tirto.id - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat rasio utang pemerintah pusat terhadap terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menanjak sejak 2015 sampai 2017. Berturut-turut pada 2015, 2016 dan 2017, rasio utang terhadap PDB tercatat sebesar 27,4 persen, 28,3 persen dan 29,39 persen.
Kendati demikian, Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan bahwa rasio utang tersebut masih berada di bawah ambang batas, yakni 60 persen dari PDB.
“Peningkatan rasio utang itu tidak lepas dari terus meningkatnya realisasi pembiayaan utang dari 2015-2017, yaitu sebesar Rp380 triliun pada 2015, Rp403 triliun pada 2016, dan Rp429 triliun pada 2017,” kata Moermahadi saat memaparkan catatan hasil Audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2017 di Kompleks Parlemen, DPR RI, Jakarta pada Kamis (31/5/2018).
Dia menambahkan BPK menemukan nilai pokok atas utang pemerintah tanpa memperhitungkan unamortized discount dan unamortized premium mencapai sebesar Rp3.993 triliun. Adapun angka tersebut terdiri dari utang luar negeri sebesar Rp2.402 triliun dan utang dalam negeri Rp1.591 triliun.
Selain menyoroti soal utang, BPK juga menyebutkan bahwa pemerintah tidak dapat mencapai target terhadap sejumlah indikator.
Beberapa di antaranya seperti pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,07 persen dari target 5,20 persen, lifting minyak yang hanya 804 ribu barel per hari dari target 815 ribu barel per hari, serta lifting gas yang hanya 1.142 ribu barel per hari dari target 1.150 ribu barel per hari.
“Realisasi tax ratio 2017 yang mencakup penerimaan perpajakan dan sumber daya alam, hanya mencapai 10,7 persen di bawah target sebesar 11,5 persen sebagaimana ditetapkan dalam Nota Keuangan APBN 2017,” ujar Moermahadi.
Moermahadi sempat pula menyebutkan bahwa realisasi belanja subsidi pada tahun lalu turun Rp7 triliun dibandingkan 2016. Tapi, BPK tidak melihat ada penurunan secara riil pada penyaluran subsidi pada 2017.
BPK bahkan menemukan ada penambahan pagu anggaran subsidi listrik di tahun lalu sebesar Rp5,22 triliun yang tidak sesuai dengan UU APBN-P 2017 serta tidak berdasar pertimbangan yang memadai.
Catatan BPK juga mengungkap sejumlah capaian positif pemerintah. Moermahadi menyebutkan bahwa pemerintah berhasil menekan inflasi di angka 3,6 persen dari target 4,3 persen. Selain itu, tingkat bunga Surat Perbendaharaan Negara 3 bulan tercapai sebesar 5 persen dari target 5,2 persen. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa sebesar Rp13.384 dari target Rp13.400.
BPK pun melihat pemerintah telah melakukan penilaian kembali barang milik negara mulai 2017 guna memperoleh nilai aset yang mutakhir. Selain itu, ada juga upaya meningkatkan leverage barang milik negara sebagai underlying asset untuk penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
“Hasil revaluasi tersebut belum disajikan dalam neraca pemerintah 2017 karena pelaksanaan revaluasi [aset] belum selesai secara menyeluruh. Kami mengapresiasi upaya tersebut dan BPK akan melakukan pemeriksaan atas hasil revaluasi [aset] secara terpisah,” ungkap Moermahadi.
Mengenai catatan BPK itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati enggan memberikan tanggapan banyak. Sedangkan soal penganggaran subsidi listrik di tahun 2017, Sri Mulyani hanya meminta untuk dilakukan audit apabila BPK melihat realisasi yang ditanggung badan usaha lebih besar atau berbeda dengan UU APBN-P 2017.
“Setelah dilakukan audit, nanti akan disampaikan ke pemerintah, dan pemerintah akan melakukan penetapan. Dalam penetapan itu termasuk apakah akan ditanggung badan usaha tersebut, itu mekanisme yang akan dilakukan sesudah hasil audit disampaikan,” kata Sri Mulyani di Kompleks Parlemen.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom