tirto.id - Wabah surra (penyakit hewan yang disebabkan infeksi protozoa Trypanosoma evansi) yang menyerang sapi, kerbau, dan kuda pernah mengamuk di Painan dan Batang Kapas, daerah Pesisir Selatan di Sumatra Barat.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 29 September 1923 melaporkan terjangkitnya dua wilayah yang jadi lumbung sapi pedaging dan susu ini.
Sementara di daerah pedalaman, penyakit ini sudah mulai tampak pada akhir abad ke-19, terutama menyerang peternakan-peternakan kuda yang tersebar di daerah Lima Puluh Kota dan Payakumbuh.
Dalam Paardenfokkerij in de Padangsche Bovenlanden (1892) disebutkan, peternakan-peternakan kuda yang banyak dikembangkan di daerah tersebut, baik jenis kudo-sawah (kuda yang sedikit lebih besar dari keledai), maupun kuda dengan kualifikasi yang lebih unggul dan bertubuh lebih besar, sama-sama terancam oleh penyakit yang dari gejalanya dapat dikatakan mirip surra.
Sebuah tulisan lain berjudul "Van Pajakoemboeh en Paarden" dalam Weekblad voor Indië edisi 18 Juli 1906, melaporkan mengenai ancaman surra atas berbagai peternakan kuda di Payakumbuh. Beruntung di daerah tersebut terdapat klinik hewan.
Pada mulanya surra ditemukan pada kuda, tetapi ternyata hampir semua hewan berdarah panas rentan terserang dengan derajat kerentanan yang berbeda-beda.
Di Hindia Belanda, penyakit ini pertama kali ditemukan pada seekor kuda di Semarang tahun 1897. Kasus surra biasanya terjadi secara sporadis, tetapi terkadang menjadi wabah yang menimbulkan banyak kematian hewan ternak.
Kasus terparah terjadi di Tegal pada tahun 1898 yang menyebabkan kematian 500 ekor kerbau. Setelah itu, laporan-laporan surat kabar sepanjang dekade-dekade kekuasaan kolonial rutin memberitakan tentang amuk penyakit ini.
De Locomotief edisi 17 Desember 1900 melaporkan serangan penyakit ini di Banyumas dan Sidoarjo (Surabaya). Mantri-mantri hewan dari lembaga pemerintah di Majenang dikirim untuk menghentikan laju penyebaran penyakit.
Enam tahun kemudian, Algemeen Handelsblad edisi 10 September 1906 melaporkan bahwa surra menyerang Bangkalan, Madura. Lalu pada tahun 1910, sebagaimana dilaporkan Bataviaasch Nieuwsblad, surra mengganas di Yogyakarta.
Panyakit ini juga menyerang Majalengka (De Sumatra Post edisi 5 Februari 1916), Makassar (Bataviaasch Nieuwsblad edisi 14 Agustus 1924), Indramayu (De Sumatra Post edisi 1 Agustus 1927), Deli (De Sumatra Post edisi 23 Maret 1933), dan Padang Sidempuan (De Sumatra Post edisi 30 Juni 1934).
Upaya Penanggulangan
B. Vrijburg dalam Veeteelt en veeziekten in Nederlandsch-Indië (1921) menempatkan surra di daftar teratas penyakit hewan yang paling mematikan di Hindia Belanda. Menurutnya, surra merupakan penyakit khas negara tropis.
Penyebutannya macam-macam, di antaranya "parasit yang sangat terorganisasi", "malaria sapi (runder-malaria)", "sakit moebeng, sakit moejeng, sakit tudjoeh kuriling", dan "penyakit geladak ganas dan kudis".
"Meskipun tidak disebabkan oleh bakteri namun harus dianggap menular dan bahkan sering kali sangat menular," imbuh Vrijburg.
Penyakit ini disebabkan oleh organisme yang sangat kecil yang hidup di dalam darah dan organ hewan, memiliki efek merusak pada sel darah merah mereka.
