tirto.id - Johannes van den Bosch adalah pencetus cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa. Ia merancang gagasannya menggunakan landasan yang sangat sederhana. Bosch mengganti bentuk setoran pajak tanah yang semula uang menjadi tanaman bernilai ekspor. Ia ingin mendorong petani agar lebih rajin bekerja dan menciptakan kemakmuran bagi dua pihak: Belanda dan para petani.
Namun, dalam kurun 40 tahun (1830-1870) sejak pertama kali diperkenalkan, Tanam Paksa berubah menjadi sistem paling kompleks yang menyisakan berbagai persoalan sosial. Pola kehidupan petani di perdesaan berubah total. Hasilnya adalah kemiskinan terstruktur. Sebaliknya bagi Belanda, sistem ini dianggap berhasil menjadi tambang emas.
Dalam karya klasik Netherlands India: A Study of Plural Economy (2010: hlm. 144), J.S. Furnivall menyebut ada tiga keuntungan dari Tanam Paksa. Sistem ini berhasil memaksa Hindia Belanda mengembalikan uang yang pernah dikeluarkan Kerajaan Belanda untuk membiayai Perang Jawa. Hal ini diikuti perkembangan sektor perkapalan dan perdagangan internasional. Semua keuntungan itu memperlebar peluang modal dan pembentukan jaringan industri yang memperkaya Kerajaan Belanda, sekaligus pembangunan di negara koloni.
Di luar sistem ciptaannya, kisah hidup Johannes van den Bosch jarang diungkapkan dalam sejarah Indonesia periode kolonial. Bosch memang tidak tinggal lama di Hindia Belanda. Jabatan tertinggi yang pernah dipegangnya di seberang lautan, yakni sebagai Gubernur Jenderal dan Komisaris Umum hanya ia lakoni selama empat tahun (1830-1834).
Kendati masa dinasnya tergolong singkat, kepulangan Bosch ke Belanda disambut bak pahlawan. Pada Mei 1834, Raja William I menganugerahinya gelar kebangsawanan sekaligus jabatan Menteri Urusan Jajahan. Namun, jabatan ini pun tak lama. Ia sering dimusuhi oleh koleganya akibat kesukaannya melaksanakan kebijakan ekonomi dengan cara-cara yang kolot.
Bosch lantas memilih mundur dan menjadi anggota dewan perwakilan rakyat untuk wilayah Belanda selatan sampai akhir hayatnya. Ia meninggal dunia di kediamannya di Den Haag pada 28 Januari 1844, tepat hari ini 176 tahun silam.
Koloni Tanpa Orang Miskin
Dalam catatan sejarah Indonesia, Bosch bakal selalu dianggap sebagai biang keladi penderitaan dan kemiskinan di kalangan petani sepanjang periode Tanam Paksa. Namun di wilayah lain, ia pernah peduli kepada orang-orang miskin dan sempat memimpikan sebuah sistem yang dapat mengentaskan kemiskinan.
Dalam makalah “The ‘Benevolent’ Colonies of Johannes van den Bosch” yang terbit di jurnal Comparative Studies in Society and History (April 2001), ahli antropologi ekonomi asal Amerika, Albert Schrauwers, menyebut Bosch sebagai tokoh yang penuh ironi. Sebelum menjadi arsitek Tanam Paksa yang ujungnya menyengsarakan rakyat, ia pernah berusaha menghapus perbudakan di Suriname. Bosch juga dikenal sebagai pendiri perusahaan amal untuk menanggulangi kemiskinan di Belanda dengan nama Maatschaappij van Weldadigheid.
Johannes van den Bosch mengawali karirnya sebagai mekanik di kesatuan militer Belanda. Pada 1797, ia secara sukarela dikirim ke Hindia Belanda dan naik pangkat menjadi letnan. Ketika merapat di Batavia pada 1798, ia salah satu dari puluhan pemuda naif lainnya yang bermimpi mendapatkan kehidupan lebih baik di tanah jajahan.
Saat VOC bangkrut pada 1799, ia tetap tinggal dan mengabdi kepada militer Belanda. Dalam The Failure of a Liberal Colonial Policy (1947), Bosch disebutkan pernah menjadi asisten pribadi Gubernur Jenderal van Overstraten dan berjasa mempertahankan Benteng Batavia dari serangan Inggris pada tahun 1801. Berkat jasanya, ia dihadiahi jabatan yang cukup mentereng, bahkan dikawinkan dengan putri seorang petinggi militer.
Namun, kedatangan Herman Willem Daendels di Hindia Belanda pada 1808 membalik kehidupan Bosch. Begitu Daendels mengambil alih pos pemerintahan sebagai Gubernur Jenderal, tanpa alasan jelas Bosch memilih mundur dari kemiliteran dan menjadi pengusaha.
Pada tahun yang sama, Bosch menggunakan uang pesangonnya untuk membeli beberapa ribu hektar tanah di sekitar Batavia. Di sana ia membangun sebuah areal perkebunan yang dikelolanya selama dua tahun. Pada 1810, Bosch terpaksa pulang ke Belanda karena perselisihan ayah mertuanya, Jenderal De Sandol Roy, dengan Daendels.
Tidak jelas bagaimana Bosch menjalankan perkebunannya, tetapi Schrauwers yakin bahwa di saat bersamaan Bosch sedang memikirkan sebuah sistem untuk mengatasi kemiskinan di wilayah koloni. Menurut Schrauwers, ketika merumuskan Tanam Paksa, Bosch banyak belajar dari Jawa di masa Daendels.
