tirto.id - Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) merupakan program pemerintah Hindia Belanda yang dirintis penerapannya di masa pemerintahan Johannes van Den Bosch. Nama terakhir menjabat posisi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1830-1834.
Van den Bosch menerapkan Sistem Tanam Paksa karena menerima mandat dari Kerajaan Belanda untuk mencari cara mengeruk kekayaan dari tanah Hindia Timur (nusantara).
Sebenarnya, Bosch bukan orang pertama yang diminta melaksanakan tujuan serupa. Dikutip dari bukuSejarah Indonesia oleh Alin Rizkiyan Putra (2020:23), setelah Konvensi London di tahun 1814, Kerajaan Belanda mengutus komisi yang dipimpin Van der Capellen guna mengelola pemerintahan Hindia Timur dan mengeruk kekayaannya.
Namun, upaya Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1819–1826 tersebut tidak membuahkan hasil berarti.
Asal-Usul Ide Sistem Tanam Paksa
Dalam teks sejarah Indonesia, Van den Bosch sering dianggap sebagai biang keladi penderitaan dan kemiskinan di kalangan petani Hindia Belanda. Sebab, Bosch adalah pencetus sekaligus perintis sistem tanam paksa.
Selama Perang Jawa (1825-1830) terjadi, Raja William I sudah berulang kali meminta agar Jawa dijadikan sebagai sumber pemasukan negara. Berbagai macam usulan dibicarakan, tapi tidak satupun dinilai bakal berhasil menutup kerugian Belanda pascaperang.
Pada 1828, Bosch dipanggil oleh sang raja. Setelah ide sistem tanam paksa yang ia utarakan disetujui oleh raja, Bosch ditunjuk jadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dengan tugas mengisi kas kerajaan dari hasil eksploitasi tanah Jawa.
Satu tahun setelahnya, Januari 1830, sambil membawa rancangan Sistem Tanam Paksa, Bosch datang ke Hindia Belanda. Pada tahun yang sama, ia mulai menerapkan gagasannya tersebut.
Ahli antropologi ekonomi asal Amerika, Albert Schrauwers, dalam artikel "The ‘Benevolent’ Colonies of Johannes van den Bosch" yang terbit di jurnal Comparative Studies in Society and History (April 2001), menjelaskan bahwa Bosch menciptakan Tanam Paksa berdasarkan model koloni pertanian yang pernah ia terapkan di Provinsi Drenthe, Belanda.
Bosch berpandangan bahwa kondisi sosial dan ekonomi di Belanda sangat mirip dengan situasi di Jawa. Keduanya memiliki tingkat kepadatan penduduk yang rendah dan sangat bergantung kepada sektor pertanian dengan lahan garapan yang masih terbentang luas.
Eksploitasi sebenarnya bukan satu-satunya tujuan Bosch saat merancang Tanam Paksa. Ia malah menganggapnya ibarat institusi sosial untuk meningkatkan kemakmuran negara koloni.
Bosch memimpikan sistem yang bebas dari liberalisme, layaknya sistem buatan Raffles yang berkutat pada sewa dan pajak tanah.
Bosch meyakini bahwa petani Jawa yang masih hidup dalam kemiskinan lebih baik dibebani jenis pajak yang tidak menghabiskan uang mereka. Jauh lebih mudah jika setiap desa menyerahkan seperlima tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman ekspor.
Namun, pada kenyataannya, penerapan sistem tanam paksa justru mengakibatkan penderitaan banyak petani di Hindia Belanda, dan bahkan bencana kelaparan di berbagai tempat.
Aturan Sistem Tanam Paksa
Van den Bosch mulai memberlakukan Sistem Tanam Paksa di Hindia Belanda pada tahun 1830, setelah ia diutus dan ditetapkan sebagai Gubernur Jenderal oleh Raja William I.
Ada sejumlah aturan utama dalam sistem tanam paksa. Mengutip Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi karya Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo (1991), beberapa aturan Sistem Tanam Paksa yang termuat di dalam Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 Nomor 22 adalah sebagai berikut:
1. Penduduk menyediakan sebagian tanahnya dalam menjalankan Sistem Tanam Paksa.
2. Tanah yang digunakan untuk menjalakan Sistem Tanam Paksa, tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian milik penduduk.
3. Waktu dan Pelaksanaan tanaman Sistem Tanam Paksa, tidak boleh lebih banyak dari waktu menanam padi.
4. Tanah yang digunakan untuk Sistem Tanam Paksa, tidak akan dikenakan pajak tanah.
5. Hasil pertanian yang berkaitan dengan Sistem Tanam Paksa harus diberikan kepada pemerintah Hindia Belanda.
6. Apabila harga dan nilai hasil pertanian lebih mahal dari pajak pertanian, kelebihan akan diberikan pada rakyat.
7. Kegagalan panen Sistem Tanah Paksa merupakan tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda.
8. Penduduk desa yang bekerja pada pertanian Sistem Tanam Paksa akan diawasi oleh penguasa pribumi.
9. Pegawai Eropa hanya melakukan pengawasan secara umum.
10. Penduduk yang bukan petani harus bekerja di perkebunan atau pabrik pemerintah selama 65 hari dalam 1 tahun.
Pelaksanaan sistem tanam paksa ternyata tidak sepenuhnya sesuai aturan. Dampak ikutannya juga buruk untuk rakyat di Hindia Timur. Sebab, para petani tidak memiliki banyak waktu untuk mengerjakan pertanian pangan.
Sistem tanam paksa bisa menggelembungkan kas Belanda, tapi rakyat bumiputra menderita. Selain kelaparan dan kemiskinan, penyakit pun sering mewabah karena banyak orang kurang gizi. Bahkan, banyak pekerja paksa yang mati kelaparan.
Dampak besar sistem tanam paksa pada penderitaan rakyat di nusantara membuat kritik tajam dilontarkan pada pemerintah Hindia-Belanda. Kritik itu juga datang dari sebagian orang Belanda.
Karena Cultuurstelsel dianggap tidak manusiawi, sistem tanam paksa dihapuskan dan diganti dengan pihak swasta Belanda yang turun mengelola perkebunan. Secara berangsur-angsur, sistem tanam paksa kemudian dihapuskan pada tahun 1861, 1866, 1890, dan 1916.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Addi M Idhom