Menuju konten utama

Contoh 4 Penderitaan Rakyat Indonesia pada Masa Penjajahan Belanda

Contoh penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda di antaranya yakni upah rendah, perbudakan, kerja rodi, dan Tanam Paksa. Berikut penjelasannya.

Contoh 4 Penderitaan Rakyat Indonesia pada Masa Penjajahan Belanda
Ilustrasi Sejarah Tanam Paksa (Cultuurstelsel). wikimedia commons/free

tirto.id - Berbagai bentuk penjajahan Belanda di Indonesia, yang dilakukan sejak abad ke-17 hingga abad ke-20, membuat bumiputra sengsara. Penderitaan rakyat akibat penjajahan tidak terhindarkan karena besarnya kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Mengutip buku Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (1997) terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda tidak hanya dalam bentuk perang dan kekerasan. Kemiskinan, kelaparan, hingga perbudakan bahkan dialami rakyat Indonesia saat dunia sudah memasuki abad ke-20.

Penderitaan yang dialami rakyat akibat penjajahan Belanda menyebabkan perlawanan terjadi di mana-mana. Bumiputra bertekad memperjuangkan kemerdekaan. Rasa senasib-sepenanggungan di bawah penjajahan Belanda kemudian membentuk nasionalisme dan persatuan bangsa Indonesia.

Perjuangan panjang akhirnya berbuah pada proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Namun, kemerdekaan tersebut masih harus ditebus dengan pengorbanan banyak pejuang karena Belanda sempat ingin berkuasa kembali di Indonesia.

Penderitaan Rakyat Akibat Penjajahan

Ada banyak bentuk penjajahan belanda di indonesia yang menyebabkan penderitaan rakyat. Empat contoh di bawah ini cuma sebagian kecil dari berbagai bentuk penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda.

1. Tanam Paksa (Cultuurstelsel)

Setelah menguasai Indonesia berdasarkan Konvensi London pada 1814, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda di Nusantara dipimpin oleh suatu komisi yang beranggotakan Vander Capellen, Elout, dan Buyskes.

Salah satu misi penjajahan Belanda tersebut ialah untuk membayar utang Kerajaan Belanda yang tergolong besar karena perang. Itu juga yang menjadi latar belakang Tanam Paksa diterapkan di Nusantara.

Lantas, kapan Tanam Paksa diberlakukan? Siapakah yang menerapkan Tanam Paksa?

Tanam Paksa diterapkan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch sejak 1830. Kebijakan ini memaksa setiap desa mencadangkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor.

Dampak Tanam Paksa utamanya adalah membuat rakyat sengsara. Salah satu bentuk penjajahan belanda di Indonesia tersebut tidak hanya mengeruk kekayaan alam melainkan juga tenaga rakyat Nusantara.

Kapasitas sawah dikurangi untuk keperluan Tanam Paksa, rakyat diharuskan bekerja, bahkan kadang dituntut mengelola kebun yang letaknya puluhan kilometer dari desa asalnya. Selain itu, kerja rodi juga dilakukan di bawah todongan senjata. Akibatnya, penderitaan rakyat akibat penjajahan dalam bentuk Tanam Paksa ini tidak bisa terhindarkan, terutama kemiskinan dan kelaparan.

Infografik SC Indonesia di Masa Penjajahan Belanda

Infografik SC Indonesia di Masa Penjajahan Belanda. tirto.id/Fuad

Jenis tanaman pada Tanam Paksa ditentukan oleh pemerintah Belanda. Kopi, teh, tebu dan jenis komoditas potensial ekspor lainnya harus ditanam demi menambah pundi-pundi harta Kerajaan Belanda.

Tanam Paksa membuat kas Belanda menggemuk, tetapi di sisi lain menyebabkan rakyat menderita. Selain kelaparan dan kemiskinan, penyakit pun sering mewabah karena banyak orang kurang gizi. Bahkan, banyak pekerja paksa yang mati kelaparan.

Penderitaan yang dialami rakyat akibat penjajahan belanda menyebabkan bumiputra geram dan melakukan perlawanan. Bahkan, kritik terhadap Sistem Tanam Paksa juga dilontarkan oleh sebagian orang Belanda.

Karena Cultuurstelsel dianggaptidak manusiawi, Sistem Tanam Paksa diubah. Pengelolaan perkebunan di Nusantara diserahkan kepada pihak swasta Belanda. Secara berangsur-angsur, sistem tanam paksa kemudian dihapuskan pada 1861, 1866, 1890, dan 1916.

2. Perbudakan di Hindia Belanda

Bentuk penjajahan Belanda di Indonesia, selain Tanam Paksa, adalah perbudakan. Salah wujud perbudakannya terlihat saat VOC ingin memindahkan "ibu kota" pemerintahannya dari Ambon ke Batavia—sekarang bernama Jakarta.

Ketika berhasil dikuasai VOC, di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coenstraat, penduduk Batavia masih belum padat. Terlebih, banyak penduduk lokal yang memilih kabur ke pelosok Batavia Selatan, yakni Jatinegara Kaum.

Di sisi lain, VOC ingin membangun Batavia sebagai "ibu kota". Pemindahan pusat pemerintahan ini dilakukan karena secara geografis, Batavia lebih strategis. Untuk mewujudkan itu, kompeni tentu butuh tenaga kerja.

Oleh karenanya, VOC mendatangkan tawanan perang dan budak dari berbagai tempat. Di antaranya seperti Manggarai, Bali, Sulawesi, Arakan, Bima, Benggala, dan Malabar, demikian tercatat dalam Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi (2001) yang ditulis Alwi Shahab.

Dalam perjalanannya, banyak pria bumiputra diperbudak menjadi pekerja kasar di Batavia, sementara perempuan dijadikan pemuas nafsu berahi dan pengurus rumah tangga orang-orang Belanda. Apabila mereka membangkang, hukumannya sangat kejam.

Izin perbudakan akhirnya dihapus pada 1860 oleh pemerintah Hindia-Belanda. Namun, praktiknya terus dilakukan hingga dekade pertama abad ke-20, sebagaimana dicatat Reggie Baay dalam Daar werd wat gruwelijks verricht atau Perbudakan di Hindia Belanda (2015). Penderitaan rakyat akibat penjajahan ini pun berlanjut.

3. Kerja Rodi

Salah satu contoh kerja rodi paling terkenal yang membuat rakyat Indonesia sengsara adalah pembuatan jalan raya sepanjang kurang lebih 1.000 kilometer, dari Anyer hingga Panarukan, pada 1809.

Kerja rodi diterapkan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, yang menerima mandat dari Louis Napoleon, penguasa Belanda di bawah pengaruh Prancis era Napoleon Bonaparte. Daendels menerima perintah untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serbuan Inggris. Maka itu, ia memerintahkan pembangunan jalan Anyer-Panarukan.

Britannica menjelaskan, kerja rodi adalah kerja budak yang dilakukan di bawah paksaan. Para pekerja tidak memperoleh upah dan dipaksa bekerja di luar batas kemanusiaan.

Perbudakan ini dilaksanakan di bawah todongan senjata dan lecutan cambuk. Banyak pekerja yang kelaparan hingga meninggal demi terbangunnya jalan itu.

Penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda berupa kerja rodi ini telah memakan banyak korban jiwa. Pembangunan jalan raya Anyer hingga Panarukan ditaksir memakan korban jiwa hingga 12 ribu.

4. Upah Rendah di Perkebunan

Sejak Tanam Paksa dihapuskan, pemerintah Hindia-Belanda berupaya membuat kebijakan baru. Hasilnya adalah sistem Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy). Hindia-Belanda membuka kesempatan bagi pengusaha swasta-asing untuk menanamkan modal dan/atau mendirikan perusahaan di Nusantara.

Pada 1870, dikeluarkan Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula oleh Engelbertus de Waal. Agrarische Wet dan Suiker Wet menandai diberlakukannya sistem Politik Pintu Terbuka, sekaligus menjadikan Hindia Belanda pusat perkebunan penting dalam perdagangan ekonomi dunia.

Namun, penderitaan rakyat akibat penjajahan, yang sebelumnya dalam bentuk Tanam Paksa, tidak juga membaik. Hanya berbeda wujud. Rakyat dipaksa bekerja di perkebunan besar. Hingga pertengahan abad ke-20, tumbuh banyak perkebunan kopi, teh, tebu, kina, kelapa, cokelat, tembakau, hingga kelapa sawit di Hindia Belanda.

Ketika banyak pengusaha swasta membangun perusahaan di Nusantara, rakyat Indonesia beralih menjadi buruh yang dipaksa bekerja habis-habisan dengan upah rendah. Makanan dan kesehatan mereka tidak terjamin, begitu pula dengan kesejahteraannya.

Sistem memang berganti sejak pertengahan abad ke-19, tapi kemiskinan tetap saja menjadi wajah sehari-hari rakyat Indonesia di bawah penjajahan Belanda.

Baca juga artikel terkait PENJAJAHAN BELANDA atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Fadli Nasrudin