Menuju konten utama

Faktor yang Melatarbelakangi Sistem Tanam Paksa di Indonesia

Sistem tanam paksa pernah diterapkan oleh Belanda di Indonesia. Apa saja faktor yang melatarbelakangi Belanda menerapkan sistem tanam paksa di Indonesia?

Faktor yang Melatarbelakangi Sistem Tanam Paksa di Indonesia
Panen kopi yang diberlakukan di wilayah Parahyangan pada tahun 1720, salah satu jenis tanaman yang menjadi fokus van de Bosch dalam sistem tanam paksa. Wikimedia commons/Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen

tirto.id - Sistem tanam paksa, atau juga dikenal dengan istilah cultuurstelsel, adalah sistem yang mewajibkan penduduk menanam tanaman ekspor. Di bawah paksaan pemerintah kolonial Belanda, sistem ini dianggap tidak adil karena upah pembagian hasilnya kurang layak.

Sistem tanam paksa diinisiasi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johannes van den Bosch. Proses pelaksanaan sistem tanam paksa melibatkan pemimpin-pemimpin pribumi yang bertanggung jawab menjalankan proyek tersebut. Sementara itu, pegawai Eropa berperan sebagai pengawas umum.

Sistem tanam paksa memberikan dampak negatif signifikan bagi rakyat Indonesia, termasuk kelaparan, penyakit, kemiskinan. Untuk memahami lebih lanjut, simak pembahasan berikut mengenai latar belakang tanam paksa di Indonesia, jenis tanaman yang diwajibkan dalam tanam paksa dan akibat dari sistem tanam paksa.

Latar Belakang Tanam Paksa di Indonesia

Peraturan tentang penerapan sistem tanam paksa dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada 1830.

Dilansir situs Kemdikbud, sistem tanam paksa mengharuskan setiap desa menyisihkan 20 persen tanahnya untuk menanam komoditas ekspor, seperti teh, kopi, dan kakao. Hasil panen dari tanaman ini wajib dijual kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan harga yang telah ditetapkan.

Berikut faktor-faktor yang melatarbelakangi belanda menerapkan sistem tanam paksa di indonesia:

1. Krisis ekonomi Belanda

Salah satu dari faktor-faktor yang melatarbelakangi Belanda menerapkan sistem tanam paksa di indonesia adalah kondisi krisis ekonomi Belanda pasca-kejayaan Napoleon Bonaparte di Eropa (1803-1815).

Krisis yang dialami Belanda disebabkan oleh pemisahan wilayah Belgia pada 1830. Besarnya biaya untuk menumpas Pemberontakan Diponegoro (Perang Jawa) juga memberikan tekanan pada keuangan Belanda.

2. Kas keuangan kosong dan beban utang meningkat

Faktor lain yang melatarbelakangi Belanda menerapkan sistem tanam paksa di indonesia yakni keadaan kas Belanda yang kosong dan beban utang yang meningkat. Ini menjadi faktor kunci Belanda menerapkan sistem tanam paksa. Pemerintah kolonial mencari sumber pendapatan yang signifikan untuk mengatasi keuangan yang rapuh.

3. Gagalnya upaya liberalisasi keuntungan dari tanah jajahan

Di sisi lain, upaya liberalisasi dalam meraih keuntungan dari tanah jajahan Hindia Belanda ternyata gagal. Oleh karena itu, sistem tanam paksa dianggap sebagai solusi yang lebih ketat dan kejam, dengan tujuan memperoleh pendapatan yang dibutuhkan untuk mendukung pemerintah.

Pada masa itu, meskipun pemasukan dari penanaman kopi telah ada, ternyata tidak cukup untuk menutupi kekosongan keuangan. Hal inilah yang mendorong pemerintah kolonial untuk mengambil tindakan lebih tegas dalam mengelola ekonomi koloninya.

Selain di Jawa, sistem tanam paksa juga diterapkan di Minahasa, Lampung, dan Palembang. Sistem tanam paksa menciptakan dampak yang signifikan pada sejarah ekonomi Indonesia pada masa tersebut.

Jenis Tanaman yang Menjadi Fokus Sistem Tanam Paksa

Sistem tanam paksa, yang diinisiasi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch, menggabungkan aturan preangerstelsel dan konsep tanam paksa. Preangerstelsel adalah sistem tanam paksa kopi yang sebelumnya telah diterapkan di Parahyangan pada awal abad ke-18.

