehatan masih belum memadai, perlu upaya yang lebih agar rakyat mengetahui aturan main dan manfaat JKN.
Baca juga: Mengatasi Problem Kesehatan Mental dengan BPJS
Kedua, meningkatkan pelayanan JKN di rumah sakit. Saat ini, masih banyak keluhan dari lapisan masyarakat menyangkut pelayanan JKN. Kondisi itu akhirnya membuat citra dari JKN turun.
Ketiga, masih lemahnya penegakkan hukum bagi badan usaha yang belum mendaftarkan para pekerjanya ke BPJS Kesehatan. Koordinasi antara BPJS Kesehatan, pemerintah daerah dan Kejaksaan masih perlu untuk ditingkatkan lagi.
Target jumlah kepesertaan JKN-KIS sebanyak 257,5 juta sebenarnya bukan tidak mungkin tercapai tepat waktu, apabila dikerjakan serius dan dapat dukungan banyak pihak. Tugas mengejar target kepesertaan JKN bukan tanggung jawab BPJS Kesehatan saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemda, kementerian/lembaga, pelaku usaha swasta dan lainnya.
Namun, perlu diingat persoalan lain yang juga tak kalah pentingnya adalah soal defisit anggaran program ini yang menahun. Bila tak ada terobosan baru, penambahan jumlah kepesertaan program ini hanya akan menambah daftar masalah yang belum terselesaikan.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra