tirto.id - Luasan hutan di Indonesia yang makin menciut bukan rahasia lagi. Perluasan industri ekstraktif adalah salah satu penyebab utama mengapa luasan hutan terus merosot. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diberlakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 1830 ditengarai sebagai titik mula sejarah perubahan ekologi di Indonesia.
Beberapa ilmuwan, di antaranya Sony Mumbunan, ahli ekonomi lingkungan yang juga peneliti di World Resources Institute (WRI) Indonesia, mengajukan konsep transfer fiskal ekologis (ecological fiscal transfer/EFT) untuk mengatasi berkurangnya luasan hutan itu.
Transfer fiskal berbasis ekologis adalah skema pendanaan yang berasal dari APBN untuk melindungi konservasi lingkungan di daerah-daerah. Secara sederhana, jika suatu provinsi punya kebijakan untuk melindungi hutan ketimbang dijadikan, misalnya, tambang batu bara atau perkebunan sawit, maka provinsi tersebut mendapat kompensasi anggaran dari pemerintah pusat.
Itu tentu saja hanya salah satu usulan di antara berbagai usulan lain yang bisa dilakukan pemerintah. Tapi pada initinya, krisis ekologi di Indonesia bukan hanya wacana di kalangan akademisi atau aktivis. Krisis ekologi sudah menjadi fakta sosial. Dan para ilmuwan itu berikhtiar untuk memecahkannya.
Sejak kapankah sebenarnya proses perubahan ekologi besar-besaran di Indonesia, khususnya Jawa, bermula?
Setelah Perang Jawa berakhir pada 1830, kas pemerintah Hindia Belanda terkuras habis. Menurut Peter Carey dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of An Old Order in Java (2007), duit yang harus dikeluarkan kerajaan Belanda untuk membiayai tegaknya kedaulatan Belanda sebesar 20 juta gulden (sekitar 3 miliar dolar Amerika dalam kurs sekarang). Sebagian besar jumlah itu berasal dari utang.
Raja Wiliam I kemudian mengangkat Johannes van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Van den Bosch adalah birokrat berpengalaman yang sudah teruji kemampuannya untuk mengatasi krisis. Tugas utama yang yang dia emban: mengeksploitasi Jawa apapun caranya untuk mengisi kas kerajaan dan membayar utang yang bertumpuk.
Dari gubernur jenderal kelahiran Herwijnen itulah kebijakan bernama Cultuurstlesel (Cultivation System) tercetus. Para sejarawan kemudian menyebutnya sebagai Tanam Paksa (Enforcement Planting).
Pada intinya, Tanam Paksa merupakan sistem untuk menaikkan volume ekspor sebesar-besarnya dari wilayah koloni. Ekspor ini berasal dari industri ekstraktif di sektor pertanian dan perkebunan. Tanaman yang saat itu menjadi primadona di dunia di antaranya gula, karet, dan indigo. Pemerintah kolonial yang langsung mengurus semua hal dari penanaman sampai panen, tanpa campur tangan pihak swasta.
Berdasarkan catatan Robert van Neil di buku Sistem Tanam Paksa di Jawa (2003), dalam waktu 10 tahun sejak diterapkan, Tanam Paksa berhasil menaikkan rata-rata ekspor Hindia Belanda sebesar 14%. Ini angka yang lumayan tinggi dan Belanda mendapat keuntungan raksasa dari sistem tersebut. Utang Belanda yang menggunung itu akhirnya lunas, kas kerajaan pun terisi lagi.
Di atas kertas, Tanam Paksa mewajibkan para petani atau pemilik tanah menyerahkan seperlima bagian tanah mereka untuk ditanami tanaman impor. Praktiknya bisa lebih dari itu. Kongkalikong antara birokrat kolonial dengan para penguasa pribumi menyebabkan jumlah tanah yang diserahkan bisa melebihi ketentuan. Beberapa petani bahkan ada yang harus menyerahkan hingga separuh bagian tanah.
Studi James C. Scott bertajuk Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara (1983) menyebut sepanjang masa Tanam Paksa petani Jawa harus menanggung penderitaan yang tak mereka alami di masa sebelumnya. Akibat sawah-sawah diambil alih tanaman ekspor, luasan lahan untuk menanam padi semakin sempit.
Ditambah lagi, para petani semakin sibuk mengurus tanaman impor alih-alih merawat lahan padi milik mereka. Padahal, para petani di masa itu menanam padi untuk kebutuhan mereka sendiri (subsistens).
Scott mengibaratkan mereka bak seseorang yang tenggelam di sungai dengan air yang sudah mencapai mulut. Ada riak sedikit saja, mereka akan karam.
Dalam kondisi seperti itulah, sebagaimana dianalisis Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (1983), Tanam Paksa memicu perubahan ekologi besar-besaran di hampir seluruh Pulau Jawa.
Sistem yang dicetuskan van den Bosch itu tidak mendorong terjadinya evolusi pertanian, tapi mengakibatkan apa disebut Geertz sebagai ‘involusi pertanian’.
Editor: Iswara N Raditya