Dalam Jurnal Artefak Universitas Galuh Vol. 3, No. 1 (2015) dan situs web Museum Pendidikan Indonesia dijelaskan, jenis tanaman yang menjadi fokus Van de Bosch dalam sistem tanam paksa yakni kopi, teh, kakao, dan tebu. Pemerintah kolonial juga memaksa peningkatan pembudidayaan nila.

Berikut penjelasan mengenai masing-masing jenis tanaman ekspor yang menjadi fokus van de Bosch dalam sistem tanam paksa.

1. Kopi

Tanaman kopi menjadi salah satu komoditas ekspor utama di Indonesia. Pada masa penerapan sistem tanam paksa, petani di berbagai daerah, seperti Cirebon, Ponorogo, dan Kaliurang, diwajibkan menanam kopi secara luas. Hal ini memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan produksi dan ekspor kopi di wilayah tersebut.

2. Tebu

Tebu merupakan tanaman yang mendapat perhatian dalam sistem tanam paksa. Sebagai komoditas ekspor penting, pengembangan tebu menjadi strategi kunci pemerintah Belanda untuk menggerakkan ekonominya. Petani di berbagai daerah diharuskan menanam tebu, menciptakan sumber pendapatan tambahan bagi pemerintah kolonial.

3. Nila atau indigo

Nila digunakan sebagai bahan baku pewarna biru dalam industri tekstil. Produksi nila di Jawa, termasuk di Cirebon, menjadi produk ekspor utama selama masa sistem tanam paksa. Peningkatan produksi nila berkontribusi pada keberlanjutan ekonomi kolonial Belanda di Indonesia.

4. Teh dan kakao

Jenis tanaman yang menjadi fokus van de Bosch dalam sistem tanam paksa juga termasuk teh dan kakao. Rakyat di berbagai wilayah Nusantara dipaksa menanam dua komoditas ekspor tersebut dan menjualnya dengan harga yang sudah ditentukan.

Apa Akibat dari Sistem Tanam Paksa bagi Rakyat Indonesia?

Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel memberikan manfaat bagi pihak Belanda, sementara rakyat Indonesia mengalami penurunan kesejahteraan hidup. Meskipun terdapat beberapa manfaat, dampak negatif yang muncul sangat signifikan.

Ricklefs M.C dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) menjelaskan akibat sistem tanam paksa bagi rakyat Indonesia sebagai berikut.

a. Gangguan pada penanaman padi

Waktu yang dibutuhkan untuk menggarap budidaya tanaman ekspor sering kali mengganggu kegiatan penanaman padi. Persiapan lahan untuk tanaman kopi sering berbenturan dengan penanaman padi. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan produksi pangan.

b. Beban tinggi untuk budidaya tebu karena kebutuhan air yang besar

Budidaya tanaman ekspor, khususnya tebu, menuntut penggunaan sejumlah besar air yang memberikan beban berat kepada petani. Hal ini juga menciptakan tekanan terhadap ketersediaan sumber daya air.

c. Penggunaan lahan sawah yang berkualitas tinggi

Budidaya tanaman tebu dan nila memanfaatkan sebagian besar tanah sawah petani yang memiliki kualitas baik dan nilai tinggi. Hal demikian menyebabkan berkurangnya lahan yang tersedia untuk penanaman tanaman pangan.

d. Kebutuhan tambahan hewan tarik

Sistem tanam paksa meningkatkan kebutuhan akan hewan tarik petani, tidak hanya untuk pekerjaan di ladang tetapi juga sebagai alat angkut hasil tanaman ekspor menuju pabrik atau pelabuhan. Hal seperti ini lagi-lagi menambah beban pekerjaan petani pada masa sistem tanam paksa.

e. Risiko kelaparan dan wabah penyakit

Dampak paling mengerikan sistem tanam paksa adalah timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di berbagai daerah, seperti Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan penurunan drastis jumlah penduduk dan meningkatnya angka kematian akibat penyakit seperti busung lapar (hongorudim).

Baca juga artikel terkait TANAM PAKSA atau tulisan lainnya dari Umi Zuhriyah

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Umi Zuhriyah
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Fadli Nasrudin