Ketika tubuh ternak melemah karena kekurangan gizi atau terlalu banyak bekerja, misalnya, dan pertahanannya lemah, maka akan terlihat bahwa tubuh mereka tidak akan dapat bertahan melawan parasit ini.
"Kadang-kadang kita melihat perjalanan yang benar-benar kronis, hewan berangsur-angsur menjadi kurus dan lemas, bulu berdiri tegak, kulit mengelupas dengan kuat, menunjukkan luka di sana-sini; di bawah tenggorokan orang sering melihat lipatan kulit yang lembek, yang mengandung kelembaban. Butuh waktu berminggu-minggu sebelum hewan itu mati, terkadang mereka pulih dengan lambat," tulis Vrijburg.
Agar penyakit ini tidak meluas, menurut Pieter T. Schat dalam Mededeelingen over surra (1904), pemerintah kolonial harus melarang impor dan ekspor ternak dari desa-desa yang terjangkit surra.
Di area yang dicurigai, peternak diminta untuk melindungi hewan yang sakit dan sehat sebanyak mungkin dari sengatan lalat. Keduanya harus dikandangkan secara terpisah di kandang yang tertutup, luas, dan bersih.
"Kotoran, daun kering, dan lain sebagainya harus dikumpulkan setiap hari dan dibakar pada pagi hari dari arah angin ke kandang untuk mengusir lalat dengan asapnya. Larva Stomoxys, yang hidup di kotoran yang segar, dimusnahkan pada saat yang bersamaan," tulis Pieter T. Schat.
Ia menambahkan, pada musim hujan pembakaran kotoran hewan harus dilakukan di dalam kuali tanah atau besi di kandang. Lem tongkat dapat digunakan untuk menangkap lalat yang terbuat dari getah atau getah yang dicampur dengan sirup.
Sementara itu, serum telah diupayakan untuk mengobati hewan ternak yang terjangkit. H.J. Smit dalam Besmettelijke veeziekten (1917) menulis, "Serum kekebalan diperoleh dari darah sapi yang sebelumnya telah terinfeksi tetapi kemudian berhasil sehat. Percobaan juga dilakukan terhadap kelinci yang disuntikkan parasit tetapi tidak berhasil terinfeksi."
Pada kurun itu, berbagai eksperimen juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa lalat yang terinfeksi dapat menularkan penyakit surra ke hewan lain.
De Locomotief 15 Juli 1907, misalnya, melaporkan tentang uji injeksi atoxyl di Semarang. Percobaan ini mengambil darah dari ternak pertama yang menderita surra, yang disebut induk surra.
Sementara Deli Courant edisi 14 Novebr 1921 menyebut bawah ketika surra mengamuk di Tebing Tinggi, Dr. Biermann, kepala dinas kesehatan setempat, terus berupaya melakukan pencarian induk surra. Dia berharap akan muncul "penyembuhan ajaib" melawan surra.
Hingga akhir dekade 1920-an, tampaknya serum anti-surra telah berhasil dicobakan.
Menurut laporan De Locomotief edisi 25 Oktober 1928, Sragen dinyatakan sudah bebas dari tingkat surra yang serius. Ratusan ekor sapi di kabupaten tersebut telah menerima sepuluh suntikan serum.
Sedangkan Residen Aceh, seperti diwartakan De Indische Courant edisi 28 Mei 1938, meminta kiriman serum dari Jawa untuk menghambat laju surra yang menjangkit di daerahnya.
Di Malang, menurut laporan De Locomotief edisi10 Juli 1939, semua kuda garnisun (militer) sedang menjalani pengobatan penyakit surra. Pemerintah Kolonial Belanda dengan bangga mengumumkan bahwa "surra sepertinya sudah dapat atasi".
Namun, benarkah demikian?
Nyatanya, wabah ini tidak pernah benar-benar teratasi. Setelah Indonesia merdeka,sepanjang tahun 1969-1970, misalnya, surra mengamuk lagi. Kali ini daerah persebarannya di Jawa Tengah yang menyebabkan kematian 40.000 ekor ternak.
Penulis: Deddy Arsya
Editor: Irfan Teguh Pribadi