Dalam sebuah tulisan yang terbit tahun 1818, Bosch menyinggung perngalamannya membuka perkebunan di dekat Batavia sebagai inspirasi di balik pembangunan perusahaan amal sekaligus koloni yang berbasis pertanian.
“Saya terdorong untuk menyuarakan secara universal pemikiran saya tentang bagaimana membangun sebuah koloni yang orang-orangnya masih sangat miskin, karena saya telah berbuat sesuatu terhadap sebidang tanah yang tidak sepenuhnya tandus […],” tulis Bosch seperti dikutip oleh Schrauwers.
Di Belanda, Bosch mendirikan sebuah koloni pertanian di Veenhuizen, Provinsi Drenthe. Menurutnya, sebagaimana diungkapkan oleh Schrauwers, petani di wilayah koloni cenderung malas menggarap lebih banyak lahan sehingga mereka tidak pernah kaya. Oleh karena itu, petani membutuhkan pelatihan kedisiplinan yang dapat menjamin surplus produksi bahan-bahan kebutuhan pokok.
“Tujuan utamanya tidak hanya untuk mengatasi kemiskinan, tetapi juga untuk mencetak warganegara yang dibentuk melalui penerapan disiplin,” tulis Schrauwers.
Akhir dari Impian Bosch
Selama Perang Jawa (1825-1830), Raja William I berulang kali memerintahkan agar Jawa dijadikan sebagai sumber pemasukan negara. Berbagai macam usulan dibicarakan, tetapi tidak satupun dinilai bakal berhasil menutup kerugian Belanda pasca perang. Ketika Perang Jawa berakhir, Revolusi Belgia meletus dan meninggalkan Kerajaan Belanda yang terkatung-katung kekurangan uang.
Pada 1828, Bosch dipanggil oleh sang raja. Ia ditunjuk menjadi juru selamat dengan tugas mengisi kas kerajaan dari hasil eksploitasi Hindia Timur yang tidak lain adalah Jawa. Maka satu tahun setelahnya, sambil membawa rancangan Sistem Tanam Paksa, Bosch bertolak kembali ke Hindia Belanda sebagai Gubernur Jenderal dan tiba pada Januari 1830.
Kembali kepada tulisan Albert Schrauwers, Bosch menciptakan Tanam Paksa berdasarkan model koloni pertanian yang pernah ia terapkan di Provinsi Drenthe, Belanda. Menurut Bosch, kondisi sosial dan ekonomi di Belanda sangat mirip dengan kondisi di Jawa. Keduanya memiliki tingkat kepadatan penduduk yang rendah dan sangat bergantung pada sektor pertanian dengan lahan garapan yang masih terbentang luas.
Eksploitasi sebenarnya bukan satu-satunya tujuan Bosch saat merancang Tanam Paksa. Ia malah menganggapnya ibarat institusi sosial untuk meningkatkan kemakmuran negara koloni. Bosch memimpikan sebuah sistem yang bebas dari liberalisme layaknya sistem buatan Raffles yang berkutat pada sewa dan pajak tanah.
Ia meyakini bahwa petani Jawa yang masih hidup dalam kemiskinan lebih baik dibebani jenis pajak yang tidak menghabiskan uang mereka. Jauh lebih mudah jika setiap desa menyerahkan seperlima tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman ekspor. Banyak ahli yang menilai usulan Bosch itu tidak pernah dirumuskan secara tegas. Akibatnya, rancangan di atas kertas sangat berbeda jauh dengan pelaksanaannya.
Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (2014: hlm. 167) menyebut beban kerja Tanam Paksa yang awalnya ditetapkan oleh Bosch hanya 66 hari dalam satu tahun, terkadang melebihi sampai 120 hari di daerah tertentu. Pembagian hasil dan penentuan jenis tanaman ekspor juga merugikan petani. Sistem yang kurang matang ciptaan Bosch memungkinkan pejabat-pejabat lokal memberlakukan berbagai macam perubahan.
Robert van Niel dalam Sistem Tanam Paksa di Jawa (2003: hlm. 139) juga sempat mengkritisi sikap Bosch yang tidak tahu menahu soal kondisi alam dan jenis tanaman yang biasa ditanam petani Jawa. Ketika Bosch pertama kali mengajukan Tanam Paksa, dia hanya berbicara hal-hal yang sifatnya umum tentang bagaimana produk pertanian itu ditanam, dipanen, dan diolah.
Sepulangnya Bosch ke negeri Belanda pada 1834, musuh-musuh Bosch dari kelompok liberal berusaha mencampuri urusan Tanam Paksa. Sekitar tahun 1837, usulan berupa pembayaran upah langsung kepada petani sempat dipertimbangkan menjadi peraturan. Bosch spontan menentangnya, tapi segera menyadari bahwa dirinya tidak punya cukup kekuasaan lagi untuk memperbaiki sistem buatannya sendiri.
“Apakah orang akan menilai van den Bosch sebagai bajingan laknat atau korban tipu muslihat dari beberapa orang yang menggantikannya di Jawa, tidak begitu mempengaruhi rentetan kemarahan laten yang ditujukan kepada Sistem Tanam Paksa yang telah menyimpang sangat jauh dari pernyataan awal van den Bosch,” tulis van Niel.
Pada akhirnya, Tanam Paksa hanya menjadi akhir dari angan-angan Bosch menciptakan koloni tanpa orang miskin.
Editor: Irfan Teguh